10 November, Hari Pahlawan kembali mengulang harinya. Rasanya, baru kemarin kita merayakannya. Memasang status di akun media sosial kita masing-masing, supaya tidak dianggap kudet (kurang update). Sekarang, Hari Pahlawan kembali, dan perayaan serupa mesti berulang. Sepertinya, teknologi telah mengambil alih segala bentuk perayaan kita. Sebuah kedangkalan jika tak diikuti semangat belajar dan mencari tahu, sesuatu di balik dipilihnya 10 November, sebagai Hari Pahlawan.
Hari Pahlawan memang tak seramai hari peringatan lainnya. Anak sekolah pun masih kurang yang tahu. Tatkala saya bertanya tanggal 10 November itu hari apa? Mereka spontan menjawab hari Minggu. Tak salah sih, tapi sudahlah.
Mungkin karena hari tersebut, bukanlah hari libur nasional, jadi perlakuannya agak sedikit berbeda. Di Indonesia, kan agar sesuatunya mudah diingat, harus dimerahkan dulu kalendarnya. Padahal, kemerdekaan yang kita rasakan dewasa ini, tidaklah semudah merebus indomie loh. Ia diperoleh dengan tetesan darah dan keringat para pahlawan yang gigih nan altruistik. Baik mereka tercatat dalam sejarah, atau foto lusuhnya terpajang di pojok kelas, dan tak pernah dilirik, maupun yang sengaja disingkirkan dari sejarah, karena perbedaan ideologi politik.
Meski demikian, saya yakin, di alam sana mereka tak pernah bersedih, sebab perlakuan yang demikian. Sama sekali tidak! Karena mereka berjuang, bukan untuk dikenal dan dikenang. Mereka berjuang karena memang mereka merasa terpanggil dan marah melihat rumahnya dirampok dan rakyatnya ditindas.
Kalaupun ada yang membuat mereka sedih, mungkin karena melihat kita (baca: penerus), tak sungguh-sungguh mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang produktif. Kita masih sibuk bermain game online sampai subuh hari, dibanding belajar menjadi manusia yang utuh dan berguna. Rasanya penjajahan hanya berubah bentuk, sejatinya kita tak pernah benar-benar bebas. Tak ada kebebasan di balik candu.
Secara historis, 10 November dipilih sebagai Hari Pahlawan, bertepatan dengan pertempuran Surabaya. Hari itu menjadi puncak pertempuran, antara tentara dan milisi pro kemerdekaan, melawan tentara Britania Raya dan India Britania. Hari itu, para pejuang bepeluh darah dan keringat, selama kurang lebih 3 pekan 3 hari, mengusir sekutu penjajah, yang ingin kembali menguasai Republik.
Desingan peluru, jeritan manusia, mayat-mayat tergeletak bersimbah darah, tak pernah menggetarkan mereka sedikit pun. Langkah mereka tak pernah mundur, pandangan mereka tak pernah surut. Pekikan kalimat takbir mereka membakar Surabaya. Kemerdekaan mesti tetap dan tegak! Semboyan “Merdeka atau Mati”, benar-benar terngiang dalam kepala dan meresap dalam hati mereka. Pahit getir kolonialisme telah mereka rasa, tak ada asa di sana. Karenanya, mati dalam perjuangan lebih mulia dibanding hidup, tapi tertindas.
Dalam pertempuran itu pula lahir Sumpah Pejuang Surabaya yang berbunyi:
Tetap merdeka!
Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia yang diprolamirkan pada 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggung jawab bersama, bersatu ikhlas berkorban dengan tekad: Merdeka atau mati! Sekali Merdeka tetap Merdeka!
Surabaya, 09 November 1945, jam 18:46
Tak sia-sia, perjuangan gigih mereka –meski harus dibayar dengan ribuan nyawa– berhasil menarik perhatian dunia internasional. Indonesia secara militer/taktis memang kalah telak, tapi menang secara politik. Perjuangan gigih mereka menjadikan posisi tawar Indonesia, menjadi kuat di dunia Internasional. Hingga pada akhirnya, pertempuran itu meyakinkan Britania untu mengambil sikap netral dalam revolusi nasional Indonesia, yang bermuara pada dukungan Britania terhadap kemerdekaan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, beberapa tahun setelahnya.
