Kehadiran bulan November tahun 2019, masih belia sekali. Persisnya di pekan pertama, tanggal 2-3, jatuh pada Sabtu-Ahad. Pemerintah Desa Bonto Jai, Kecamatan Bissappu, Kabupaten Bantaeng, lewat kepala desanya, Amiluddin Aziz, saya didapuk untuk terlibat dalam dua mata acara. Workshop dan bedah buku. Bertempat di Aula Kantor Desa Bonto Jai.
Hajatan workshop, 2 November 2019, menegdepankan tajuk, “Workshop Literasi Desa”, dibuka oleh Poni Gassing, mewakili Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Bantaeng. Para penghadir yang terlibat, sengaja dipilih dari unsur perwakilan kelembagaan desa dan komunitas. Semisal, BPD, LPM, majelis taklim, PKK, para pendidik, tokoh masyarakat dan agama, serta kaum muda. Selain saya selaku narasumber, juga melibatkan seorang pegiat literasi, sekaligus sosok petualang, Andhika Mappasomba.
Helatan berikutnya, 3 November 2019, bedah buku. Inisiator utamanya, sekaum anak muda. Melibatkan karang taruna, relawan literasi, dan forum anak desa dan kabupaten. Buku yang dibedah, berjudul Pesona Sari Diri, karangan saya. Pembedahnya, selaian saya, seorang tokoh pemuda, kini menjabat selaku Komisioner Kabupaten Bantaeng, Agusliadi.
Ketika Agusliadi membedah buku tersebut, penghadir diajak untuk memahami buku ini, dengan memperbandingkan beberapa buku atau pemikir. Sebagai misal, merujuk pada Arnold Toynbe dengan teori radiasi budayanya, Arvam Pradiansyah lewat tujuh rahasia kebahagiaan, Yasraf Amir Piliang, melalui semiotika dan kekacauan organisme, dan Yudi Latif, bersama mata air keteladanan, serta beberapa lagi lainnya. Rupanya, Agusliadi mengajak agar melakukan pendekatan kajian intertext.
***
Tatkala memperbincangkan tajuk workshop, Andhika lebih banyak mengajak penghadir untuk untuk memasuki dunia spiritual, sebagai pijakan dasar, buat menguatkan bangunan literasi. Membereskan terlebih dahulu soal sari diri. Membersihkan jiwa dalam bergerak.
Penghadir didedahkan sejumlah pengalaman, sekaligus bekal hidup dalam melata di buana. Andhika merekomendasikan, agar banyak berzikir dan bershalawat. Dan, paling urgen, berserah diri pada Yang Mahakuasa.
Setiba giliran saya, lebih banyak mengajukan perspektif yang lebih praksis. Terutama pada gagasan bagaimana memahami dan merancang perubahan, melalui gerakan literasi. Saya mengajukan ini, sebagai upaya membumikan, apa yang telah dipadatkan oleh Andhika, sebagai landasan filosofis gerakan literasi desa.
Ibarat pesebak bola, saya langsung on. “Gas pool”, seperti semboyan mutakhir Yamaha. Mungkin karena pembicara kedua. Saya langsung meminta izin untuk menggunakan papan tulis. Entah kenapa, saya lebih suka berbicara sambil menulis di white board, tinimbang menggunakan slide power point. Saya langsung mengajak penghadir, agar memerhatikan dua penggalan kata, “Literasi Desa” dan “Desa Literasi”.
***
Adakah perkara pada dua kata itu? Justru itulah yang akan saya paparkan. Jika saya ulik lebih khusyuk, saya mengajukan penjelasan, literasi desa, berpeluang dilihat dalam dua perspektif. Literasi desa, berarti literasi tentang desa. Jika literasi dipahami dalam pengertian paling dasar, sebagai aktivitas baca-tulis, maka asumsi yang lahir, hanyalah informasi tentang desa. Aktivitasnya, membaca tulisan tentang desa bersangkutan.
Perspektif kedua, literasi desa, bisa pula dimaknai sebagai literasi di desa. Maksudnya, bagaimana perkembangan gerakan literasi di desa tersebut. Tentulah berkaitan dengan segala aktivitas literasi, perkembangan kegiatan baca-tulis di desa.
Jadi, literasi desa mengarahkan pemahaman pada aktivatas membaca informasi tentang desa, sementara literasi di desa, menggiring pendapat atas kegiatan baca-tulis di desa. Baik literasi desa, maupun literasi di desa, keduanya merupakan domain pemerintah desa. Pembumiannya bersifat struktural.
