Belakangan ini, saya tertarik dengan sastra. Beberapa keping buku, saya kumpulkan. Meski tidak semua terbaca, saya mencoba untuk menumbuhkan minat di hari pertama. Saya mulai dengan Shahnameh, karya Firdousi.
Bukan mengenyampingkan sastra Nusantara. Kalau dihitung, lumayan banyaklah karya sastra Indonesia sudah saya baca. Klasik hingga modern. Minimal, Siti Nurbaya (Marah Rusli), Di Bawah Lindungan Kabah (Buya Hamka), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana), Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (Buya Hamka), Saman (Ayu Lestari), Dimsum (Clara Ng), dan beberapa karya dari Eka Kurniawan, Tere Liye, Boy Chandra, Dee Lestari, dan penulis lainnya. Umumnya, saya membaca novel. Paling tidak, bisa nyambunglah jika diajak berdiskusi.
Menumbuhkan minat terhadap sastra Persia bagi saya, bukan tidak beralasan. Pertama, karena memang saya kuliah di Iran Islami. Dekat 12 tahun menetap dan berbaur dengan masyarakat Iran. Sekarang pun, masih aktif mengurus Resident Permit. Sangat wajar, saya harus mau bersentuhan dengan sastra Persia. Mengingat seni dan sastra bumi berseliweran di kampus dan lingkungan saya tinggal. Sastra bumi ini sangat kental mempengaruhi tradisi dan budaya sekitaran saya selama ini. Di luar dari itu, malulah lama kuliah di Iran tapi buta adabiyat-e Farsi.
Seperti diketahui, bahwa Persia merupakan salah satu dari sepuluh peradaban tertua dunia. Minimalnya, sebuah bangsa besar tumbuh dengan corak budaya, ekonomi, dan kekuatan militer penyokongnya. Budaya terkait dengan moral, gaya hidup, cara pandang, dan produktivitas penduduknya. Di dalam budaya, ditampung semua jenis cita rasa yang dimiliki oleh masyarakat. Orang Iran bilang, salikeh.
Sebuah bangsa besar, dilihat dari sejarahnya. Itu benar. Tapi saya bilang, bangsa yang dihargai adalah yang salikeh budayanya tinggi. Bangsa besar yang selalu mau dilihat dari sejarahnya, akan selalu kembali kepada satu atau dua tokoh yang menjadi ikon tunggal, dan selalu mau dikenang baik secara politik maupun tradisi. Biasanya The Founding Father, atau Bapak pendiri bangsa. Bukankah, tidak selalunya bangsa berjaya hanya di tangan satu orang?
Bangsa yang dihargai, selalu dilihat dari kualitas masyarakatnya, ilmuan besar yang dilahirkannya, karya-karya besar yang mengikutinya, gaya hidup dan cara pandang terhadap diri, Tuhan, dan semesta. Tentunya, kualitas-kualitas super mewah ini tidak dihasilkan, kecuali dengan melihat standar keilmuan dan minat baca masyarakatnya.
Iran modern atau Iran Islami memang tumbuh dari sejarah Iran Raya (sejak 4000 SM), yang didirikan oleh Koresh Agung (Koresy, Cyrus of Great). Tapi meski pun demikian, hingga saat ini, Iran tidak memakai lambang-lambang Raja Darius, Kambisus, Ahasyweros, Imam Khomeini, Sayyid Khamenei (sekarang, Maqam Muazzam Rahbari, dan Parmandeh Kulli Qoveh), dan lainnya. Untuk dihargai dan disegani, bangsa-bangsa besar dunia cukup mengamati budaya keilmuan yang dicerminkan oleh masyarakat Iran Islami secara turun-temurun. Banyak ilmuan dunia (pecinta hikmah) yang jatuh cinta, dan memutuskan tinggal lama di negara ini.
