Puluhan orang berkerumun. Jumlah persisnya saya tidak tahu. Beberapa orang telah saya kenal. Bahkan, amat akrab. Sekotahnya berkumpul di depan sebuah kantor sederhana, di jantung Kota Bantaeng. Depan GOR Bantaeng, hanya sepelemparan batu dari Kantor Pos Bantaeng, dan beberapa langkah saja dari Lapangan Bawakaraeng Bantaeng. Nama kantor itu, Satuan Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT), Dinas Sosial Kabupaten Bantaeng.
Sebagai orang yang diajak berkumpul pagi itu, saya masih meraba-raba dalam tanya, apa yang hendak dilakukan? Dan, sebenarnya mau kemana? Memang, sedari mula saya diberitahu, segenap persona SLRT akan melakukan Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda), dikemas dalam acara family gathering. Saya tabung saja tanya itu. Saya biarkan diri ikut mengalur pada tahapan cerita, memamah di tapak rencana penghelat acara.
Sekira pukul 10.00, kami meninggalkan titik kumpul. Seorang kawan, Rahman Ramlan membonceng saya. Beberapa lainnya berboncengan. Ada yang naik mobil, satu keluarga. Oto pick up, juga turut mengangkut peralatan, plus 5 orang. Mobil dapur Dinas Sosial Kabupaten Bantaeng, ikut juga. Saya membatin, amanlah rencana ini.
Iring-iringan berkendara mulai meninggalkan Kota Bantaeng, menuju ketinggian di bagian utara kota. Saya mulai mengenali arah tujuan, sebab beberapa kali di dua bulan terakhir ini, sering melewati jalur ini. Rupanya, akan ke Kecamatan Ulu Ere. Namun, pastinya saya belum tahu. Apatah lagi, ketika ada pertigaan, rombongan berbelok, menyimpang dari arah yang biasa saya lalui. Saya menikmati pemandangan saja. Kiri-kanan jurang. Tanjakan jalan makin meninggi. Kendaraan sesekali ngos-ngosan, kayak sesak napas.
Setelah memasuki wilayah Desa Bonto Tangnga, barulah ingatan saya menyata. Desa ini masih bagian dari Ulu Ere. Tetiba saja, rombongan berbelok, memasuki jalan yang lebih sempit. Selanjutnya, mengarah pada jalan setapak. Rombongan berhenti di depan plang. Berikutnya, ada pintu gerbang sederhana, tertulis ucapan selamat datang. Tak jauh dari situ, sederet huruf lumayan besar berjejer. Jejeran huruf itu membentuk dua kata, “Ruang Bernapas”.
Jujur, sejujur-jujurnya, saya baru pertama kali ke destinasi wisata ini. Dengarnya sudah berkali-kali, tapi mengada di area ini, sungguh karunia bagi saya. Pasalnya, saya akan segera memastikan, tempat berwisata ini, merupakan sarana berbahagia yang mudah dan murah.
Pandangan mata lahir dan batin saya lapangkan. Di lapangan yang lumayan luas, saya memandang alam sekitar. Nyaris semuanya berada lebih rendah dari lokasi ini. Kecuali, ada satu bukit, lebih tinggi posisinya.
Jelang siang, acara pun dimulai. Ritus upacara membuka helatan dipentaskan. Lagu kebangsaan, Indonesia Raya, dinyanyikan bersama. Ada getar bercampur gemetar menghidu hajatan. Soalnya, hawa dingin mulai menyapa. Sesekali kabut melintas, melambaikan gumpalannya. Kabut begitu lembut, mengecup pipi.
Upacara dipimpin oleh TA SLRT, Atte Shernylia Maladevi. Sambutan ketua panitia, Nurwahidah, memastikan semua persiapan hajatan sudah oke. Mematangkan segala kebutuhan. Sisa memantaskan apa yang bakal dipentaskan. Dan, doa penutup dilantunkan, agar helatan ini, tertunai penuh keberkahan.
Berlapik pada sambutan Atte, saya mulai menangkap substansi helatan ini. Pun, di sela-sela hajatan, acapkali bercakap dengannya. Dipilihnya model acara Rakorda, dikemas dalam bentuk kekeluargaan, sebab dalam pahamannya, SLRT ini, merupakan keluarga besar. Ada keinginan yang khusyuk, agar ikatan keluarga ini, makin solid. Karenanya, sedapat mungkin, segala aktivitas, selama di lokasi, diharapkan menguatkan ikatan.
Tatkala pentas acara ditabuh gendangnya, sederet mata acara siap menari. Meliuklah sejumlah game, menjawab keinginan penguatan solidaritas itu. Setidaknya, ada lima paket permainan, didedahkan oleh Rahman Ramlan, Direktur Bonthain Institute, yang diberi kepercayaan memandu hajatan ini. Saya pun diberi kesempatan, ikut nimbrung, memberi narasi atas setiap permainan.