Sementara, pemahaman desa literasi, dapat dipendapatkan sebagai telah menyatanya desa itu sebagai desa literasi. Lebih tepat dikatakan sebagai hasil dari literasi desa dan gerakan literasi di desa. Nah, pada konteks ini, mungkin perlu saya apresiasi lebih dalam, agar lebih menukik pemahaman, tentang desa literasi.
***
Desa literasi sebagai buah dari gerakan literasi, dapat dicapai dalam dua jalan tempuhan. Pertama, domain pemerintah desa, lewat campur tangannya, sehingga gerakan literasi ini bersifat struktural. Masalahnya kemudian, tidak semua pemerintah desa punya perhatian serius pada literasi di desa. Hal ini bisa disebabkan oleh pemahaman kepala desa pada literasi masih terbatas, atau bisa pula dikarenakan, kepala desa menganggap pembangunan desa itu masih berorientasi fisik. Pemerintah desa terjebak dalam ideologi pembangunanisme.
Tempuhan kedua, melalui gerakan literasi berbasis komunitas. Komunitas apa pun itu. Gerakan literasi harus dicolokkan ke berbagai elemen sosial. Di sinilah pentingnya pegiat literasi kala melahirkan komunitas literasi, atau ketika menjalankan komunitas literasi, mesti bersinergi dan berkolaborasi dengan segenap elemen sosial. Pada bagian ini, saya lebih suka menamainya, gerakan lietrasi berjalur kultural. Masyarakat bergiat literasi, sehingga mempercepat lahirnya desa literasi.
Pemerintah desa yang punya pemahaman dan kesadaran akan pentingnya literasi desa, lalu didukung oleh komunitas literasi, atau sebaliknya, maka dapat diramalkan, bahwa desa itu cepat atau lambat akan tiba pada desa literasi. Dari literasi desa, ke desa literasi.
Namun, jika hanya salah satunya yang fungsional, misalnya pemerintah desa abai, tentulah pegiat literasi harus mendorong lahirnya komunitas literasi. Sebaliknya, manakala sulit menumbuhkan komunitas literasi, tapi pemerintah desa oke, maka pegiat literasi mendukung penuh pemerintah desa dalam mengawal gerakan literasi.
***
Apa yang ditempuh oleh Pemerintah Desa Bonto Jai, merupakan bentuk nyata, dari kepahaman akan pentingnya budaya literasi hadir di desa. Sebelum tiba pada budaya literasi, yang akan membuahkan desa literasi, terlebih dahulu mencicil program penguatan pada tradisi literasi. Sebab desa literasi hanya akan mewujud, ketika ada budaya literasi, dan omong kosong bicara budaya literasi, kala tidak nyata tradisi literasi. Dari tradisi literasi, melahirkan budaya literasi, bakal mewujudkan masyarakat literasi, desa literasi.
Workshop dan bedah buku, hanyalah penanda terkini dari upaya Pemerintah Desa Bonto Jai. Sejak Amiluddin terpilih sebagai kepala desa, sekira satu setengah tahun yang lalu, sudah jatuh cinta pada program literasi desa. Saya sendiri selaku pegiat literasi, acapkali diajak berbagi pikiran perkara literasi desa dan desa literasi. Baik perbincangan formal maupun informal.
Sederet penanda, sebagai tanda berbenah menuju desa literasi, dalam wujud literasi desa, Amiluddin, telah menempuh jalan teduh. Bergerak perlahan tapi pasti. Sependek pengetahuan saya, ia dan jajaran pemerintahannya, sudah mendedahkan program, semisal membenahi perpustakaan desa, baik koleksinya maupun bangunannya. Menyelenggarakan pelatihan literasi, pelatihan citizen reporter, dan membentuk relawan literasi, buat mengawal sudut-sudut baca yang sementara dipersiapkan.
Pekan pertama November, dua program berbau literasi, workshop dan bedah buku, serupa jejak paling kiwari. Eh, hampir lupa, tahun 2019 ini, Desa Bonto Jai, meraih Juara I Lomba Perpustakaan Desa se-Kabupaten Bantaeng. Dan, akan mewakili Bantaeng ke tingkat provinsi. Sebelumnya, Desa Bonto Jai mendapat award Nominasi Nasional III Katagori Pemberdayaan Masyarakat, dimana salah satu item penilaiannya berbasis literasi desa. Sekotah capaian tersebut, ikut mempertegas penabalan Poni Gassing dalam sambutannya, pentingnya mengadopsi pola terkini perpustakaan, melakukan transformasi untuk kesejahteraan. Literasi desa untuk desa literasi, agar menyata desa sejahtera, jiwa dan raga.
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.