Salah satu budaya yang ditanamkan sejak dini di institusi-institusi pendidikan Iran, mahd kodak atau taman kanak-kanak hingga daneshgah atau universitas, adalah tradisi menghafal syair. Tentu saja syair-syair yang ditulis oleh para pujangga Iran sekelas Firdousi, Sadi, Rumi, Hafez, dan lainnya. Jika para mahasiswa membawa setumpuk tugas analisis, maka anak-anak sekolah dasar dan menengah mengemban tanggungjawab memelihara warisan sastra kelas dunia tersebut, dengan cara ditulis dan dihapal mati. Memang, budaya belajar orang-orang Iran dibentuk dengan dua metode ini. Menghafal mati matan/literatur, dan mengkritik habis pandangan-pandangan lemah-rasional (analisis, metode naqd). Mungkin ini juga dikarenakan, di Iran bergerombol filsuf-filsuf besar Islam sekelas Ibnu Sina, Suhravardi, Shadruddin Shard, Kasyoni, Thabathabai, Muthahhari, dan lainnya. Siapa yang bisa menyangkal?
Mari kembali ke topik, Shahnameh (The Book of King, Hikayat Raja-raja). Setelah mempelajari sejarahnya, ada beberapa hal yang menarik perhatian saya. Pertama, perampungan jilid Shahnameh menghabiskan waktu hingga 80 tahun (940-1020 M). Kedua, karya besar ini disusun atas perintah dan dukungan penuh dari raja. Ketiga, proyek ini dikerjakan secara berkelompok yang melibatkan banyak pakar seni (hunarmand).
Keempat, Abu al-Qasim Firdousi, sastrawan besar Iran masa itu berperan sebagai penulis dan penyusun syair. Kelima, Shahnameh tidak hanya kumpulan fiksi dan mitologi, tapi juga sarat dengan gambar heroik-ikonik dan mitologi Iran Kuno bernilai tinggi. Keenam, terdiri dari 60.000 ayat (sepuluh kali lipat dari ayat-ayat suci Al-Quran), dan 700 halaman.
Ketujuh, warna-warna yang digunakan belum luntur hingga saat ini. Kedelapan, setelah penulisan dan penyusunan gambar, barulah diakhiri dengan proses pencahayaan. Untuk bisa melihat manuskrip asli, silakan mengunjungi Perpustakaan Istana Golestan, Tehran.
Dari delapan daya tarik tersebut, satu hal yang paling menggugah. Raja Sultan Mahmud untuk mengenang dan membesarkan dirinya, tidak menggunakan cara-cara biasa ala tokoh politik bangsa ingin dikenang. Salikeh Sultan Mahmud cukup tinggi. Ia tidak memilih untuk membangun istana, masjid, pasar, taman, atau jembatan. Ia memilih karya sastra.
Sultan Mahmud memilih untuk memajukan dunia sastra Persia yang mampu bertahan 1.000 tahun lamanya. Ia memperkenalkan ikon mitologi Iran yang bernilai tinggi, seperti burung merak (simorg), bunga dan taman bunga (gol, goIestan, bustan), kuda besi (homa), dan lainnya. Ia mem-backup Firdousi dan memberi kesempatan para seniman untuk mengaktualisasikan daya cipta seni mereka. Raja membuka ruang pertumbuhan demi kejayaan peradaban Iran. Sepertinya raja tahu, bahwa karya sastra akan selalu abadi. Ketika Shahnameh dibacakan, maka raja ada di sana. Seperti saya saat ini, menulis nama Firdousi tanpa Sultan Mahmud, kiranya tak sempurna.
Izinkan saya menutup tulisan ini dengan mengutip apa alasan Sang Raja. Kata Raja, Kastil dan menara dibangun dari batu dan tanah liat. Perlahan keduanya akan meluruh dan menjadi debu. Tapi istana sastraku ini, tidak ada cacing yang bisa memakannya. Termasuk juga, waktu.
Persis! Persis dengan kata-kata seperti ini, Shahnameh diakhiri. Persis! Persis seperti selera Sultan Mahmud, saya ingin abadi. Dalam istana sastra.
Sumber gambar: https://www.irandestination.com/shahnamehthe-great-iranian-epic/
S. R. Siola, seorang pecinta ilmu dan hikmah. Kecenderungannya terhadap dunia literasi telah terpupuk sejak kecil. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Iran, bidang Filsafat dan Theologi Islam, dan Master Pendidikan di Indonesia. Saat ini menetap di Iran, menghabiskan waktu dengan membaca dan menulis.