Nilai-nilai yang bisa ditangkap dari game itu, semisal pentingnya memahami tujuan bersama, mengubur egoisme sedalam mungkin, mengedepankan kepentingan orang lain, menghindari kesalahpahaman dalam komunikasi, dan mengemukakan kapasitas bersinergi, serta mengharuskan adanya kolaborasi. Sekotah nilai ini, menjadi pengantar buat menguatkan jiwa kesukarelawanan. Suka dan rela. Bagaimana suka mengerjakan dan rela menjalani amanah.
Mengapa demikian? Kala larut dalam pusaran percakapan, lagi-lagi Atte menabalkan ujar, bahwa para fasilitator SLRT, lebih pantas didapuk sebagai para sukarelawan. Serupa orang yang menjalani aktivitas altruisme. Bukan mengedepankan imbalan honor atau gaji. Imbalan mereka sangat tidak memadai secara finansial. Karenanya, imbalan yang tak seberapa itu, dinamai “Tali Kasih”.
Nah, pada konteks inilah kadang sulit dipahami oleh masyarakat. Sehingga, dalam melakoni tugas-tugas kerelawanan, tidak sedikit kendala, sorotan, cercaan, makian, dan sederet tohokan pada jiwa mereka. Jiwa mereka terpojok, sumpek, dan terkurung dalam ruang sempit. Jiwa mereka kesulitan mengaktual. Jiwa-jiwa menjadi sesak napas. Ngos-ngosan bak kendaraan yang mendaki pada ketinggian tantangan.
Ajakan untuk melaksanakan Rakorda di alam terbuka, lalu dikemas dengan spirit kekeluargaan, sesungguhnya, merupakan upaya sejenak jeda, meruangkan jiwa. Ruang bagi jiwa yang langgas. Demi langgasnya jiwa. Spirit altruis yang disandang segenap persona sukarelawan SLRT, jiwanya mesti dilanggaskan. Jiwa langgas, saya maksudkan sebagai jiwa bebas, jiwa yang merdeka menemukan keazalian purbanya.
Mungkin inilah sebab utamanya, mengapa dipilih lokasi destinasi wisata bernama “Ruang Bernapas”, di ketinggian Desa Bonto Tangnga. Pemilik sekaligus pengelola, namanya Agus, sempat bercakap dengan saya, tentang destinasi ini. Dituturkannya, maksud sarana ini, bisa dipahami dalam sudut pandang sebagai ruang mendapatkan udara segar. Namun, bagi saya, lebih dari itu, sebentuk ranah menerbangkan jiwa yang langgas.
Janji udara segar dari Agus, benar adanya. Ketika malam sudah memangsa separuh perjalanannya, barulah saya bisa lelap. Pasalnya, acara malam begitu sempurna, buat mengayakan jiwa. Dini hari, saya terbangun. Namun, tidak segera beranjak dari kemah. Sejenak menikmati sisa-sisa dingin. Subuh pun unjuk raga. Saya bergegas tunaikan bakti, bukti cinta pada Ilahi.
Setelahnya, saya tergoda untuk tidur kembali, tapi saya urungkan. Pada sebuah dudukan dari potongan kayu, saya duduk bersila, melapangkan mata lahir dan batin.Teringat pada petunjuk sederhana, dari seorang guru spiritual, Gede Prama, tentang saat seperti ini, amat layak bermeditasi. Mantra-mantra penjinak segala syahwat, saya komat-kamitkan.
Udara segar menelisik seluruh pori-pori saya dengan tulus. Waima terbungkus kain penghalau dingin. Rasa hangat menyata di badan. Jiwa saya terbang, tiba pada suasana garib. Saat di sini dan di sana tak berbatas. Kesinian dan kesanaan, bersenggama laiknya persetubuhan subuh dan pagi. Sari diri menemukan pesonanya. Saya pun terpesona pada sari diri, yakni diri universal, yang terlibat dalam perjanjian purba di keazalian. Hanya mukim keabadian, sari diri pasti berlabuh.
Pagi menyata, sunyatanya melembutkan sinar. Raga bugar, jiwa segar. Ruang bernapas tunaikan janji, ranah bernapas lunaskan tugas. Raga dan jiwa menyempurna, sebentuk kegembiraan menguar, mewujudkan bahagia. Iringan musik pelengkap senam pagi, sudah memadai sebagai penanda gembira dan bahagia. Senam pagi ini pula, sebentuk alarm penutup Rakorda SLRT.
Puluhan orang menubuhkan diri pada Ruang Bernapas. Mungkin, kesehariannya sering sesak napas, karena menunaikan amanah, melata di jalan altruisme. Namun, percayalah pada jeda sejenak ini, hajatan berkeluarga, menjadi keluarga besar, anggaplah semacam interupsi dari rutinitas. Mirip-miriplah orang sesak napas yang diberikan ventolin, serupa inhaler buat melegakan pernapasan. Ruang bernapas dibutuhkan, demi jiwa yang langgas.
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.