Pendidikan yang Memanusiakan

Menjelang Asar, saya terbangun dari tidur siang. Lelap. Mengecek notifikasi gawai, kemudian mencuci muka seperti biasa. Meski panas masih memanaskan ubun-ubun. Hari ini saya tetap akan menghadiri pertemuan perdana sebuah forum guru. Komunitas Guru Belajar (KGB) namanya. Komunitas lama yang telah ada di 145 daerah di Indonesia. Namun khusus di Bantaeng baru mengada setelah para penggerak beraksi. Mereka adalah rekan-rekan guru yang resah melihat situasi pendidikan kita, semakin hari nampaknya semakin maju, kemundurannya.

Komunitas ini adalah salah satu “solusi” yang coba ditawarkan oleh Kampus Guru Cikal dalam dunia pendidikan. Kampus Guru Cikal sendiri –sebagaimana yang saya nukil dari situs resminya—adalah lembaga pengembangan karier guru, yang percaya guru dengan kemerdekaan belajar, merupakan kunci perubahan pendidikan, untuk mewujudkan pelajar yang kompeten, ekosistem pendidikan yang kolaboratif, dan Indonesia yang demokratis.

Setibanya di lokasi. Perhelatan pun dimulai. Sekotah peserta yang hadir disuguhi video pendek dari inisiator Komunitas Guru Belajar, putri sulung dari mufassir terkenal Prof. Quraish Shihab, yakni Najeela Shihab. Sependek ingatan dan catatan saya, Mbak Ela –nama panggilan Najeela Shihab—menjelaskan urgensi dari tagline dari Komunitas Guru Belajar yaitu “Merdeka Belajar”.

Baginya, sebagian besar anak Indonesia dunianya hanya terbatas ruang kelas. Mimpi dan cita-citanya terbatas dan tak pernah melampaui dinding ruang kelas. Padahal, yang kita inginkan adalah anak-anak yang memiliki cita-cita yang tinggi, melampaui ruang kelasnya. Mengangkasa. Dan hal tersebut –masih menurut Mbak Ela—hanya bisa menyata jika anak-anak memiliki kemerdekaan belajar. Dan kemerdekaan itu hanya bisa mewujud, jika guru sebagai pendidik juga memiliki kemerdekaan. Karenanya, penting untuk bertanya pada diri kita masing-masing. Apakah kita –bapak ibu guru—sudah merasa merdeka?

Kemerdekaan dalam proses belajar, adalah sebuah keniscayaan, jika kita mengangankan sebuah iklim pendidikan yang demokratis dan egaliter. Guru yang merdeka dapat menemukan paduan yang pas, antara tuntutan administratif (baca:kurikulum), kebutuhan murid, dan situasi lokal. Kesemuanya merupakan intstrumen penting, guna menghadirkan pendidikan yang berkualitas, membahagiakan, serta dapat mengatasi problem sosial.

Jika demikian, maka guru memang wajib peka terhadap kebutuhan dan keinginan murid. Karenanya, dalam proses pembelajaran, mereka seyogianya dilibatkan dalam menetapkan dan memilih cara belajar yang efektif, serta terbuka dalam melakukan refleksi bersama.

Pendidikan partisipatoris adalah sebuah keniscayaan, karena  murid pun adalah subjek pendidikan. Murid dalam konteks kekinian, tidak bisa lagi dianggap sebagai kertas kosong yang siap diisi apa saja. Tidak. Guru bukan Dewa –meminjam istilah Soe Hok Gie—yang  selalu benar dan murid bukan kerbau yang selalu salah. Guru mesti berhenti menjadi diktator di dalam kelas, dengan mendikte dan memonopoli kebenaran. Sebaliknya, yang mesti ditingkatkan adalah curiosity (rasa ingin tahu) peserta didik. Dahaga akan ilmu pengetahuan akan melipatgandakan semangat belajar mereka, menerbangkan imajinasi, serta mengasah kemampuan reflektifnya.

