PERIHAL DI TINGGALKAN DAN MENINGGALKAN
Lelaki itu pulang, membawa sunyi pada kepala
Setelah melipat rindu dan memerdekakan diri pada
gelisah dan degut jantung
Di pintu yang membawa pada bayang-bayang
Ada kutukan dan ucapan selamat tinggal
“perihal melepaskan, aku bukanlah orangnya”
Katanya pada diri sendiri
Sebab melupakan adalah aku harus membunuhmu dalam pikiran, merayakan hari kematianmu tanpa
mengucap riuh namamu
Kini di matamu tak ada lagi puisi
Do’a-do’a sudah tak selugu dulu
Di keningmu tak ada lagi kecupan
Di langit kata-kata berhimpitan
Berlomba mengejar antara air mata dan secarik senja
Setelah bicara menyerupai bisu pada kenangan dan
genangan adalah selokan di matamu
Perempuan itu telah meniadakan dan yang tiada
katanya tak perlu lagi di kenang
Karena kematian adalah hal yang abadi
Bukan pada ingatan yang berkepanjangan
Disuatu pagi yang menggigil kedinginan
Lelaki itu menatap ada jendela tua
Di kejauhan seorang perempuan sedang
mencoba merayakan sepi
Wajo,05/08/2019
—
PULANGMU ADA RINDU
Di rumah aku menemukan rindu
Terbangun dan mengelinjak riang di pelupuk mata
Ada banyak rupa tentang kenangan
Bercerita tentang masa kecil dan waktu yang
tumbuh dewasa
Perihal kita yang berkesudahan
Gelak tawa dan tangisan ada di kursi-kursi ruang tamu
Sebab esok hari semuanya menatap sendu
Yang ada telah pergi dan mari kita merayakan
kehilangan
Tak perlu menggengam kuat
Sebab semuanya akan berkekurangan
Kita hanya perlu merayakan kesedihan
Di kaki-kaki dan sepatu yang belum melangkah pergi
Mari berbenah tentang rindu
Wajo,10/08/2019
—
BELAJAR CINTA (dari) IBU
Ibu sedang duduk di beranda
Menjahit kancing bajuku setelah pulang dari perjalanan
Tangan ibu adalah kedamaian
Membantuku membuka kancing bajunya untuk mencari puting susunya
Aku mencoba mengenakan senyum ibu
Setelah belajar keikhlasan dan kesabaran
Di matanya selalu ada riak-riak sungai yang mengalir
Ketika aku terlambat pulang ataupun pergi dengan
lambaian tangan
Suara ibu yang sedang memanjatkan do’a terus
berkejaran bersama uban-uban di kepalanya
Setiap hari berguguran,helai demi helai seakan mengajak berbincang tentang ketiadaan
“kuat bukan berarti kau tak boleh menangis” katanya
Sebab air mata adalah cara untuk melegakan diri
Merdeka dari kesedihan adalah dengan
cara menumpahkan air mata
Ibu kembali menatapku
Mulutnya berbicara perihal cinta
Gowa,24/08/2019
—
KUTUKAN
Di jendela-jendela tua
Ada beberapa ekor puisi berkicau dan menyentuh kepala
Langit-langit terbangun dari malam
Dan matahari pagi kembali mengguyur mata anak-anak jalanan
Di sebuah kota yang kelelahan, senjanya telah pergi
entah kemana
Orang-orang berjalan dengan menggerutu,
dengan pikiran ganjil di kepala
Sebuah suara dorr di ujung sana
Terdengar setelah teriakan copet menyentuh telinga
Dan satu nyawa kembali hilang di pagi itu
Hanya karena urusan perut kembali anak manusia
harus di lenyapkan
Kota-kota kembali menjadi gadis murung
Para penyairnya di buru senjata karena berkatar benar
Setelah sabda tentang kebhinekaan menjelma menjadi puisi perlawanan
Dan orang-orang saleh berpura-pura tak mempunyai
telinga karena sibuk dengan zikirnya
Kemanusiaan telah disinggun dibatas kewajaran
Dan pada akhirnya
Mereka kembali mengutuk
Gowa,28/08/2019
—
KAKI GUNUNG LATIMOJONG
Lumpur-lumpur berpasir mengeluarkan pekiknya
Setelah pejalan memuntahkan penat pada kepala
Pegunungan yang menjulang,anak-anak sungai
yang selalu berbagi berkah di kerongkongan
Kaki-kaki kecil melangkah tegap menuju mimpi
Seutas senyum pada waja lugu
Ketabahan hanya untuk orang-orang merdeka
Perempuan-perempuan menyusuri bukit
Memetik kopi dan bercerita tentang bahagia
Rambut mereka tergerai
Mereka adalah ibu dari anak-anak terberkahi
Di kaki gunung itu tak ada pekikan kemarahan jalanan
Hidup mengalir diantara suara kaki-kaki berlarian
Puncak Rante mario tersenyum
Mereka melambaikan tangan
Lalu do’a-do’a menggema pada semesta
Latimojong,09/09/2019
—
KEBENARAN
Di hadapanku langit menutup diri
Cahaya berlarian dengan waktu di jendela-jendela pagi
Ingatan membawaku kembali berjalan-jalan
Menemui kisah-kisah yang tersendat di lorong sunyi
Setelah kau pulang dan hanya membawa tubuh yang
kelelahan
Sore itu, kata-kata di kepalamu tertidur nyenyak di
ranjangnya
Semua orang membicarakan kebenaran dank kau
hanya mengatakan
Bahwa kebenaran adalah tentang keyakinan
Serupa tuhan yang kau anggap ada karena
meyakini keberadaannya
Batas adalah jarak yang memisahkan antara kebenaran dan keyakinan
Di sepasang mata,menatapku
Pisau-pisau itu masih kau simpang di mulutmu
Para penguasa menjadikan dirinya penyair
Membolak-balikkan kata-kata di panggun keserakahan
Mereka terlampau takut pada kemarahan dan kecemasan
Kau mengeran,setelah kau sembunyikan ketakutanmu
Lampu-lampu tak berani berbicara pada terang
Sebab suara derat kaki terlalu mendebarkan jantung
Di malam itu,tak ada redam batuk
Apalagi binar mata yang mengendap di kegelapan
Dan akhirnya kau pulang
Setelah surat selamat tinggal kau tulis di buku sejarah
Gowa,16/09/2019