Tidak seperti kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan, Barru terbilang istimewa. Setidaknya di mata saya. Penilaian ini boleh dibilang sangat parsial dan personal. Namun itulah yang saya tangkap setelah hampir setengah dasawarsa hilir mudik Makassar-Barru.
Seringnya menginjakkan kaki di Kabupaten Barru, bermula ketika menyekolahkan anak pertama saya di sebuah pesantren ternama di Sulsel bahkan di Indonesia Timur, Pesantren DDI Mangkoso.
Dengar-dengar pesantren ini cukup moderat dan masih mewarisi tradisi pendidikan tradisional yang masih bergelut dengan kitab kuning, cinta sholawatan, ziarah kubur, barzanji dan semacamnya. Singkatnya pesantren ini sangat mirip dengan pesantren ala NU. Jenis pesantren ini sudah sangat langka ditemui di kota Makassar. Apalagi saat itu isu takfirisme dan terorisme senantiasa mengemuka yang juga menjangkiti banyak pesantren dan pondok tahfidz. Ini alasan utama dan pertama saya memilih Barru, sebuah pesantren yang moderat.
Alasan kedua adalah tempat mukim saya yang terkenl sangar dan amburadul, Pampang. Membiarkan anak tumbuh kembang di daerah ini adalah sebuah pertaruhan besar sekaligus butuh energi lebih. Tak perlu dijelaskan lebih jauh, cukup dibayangkan saja kalau daerah tempat tinggal saya ini sering disetarakan dengan daerah Maccini, Ablam, dan Kandea . Semuanya sebelas duabelas dalam hal tawuran, peredaran obat terlarang, dan tindak kriminal lainnya. Walaupun anggapan ini juga tidak sepenuhnya benar dalam artian sudah terjadi banyak perubahan konstruktif. Kalau di pesantren, setidaknya pergaulan anak lebih terjaga dan terkondisi untuk bisa belajar. Belum lagi kalau tinggal di rumah, pengaruh gadget pada anak tidak kalah dampak destruktifnya
Alasan ketiga adalah biaya yang masih relatif terjangkau di Pesantren DDI dibandingkan pesantren lainnya yang ada di Makassar, Maros, dan daerah lainnya.
Akhirnya, jadilah Barru sebagai kampung kedua setelah Makassar. Setidaknya minimal satu kali dalam sebulan bertandang ke sana. Selalu berangkat satu keluarga dengan mobil brio mungil, sekalian dianggap sebagai rekreasi keluarga. Sesekali bahkan hampir setiap saat singgah di beberapa lokasi guna menikmati hidangan kuliner yang sangat beraneka ragam.
Warung yang paling sering disinggahi berlokasi di dekat Masjid DDI Ambo Dalle, Mangkoso—Warung Sari Laut Mas Bagus namanya. Sebuah rumah makan yang cukup sederhana tapi tidak pernah sepi pengunjung. Konon, Mas Bagus labelnya tapi si empunya ternyata orang Bugis. Entah apa alasannya. Tapi kalau boleh dibandingkan, dari semua warung dari Maros hingga Barru, inilah satu-satunya warung yang paling pas buat keluarga kami, dari segi cita rasa, pilihan menu, pelayanan, harga, dan yang sangat khas sekaligus berkesan adalah tempat makan ini menyediakan minuman gratis berupa kopi dan teh, yang bisa dituang sendiri dengan sesuka hati. Tentu layanan komplit ini cukup nyaman dan menyenangkan bagi kami yang sudah menempuh perjalanan jauh, bahkan tidak jarang kami berangkat subuh-subuh dari Makassar dan biasa menunaikan salat subuh di perjalanan. Menariknya juga, tempat kuliner ini diramaikan oleh banyak kalangan : mulai dari santri, guru pesantren dan sekolah umum, ASN, para sopir daerah dan antar daerah, dan masyarakat umum.
Karena terbiasa berangkat subuh atau pagi dari Makassar, sehingga biasanya hampir-hampir tidak ada persiapan berupa pembelian barang-barang kebutuhan harian untuk anak kami di Pesantren. Kami pikir nantilah belanja di perjalanan, misalnya di kota Barru saja. Kalau di kabupaten lain biasanya untuk memenuhi kebutuhan belanja, kami kerab singgah di Alfamart atau Indomaret. Lhaa, kalau di Barru sama sekali kami tidak menemukan kedua raksasa retailer tersebut. Kan aneh jadinya, ada apa?
Keheranan ini akhirnya berubah menjadi kebanggaan tersendiri. Ternyata, Kabupaten ini adalah satu dari sedikit daerah di Indonesia yang menolak mentah-mentah kehadiran Alfamart dan Indomaret. Bukan tanpa alasan, karena terbukti kehadiran kedua retailer tersebut telah membunuh pasar dan warung tradisional. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa setiap ada satu Alfamart atau Indomaret akan mematikan minimal dua puluh warung tradisional. Penolakan Pemda tersebut, tentunya, tidaklah mudah karena bisa dianggap sebagai penolakan terhadap investasi. Namun, berkah di balik pelarangan tersebut adalah makin suburnya perkembangan pengusaha-pengusaha lokal yang tidak kalah dari kedua retailer tersebut.
Sebut saja, misalnya, Toko Diana yang terletak di pusat kota Barru. Swalayan ini sudah menjadi langganan kami kalau hendak bertandang ke Barru. Dari segi pelayanan, kenyamanan, ketersediaan barang, harga, saya rasa sangat memuaskan. Ada perasaan nyaman dan enjoy, barangkali juga karena ada faktor senasib atau semacam adanya dukungan kuat terhadap eksistensi perlawanan terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi.
Iya, pemerataan pembangunan ekonomilah yang menjadi PR utama bangsa ini. Kurang apa negara ini, sumberdaya alam sangat melimpah yang setara dengan populasi yang besar, tapi ketimpangan begitu nyata dan sangat terasa di mana-mana.
Langkah yang ditempuh Pemkab Barru ini patut ditiru oleh daerah-daerah lain, terutama Pemkot Makassar. Kalau di Makassar, jangankan di jalan utama atau di jalan poros, di jalan-jalan arteri pun sudah dipenuhi juga oleh kedua retailer rakasasa tersebut. Karena di mana ada Indomaret maka di situ ada dan akan ada Alfamart, begitu sebaliknya. Dan ketika dua raksasa ini bertarung maka di kiri kanan dan di tengah-tengahnya pasar dan warung tradisional akan menggelapar mampus.
Kalau di Makassar sendiri, sudah sering terjadi penolakan masyarakat terhadap pembangunan kedua retailer tersebut. Bentangan spanduk penolakan bahkan demo kecil-kecilan kerap terjadi, tapi bagai angin lalu, itu semua tidak mengetuk hati dan pikiran para pengambil kebijakan.
Akhirnya, hingga kedua anak kami tamat di DDI Mangkoso Barru, selalu saja kami setia berbelanja di Swalayan Diana yang konon katanya miliki orang Barru sendiri. Saya sanksi, swalayan ini akan jaya seperti hari ini kalau saja Alfamart dan Indomaret dibiarkan merajalela tanpa kendali di Kabupaten ini.
Gambar: Wikipedia.