Berabad-abad yang lalu, 12 Rabiul Awal, Tahun Gajah di malam Senin yang tenang, seorang manusia agung lahir di permukaan bumi. Beliau adalah Nabi Muhammad Saw, putra tunggal dari Abdullah bin Abdul Muththalib dan Siti Aminah Az-Zuriyah binti Wahab, cucu dari Syaibah bin Hasyim atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abdul Muthalib. Al Qur’an menggambarkan, bumi sampai bergetar hebat dan seluruh langit pada hari itu, terang dipenuhi oleh cahaya, setelah Rasulullah yang agung dilahirkan.
Dalam kitab Arahiq Al Makhtum, karangan Syeikh Syafiyyurrahman Al Mubarakfuri, dijelaskan bahwa istana Kisra Anusyirwan (Raja Persia) juga berguncang dahsyat, hingga menyebabkan 14 balkonnya roboh. Di tempat lain, api abadi yang disembah oleh kaum Majusi di Kuil pemujaan di Persia (kini Iran), juga diriwayatkan padam.
Kaum Majusi mencoba menghidupkan kembali api tersebut tetap tidak menyala. Padahal api kebanggaan kaum Majusi tersebut dikisahkan tidak pernah padam selama ribuan tahun. Sebuah penanda, telah lahir seorang manusia yang akan membawa perubahan signifikan, dalam sejarah peradaban umat manusia, tapi bukan dengan pedang dan amarah melainkan dengan cinta dan kasih sayang.
Saat ini, kita telah memasuki bulan di mana Nabi Muhammad Saw dilahirkan. Nopember dalam kalendar Masehi, Rabiul Awal dalam kalendar Hijriah. Di Indonesia sendiri, hari agung tersebut telah lama dijadikan hari libur nasional, melalui Keppres No. 24 Tahun 1953.
Kata Maulid sendiri merupakan serapan dari Bahasa Arab yang telah diadopsi ke dalam KBBI dan diartikan salah satunya sebagai hari lahir. Dalam bahasa Makassar maulid disebut dengan maudu’. Bentuk perayaannya pun beragam, namun substansinya serupa; rasa cinta kepada Nabi.
Perayaan maulid, memang jauh berkembang setelah Nabi Muhammad Saw wafat. Beberapa sumber menyebutkan, peringatan ini pertama kali dilakukan oleh Salahuddin Al-Ayyubi, saat Perang Salib. Hal tersebut dilakukan, guna meningkatkan kembali, semangat kaum muslim yang menurun kala itu.
Sumber lain mengatakan peringatan, Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh Raja Irbil (sekarang Irak), bernama Muzhaffaruddin Al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 Hijriah. Kala itu, Sultan mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh ulama dari berbagai disiplin ilmu guna membahas kegiatan tersebut. Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui hal tersebut. mereka semua berpandangan dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi yang digelar untuk pertama kalinya tersebut.
Namun sayang, kiwari ini perayaan hari lahir Nabi kita, sering digugat dengan stigma bid’ah sesat oleh sebagian orang, sungguh nama yang menyakitkan. Padahal, menurut Prof. Quraish Shihab, Nabi sendiri merayakan hari lahirnya, dengan berpuasa pada hari Senin, sebagai bentuk rasa syukur, sebab di hari itulah Nabi dilahirkan.
Tidak hanya Nabi Muhammad SAW, Nabi Isa as, pun ikut melakukan hal serupa di hari kelahirannya. Jika demikian, logika sederhananya adalah perayaan yang jamak kita saksikan saat ini –khususnya di bulan ini- – adalah bentuk lain dari “puasa” Nabi kala itu. Hanya bentuk dan modelnya yang berbeda, namun substansinya serupa; perasaan rindu dan cinta yang meluap-meluap kepada Nabi.
Dalam bukunya Renungan-Renungan Sufistik, Jalaluddin Rakhmat menegaskan, peringatan Maulid adalah bentuk ungkapan cinta kita kepada Rasulullah. Kalau ada yang mengatakan bahwa hal itu adalah bid’ah, biarlah semua tahu, bahwa kita ini pelaku bid’ah yang mencintai Nabi. Dan, kalau umat Islam tidak menghormati Rasullah, maka kita ucapkan selamat tinggal kepada Islam.
Meskipun hal tersebut masih sering diperdebatkan, toh tetap saja setiap argumentasi, saya kira tetap harus disampaikan dengan tutur kata yang baik, sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi semasa hidup. Karena terkadang –sebagaimana yang jamak kita saksikan di media daring– sebagian kita, kadang terlalu agresif dan berapi-api, hingga tanpa sadar, menunjuk hidung saudara kita, sesama muslim dengan sebutan kafir dan sesat. Sungguh tuduhan yang melukai.
Saya percaya, bahwa tutur kata yang baik, merupakan cerminan dari fikiran dan sikap batin yang baik. Keduanya dibutuhkan, guna menyatakan kebaikan di muka bumi. Jika tutur katanya sudah buruk, bolehkah kita ragu?
Memang, tak bisa kita nafikan, seiring dengan berjalannya waktu. Pelbagai rupa perayaan dilakukan oleh umat Islam, beberapa di antaranya, merayakan Maulid Nabi dengan berlebihan dan kering substansi. Merayakan maulid, tapi tidak menghadirkan Nabi dalam acara tersebut. Sebagian kita, sering merayakan maulid, hingga menggelontorkan uang puluhan juta rupiah, dengan acara yang begitu mewah dan makanan yang begitu melimpah.
Namun, sering abai terhadap keadaan di sekitar; Rumah baca yang butuh sumbangan buku, anak sekolah yang masih berpakaian lusuh, hingga sekolah yang hampir roboh, merupakan fenomena yang jamak kita jumpai. Menyalurkan bantuan ke tempat/orang tersebut tentu lebih utama –-setidaknya menurut penulis– dibandingkan menghabiskan jutaan rupiah, dengan perayaan yang berlebihan. Yang demikian itu, tentu lebih sejalan dengan misi profetik yang digaungkan Nabi semasa hidup.
Maulid adalah bentuk sederhana, dari kecintaan pecinta kepada yang dicinta. Bentuk kekaguman seorang penggemar terhadap idolanya, seyogyanya harus terus disiram setiap saat, supaya tumbuh subur, berkembang, berdaun dan berbuah. Agar kelak bisa memberikan manfaat bagi lingkungan di sekitar, dengan begitu tugas kita sebagai khalifah fil ardhi tidak keluar dari porosnya. Bukankah Nabi telah mengajarkan, “Sebaik-sebaik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi yang lain?”
Sejatinya, maulid merupakan momentum yang tepat, untuk mengguggat dan menggugah hati kita masing-masing, melalui refleksi dan kontemplasi. Bertanya pada relung hati kita yang terdalam; Sudahkah kita menjadi umat yang beliau angankan? Menjadi sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Atau kita masih menjadi budak dari perut dan kelamin kita, hingga lupa bahwa kita sedang menyakiti Rasulullah dengan lidah dan tangan kita. Maafkan kami ya Rasulullah.
Biarlah nyanyian puisi Gus Mus mewakili kerinduan kita pada Rasulullah. Allahumma Shalli Ala Sayyidina Muhammad
Bagaimana aku menirumu, o kekasihku
Engkau mentari
Aku bumi malam hari
Bila tak kau sinari
Dari mana cahaya akan kucari?
Bagaimana aku menirumu, o kekasihku
Engkau purnama
yang menebarkan senyum kemana-mana
Aku pekat malam tanpa rona
Bagaimana aku menirumu, o kekasihku
Engkau mata air
Aku di muara
Dimana kucari jernihmu
Bagaimana aku menirumu, o kekasihku
Engkau samudra
Aku di pantai
Hanya termangu
Engkau merdeka
Aku terbelenggu
Engkau ilmu
Aku kebodohan
Engkau bijaksana
Aku semena-mena
Diammu tafakkur
Diamku mendengkur
Bicaramu pencerahan
Bicaraku ocehan
Engkau memberi
Aku meminta
Engkau mengajak
Aku memaksa
Engkau kaya dari dalam
Aku miskin luar-dalam
Miskin bagimu adalah pilihan
Miskin bagiku adalah keterpaksaan
Bagaimana aku menirumu, o kekasihku
Sumber gambar: https://islami.co/sejarah-perayaan-maulid-nabi-saw/
+ There are no comments
Add yours