Dalam bukunya Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia, Haidar Baghir –pendiri Penerbit Mizan—menegaskan pentingnya menjadikan pembangunan kapasitas reflektif dan moral individual sebagai tujuan pendidikan. Hal ini makin diperkuat oleh hasil-hasil penelitian, yang menyatakan bahwa unsur-unsur tersebut, sesungguhnya juga adalah kunci utama dalam menjadikan individu-individu manusia sebagai warga-negara yang baik, bahkan juga angkatan kerja yang kompetitif. Banyak penelitian mutakhir telah menunjukkan betapa, bukan hanya pencapaian kebahagian fisik, mental, dan spiritual, bahkan keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara dan kesuksesan karir individual, lebih banyak ditentukan oleh kapasitas reflektif (sekaligus kreatif) dan kekuatan karakter (moral) seperti ini.

Anak-anak belajar dari apa yang mereka alami dalam kehidupan ini. Semuanya memberikan warna dalam diri mereka. Kemampuan merefleksikan apa yang mereka alami tentu akan menjadikan mereka pribadi yang kreatif. Setiap orang punya kepala, dan setiap kepala memiliki fikirannya sendiri. Merecoki murid dengan informasi lewat teknik hafalan tanpa pikir (rote memorization) tentu merendahkan akal sebagai anugerah Tuhan.

Karenanya, setiap proses pendidikan mestilah dilakukan dengan cara-cara humanis, nirkekerasan atas nama disiplin. Pasalnya, kekerasan sungguh menyemai trauma dan berbuah dendam. Cukuplah di televisi mereka melihat kekerasan fisik dan verbal. Di sekolah, segala sesuatunya mesti nyaman dan aman. Rasa nyaman akan membawa pikiran pada ketenangan, dan ketenangan memudahkan murid dalam menerima nilai-nilai kebajikan.

Perihal kekerasan. Saya pernah mengalaminya dan hal tersebut masih membekas hingga sekarang ini. Kala itu semasa sekolah, seorang guru sering menggunakan sapu untuk memukul hingga patah, plus sumpah serapah ketika marah. Hingga saya sering mendoakan keburukan untuknya: semoga kecelakaan, semoga sakit, semoga hari ini tidak masuk dan seterusnya. Kasadnya, doa itu adalah bentuk perlawanan saya, karena secara fisik dan psikis saya tentu saja tidak berani. Melihat status kami yang bagaikan bumi-langit. Siswa-guru.

Apakah manusia seperti saya –kala itu—yang ingin dilahirkan dari proses pendidikan kita? Manusia pendendam? Bukankah itu sangat jauh melenceng dari tujuan pendidikan yang diamanahkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003; “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

***

Di Komunitas Guru Belajar, saya melihat optimisme. Bahwa masih banyak guru yang resah dan peduli akan pendidikan yang lebih baik. Meski, perlu kita sadari pula bahwa optimisme tidak muncul di ruang hampa. Ia hanya bisa mengada jika diaktualkan dalam bentuk kerja. Karenanya, setiap guru mesti terus bekerja dan belajar. Rasanya ungkapan, “Guru yang baik adalah guru yang belajar sebelum mengajar”, mesti kita tinjau kembali, diganti dengan, Guru yang baik adalah guru yang belajar setiap waktu.”

Last but not least, saya percaya pendidikan adalah instrumen penting untuk mengaktualkan potensi manusia, sehingga benar-benar menjadi manusia sejati. Manusia sejahtera dan berbahagia. Manusia-manusia yang memiliki kehidupan yang penuh makna bagi orang lain dan bagi dirinya sendiri.

Jika tujuan pendidikan sungguh mulia, mengapa dalam prosesnya justru merendahkan martabat kemanusiaan. Dan sekolah sebagai satu-satunya institusi yang dianggap legitimate oleh masyarakat, tentu perlu melakukan refleksi. Menjawab pertanyaan Em Yasin Arief dalam salah satu larik puisinya: …mengapa pabrik kebodohan disebut sekolah?

 

Kredit foto: Mauliah Mulkin-Lazuardi Global Compassion School

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *