Lamaran Pertama

Makassaar 21 Mei tahun 1999, kala itu Alan, suamiku, baru berumur 26 tahun, lelaki kelahiran 1973 itu datang ke rumahku membawa hantaran bersama keluarga besarnya. Kami menyambutnya dengan tangan terbuka nan hangat. Papa dan Mamaku mempersilakan ayah dan ibu Alan untuk memasuki ruang tamu, sedangkan Alan hanya duduk di teras rumah. Ia, Alan, nampak gagah dengan balutan kemeja putihnya.

***

Gadis yang kulamar itu bernama Fadilah Triana, ia putri semata wayang dari Pak M. Fahmi Samsu dan Ibu Natasya Nurul Zahira. Kedua orang tuanya dahulu dikenal sebagai orang yang cukup berada, maklum mereka punya usaha jual beli emas, akan tetapi peristiwa krisis ekonomi tahun 1998 dan penjarahan yang terjadi di ibukota membuat keluarga kaya itu terpuruk dan jatuh miskin. Untunglah saat itu Fadilah masih menyimpan satu stel emas—sebagai hadiah perayaan kelulusan sarjananya—untuk dijadikan modal membangun keluarganya kembali. Mereka pun bertolak ke Makassar untuk memulai kehidupan yang baru.

***

Pria pemilik lesung pipit itu—Alan—adalah kekasihku yang kedua, sebelumnya di masa jaya, saya memiliki kekasih bernama Mas Vandy Darma. Ia adalah teman kelasku sewaktu kuliah di Jakarta, orangnya baik, ramah, dan tentunya rupawan, walaupun kulitnya sedikit gelap. Sekilas jika diperhatikan ia mirip aktor India, Salman Khan. Namun sayang, hubungan cintaku dengan Mas Vandy Darma kandas di tengah jalan, ia pergi meninggalkanku di saat saya terpuruk, kala ia mengetahui bahwa keluargaku jatuh miskin. Di saat terpuruk itulah kumenemukan sosok Alan, lelaki tinggi putih dan tampan itu mengulurkan tangan.

***

Pertemuanku dengan Fadilah Triana terjadi ketika saya berbelanja di pasar, bermaksud membeli bumbu dapur dan bahan makanan untuk keperluan menu makanan di restauran yang baru kurintis. Saat itu Januari 1999, di ujung jalan secara tidak sengaja kulihat seorang gadis yang berlari sembari bereriak “maling!”….”maling!” dan mengejar sorang pria.

Mendengar teriakan itu sontak saja saya mengejar penjambret itu, untunglah gerakan ku cukup cepat, ditambah ilmu bela diri yang kumiliki hingga kuberhasil melumpuhkan pencuri tersebut. Bak seperti sinetron di teve, kami kemudian berkenalan.

“Makasih Mas sudah menolong.”

“Tidak apa-apa,” sahutku kemudian beranjak meninggalkannya, tapi kembali seperti di dalam sinetron, ia mencegah ku, dan sempat menarik lenganku.

“Kata Papa dan Mama, kebaikan harus dibalas.”

***

Pertemuan kami terdengar klise, saya kala itu dijambret oleh pencopet, Alan datang menolongku, sebagai ungkapan terimakasih, kutawarkan ia untuk makan siang. Ia menolak, tapi karena saya memaksa, akhirnya ia mengiyakan dengan suatu syarat.

“Yah kalau memang Mbaknya mau ajak saya makan, kalau tidak keberatan kita makan di tempatku,” sahutnya kemudian memberikan kartu namanya, dari situlah kisah percintaan kami dimulai.

***

Butuh waktu yang tidak lama untuk menaklukkan hati gadis ini, Fadilah Triana. Setelah insiden penajambretan tersebut, kami mulai intens saling bertukar kabar, sesekali kuajak ia ke restaurant-ku, hingga kulihat gelagat tubuhnya menunjukkan rasa tertarik kepadaku. Dan pada satu malam yang sendu, kuberanikan diri tuk menyatakan cinta, wah syukurlah cinta itu terbalaskan.

“Maukah kamu menjadi kekasihku?”

Fadilah Triania mengangguk, dan kamipun berpelukan mesra. Dan malam itu, kuputuskan membawanya berkeliling kota melihat indahnya Makassar melalui kaca jendela mobil.

***

Alan menyatakan perasaannya, momen yang paling kutunggu-kutunggu. Tentu saja kuterima dengan tangan terbuka dan pelukan hangat yang begitu erat. Kami pun berkeliling kota hingga lupa waktu, arloji yang kukenakan telah menunjukkan pukul 22.00. “Saya antar kamu pulang yah, sudah malam soalnya.” Alan kemudian memacu kendaraannya ke kediamanku.

***

Awalnya jalinan kasih antara saya dan kekasihku berjalan dengan baik, hingga satu masa Ayah memintaku untuk mempersunting seorang gadis yang tak kukneal. Tentu saja kumenolak! Cintaku terlalu besar untuk Fadilah Triana. Perasaan suci itu tidak mungkin harus diakhiri di tangan kedua orang tuaku.

“Sudahlah, Nak. Terima saja perjodohan ini,”sahut ibuku. Ayahkupun demikian.

***

Hatiku remuk redam kala kutahu bahwa kekasihku dijodohkan oleh orang lain. Ia melakukan demi orang tuanya, terutama ibundanya yang sakit-sakitan.

“Kamu tega meninggalkan ku? Jadi kau anggap saya ini apa?! Sebiji kacang yang dibuang kulitnya?!”.

***

Kuberusaha memberitahukan pada kekasihku. Fadilah Triana tentang keputusan yang kuambil, tapi ia bergeming, ia menangis sejadi-jadinya, hingga ia berlari meninggalkanku dengan perasaan kelabu. Oh Tuhan, hambamu telah mengiris hati seorang perempuan. Gumamku padanya.

***

Hatiku kembali tersayat-sayat, belum sembuh luka yang ditorehkan Alan, kini luka kembali tertoreh lantaran kuketahui bahwa Papa dan Mama telah menjodohkanku dengan seorang pria yang tak kukenal. Saya menangis sejadi-jadinya, memberontak sekuat-kuatnya kepada kedua orang tuaku, apatah lagi kuketahui bahwa perjodohan ini lantaran hutang yang melilit leher Papa dan Mamaku. “Maafkan Papa, Nak. Ini terpaksa kulakukan demi melunasi hutang-hutangku pada Pak Bayu Dwi Saputro dan istrinya, Bu Vivi Damayanti.”

Oh Tuhan, saya hanya meratapi nasibku, seperti seorang Siti Nurbaya yang dipinang Datuk Maringgi karena persoalan rupiah. Tapi apalah daya, diriku terlalu naif, hingga akhirnya kumenyerah dengan keadaan.

***

Perjodohan itu telah tiba, saya hanya berangkat dari rumah ke kediaman calon istriku dengan wajah murung, masam, dan tak bergairah. Di sepanjang perjalanan saya hanya banyak diam, sedangkan Ayah dan Ibu berbincang dengan hangat, raut wajahnya menampakkan keceriaan, karena anak semata wayangnya sebentar lagi melepas masa lajang. Andai bukan karena ketaatanku padamu Ayah dan Ibu, saya tak sudi menikah dengan gadis yang tak kukenal. Gumamku.

Prasangka-prasangka buruk telah menghantuiku, perasaan bersalah juga berseliweran di hati dan pikiranku. Saya merasa bersalah dengan kekasihku, Fadilah Triana. Maafkan saya sekali lagi, Sayang. Ku harus meninggalkanmu.

***

“Jadi ternyata laki-laki yang dijodohkan sama Mami, rupanya Papi yah?!”

“Iya, ternyata itu Papimu, Mas Alan. Awalnya Mami kaget loh, campur marah, dan haru, tapi namanya jodoh kali yah?! Jadi nggak kemana!”

“Ih keren banget deh ceritanya, kayak di Drama Korea,” sahut Clara Tahara Maharani dengan riang. Anakku kelas 10 SMA itu begitu antusias mendengarkan ceritaku, tentang sejarah perjalanan mahligai rumah tangga kami.

“Tapi kok kamu punya tugas sejarah aneh gitu?” tanyaku padanya.

“Kata guru sejarahku, Pak Fadhil Landau, tugas yang diberikan ini adalah tugas sejarah yang melatih siswa untuk mencari sumber sejarah, katanya sih sumber sejarah yang bentuknya lisan, atau hasil wawancara.”

“Tapi kenapa tugasnya kepo’in masa lalu saya dan Papa mu?!”

“Yah katanya, sejarah itu bukan hanya menceritakan orang besar, Mam. Masyarakat kecilpun juga jadi bagian sejarah, kata Pak Fadhil Landau, yang biasa dipanggil Pak Tampan, sebuah peristiwa dikatakan ‘peristiwa sejarah’ jika memiliki unsur ruang, waktu, dan manusia. Dan kata Pak Fadhil Landau, dalam ilmu sejarah ada disebut kajian history family. Tau deh benar atau tidak pernyataan guruku itu.”

“Yah kamu turuti saja apa maunya guru mu itu, toh dengan mengerjakan tugas ini, kamu telah menunjukkan bahwa anak Mama yang cantik ini, si Clara yang katanya mirip Lisa Blackpink adalah siswa yang tekun dan rajin.”

“Oh iya, Mam?! Kok Papa belum pulang juga, yah? Sudah enam bulan loh Papa tidak kelihatan batang hidungnya?”

“Yah kan kamu tahu, Papamu sibuk kerja cari duit, Hotel dan Restauran Papa mu menjamur di seantero sudut kota, dan pastinya sibuk urusin ini dan itu. Yah udah kamu ke kamar, besok kan sekolah.”

“Oke Mam!”

***

Malam pertama yang kulalui dengan istri mudaku—yang baru lulus SMA itu—sungguh nikmat, ia—Alfira Reskita—begitu lihai memuaskan nafsu birahiku. Namun entah mengapa, menjelah fajar terbit saya merindukan rumah, merindukan istri pertamaku, Fadilah Triana dan anakku semata wayang, Clara. Semoga mereka baik-baik saja.

***

Di seperempat malam ini, di sepanjang sujudku, dan di sepanjang tengadah kedua tanganku, hanya doa yang kupanjatkan kepada Ilahi Rabbi untuk kesuksesan suamiku, Mas Alan. Kuberanjak dari tempat sujudku, dan meraih gawaiku seraya memerhatikan dua centang biru, dari pesan WA yang kukirim kepadanya.

Sungguminasa – Kedai Kopi-Teman.Cerita

10 Oktober 2019 – 22 Oktober 2019

 

Ilustrasi: http://myocn.net/man-and-woman-reflected-in-the-original-meaning-of-creation-part-2/

  • Entah pendengarannya seorang kisanak kurang jelas, atau kata-kata saya tak tangkas, sehingga ajakan saya ke satu hajatan disalah-pahami. Betapa tidak, Gusdurian menghelat haul Gus Dur, dia tangkap sebagai acara makan durian, terlebih lagi bakal minum jus durian. Mungkin kata Gusdurian menjadi biangnya. Apalagi sudah masuk musim durian. Sesarinya, hajatan haul Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid,…

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221