***
Entah jika mereka hidup sekarang ini, apa yang akan mereka kira-kira rasakan? Senangkah? Sedihkah para pahlawan kita itu? Melihat anak bangsa saling memangsa satu sama lain, berebut benar dan kuasa. Anak-anak tak berdosa mati di moncong senjata penguasa, namun pelaku masih berkeliaran dengan leluasa. Mereka yang menyebut dirinya pahlawan, tapi sangat anti terhadap perlawanan. Menyebut dirinya bijaksana tapi tingkahnya semena-mena.
Kita sungguh butuh pahlawan dewasa ini. Mereka yang mau bekerja dengan hati dan Pikirannya. Bukan mereka yang bertindak binal atas nama moral. Mereka yang sadis namun bertingkah layaknya artis, senyum mereka rekah sambil menginjak yang lemah. Tanpa bermaksud menyebar pesimisme, tapi sepertinya bangsa kita memang sedang tak baik-baik saja!
Sejatinya, kita tak harus menunggu pahlawan. Kita bisa menjadi pahlawan, setidaknya untuk diri kita sendiri. Mulailah dengan melawan rasa malas yang menerungku, melawan candu gawai yang aduhai. Lalu kemudian belajar berubah menjadi lebih baik. Saya yakin dan percaya, manusia tak diciptakan untuk mati di tempat tidur, kita mesti bangun, dan memulai kehidupan yang sesungguhnya.
Norman Cousin pernah berujar, ”Tragedi kehidupan bukanlah kematian, tapi apa yang kita biarkan mati dalam diri saat hidup.” Berabad-abad yang lalu, Nabi Muhammad Saw, telah mengingatkan Muutu Qabla Anta Muutu, matilah sebelum mati. Mematikan rasa malas, candu, dan nafsu berlebihan adalah cara terbaik guna meraih maqam tertinggi dalam hidup. Dengan demikian, maka manusia akan benar-benar memenuhi amanah dibalik penciptaannya yang hakiki. Bekerja menyejahterakan bumi dengan cinta.
Pahlawan memang identik dengan cinta dan tindakannya yang besar. Cintalah yang menggerakkan mereka untuk bertindak tanpa rasa takut. Ukuran besar tidaknya, saya kira amat subyektif. Namun, saya percaya bahwa pahlawan sesungguhnya, adalah mereka yang bertindak dengan cinta yang besar. Bertarung bukan karena membenci apa yang ada di depan mereka, tapi karena mereka mencintai apa yang ada di belakang mereka.
Menjadi pahlawan memang tidaklah mudah. Walaupun juga tidak sesulit yang kita bayangkan. Saya yakin, mereka yang kita sebut sekarang ini sebagai pahlawan, merupakan orang-orang yang tak pernah berharap disebut demikian. Mereka hanya bekerja dengan hati dan cinta yang meluap. Bertarung melawan diri mereka sendiri; mengalahkan rasa takut, malas dan angkuh dalam diri. Hingga akhirnya, waktu menjadi hakim atas tindakan-tindakan mereka.
Kiwari ini, kita tak butuh senjata untuk menjadi pahlawan. Cukup hadirkan cinta dalam setiap hal yang kita lakukan. Buatlah keberadaan menjadi berguna, sekecil apa pun itu. Kehidupan bukan milik pribadi semata. Dalam tubuh kita, ada tenaga yang dibutuhhkan orang lain. Dalam kepala kita, ada ide yang membantu orang lain. Dalam hati kita, ada cinta yang menguatkan orang lain. Dan, kesemuanya hanya bisa menyata, jika kita sudah menang melawan nafsu pribadi. Bangkit, lawan, menang, dan jadilah pahlawan.
Sumber gambar: http://m.suarasurabaya.net
Lahir di Bantaeng, guru PJOK, pustakawan Rumah Baca Panrita Nurung, dan penulis buku kumpulan esai, “Jika Kucing Bisa Bicara” (2021).