Seperti pesta. Demokrasi lima tahun sekali adalah momentum di mana masyarakat merayakaan kebahagiaan. Bukan sebaliknya menjadi petaka berkepanjangan. Memimpin desa adalah salah satu jalan untuk membangun.
Konsekuensinya adalah terlibat masuk arena pertarungan dalam keadaan siap menang dan siap menerima kekalahan. Siapa pun itu pantas diapresiasi sebanyak-banyaknya, karena semua calon sebagai orang pilihan masing-masing berangkat dari niat dan misi terbaiknya untuk membangun desa.
Kisruh yang terjadi di Desa Bontobulaeng menjadi pelajaran untuk direnungkan, bahwa kekuasaan jauh lebih penting daripada kemanusiaan. Adanya kelompok yang belum menerima hasil pemilihan yang dilakukan pada tanggal 5 Desember lalu sampai hari ini harus diapresiasi sebagai hak penuh sebagai warga negara untuk menggugat, menyampaikan aspirasi.
Namun di sisi lain, apakah kondisi kekacauan ini betul-betul secara alami lahir dari kehendak masyarakat Desa Bontobulaeng? Kita bisa periksa, munculnya beberapa orang yang dianggap tokoh di luar dari Desa Bontobulaeng dan Kec. Pasimasunggu Timur yang turut ikut campur mengadvokasi dan mengatasnamakan pemerhati demokrasi pada persoalan ini justru memperparah konflik yang terjadi di masyarakat, terlebih telah memecah ruang-ruang kekeluargaan. Hal tersebut bisa dianggap upaya provokasi dan perbuatan ini mesti dipertanggungjawabkan.
Seharusnya sejak awal kita mesti bertanya, demokrasi yang diperjuangkan oleh penggugat dalam wajah seperti apa? Untuk siapa? Yang dikorbankan siapa? Dan yang diuntungkan siapa? Pertanyaan-pertanyaan ini kita gunakan sebagai alat untuk melihat apa motif di balik konflik yang terjadi. Karenanya, tidak keliru saat kita punya anggapan bahwa kegaduhan yang terjadi bisa menjadi mainan politik, lahan subur, dan bahan tertawaan bagi tokoh-tokoh di luar Desa Bontobulaeng.
Selanjutnya, masyarakat Desa Bontobulaeng harus tahu, saat kelompok lain berasumsi bahwa apa yang dilakukan oleh kelompok pemenang adalah sebuah kecurangan, sebetulnya itu adalah sebuah penilaian prematur, cacat, sangat sepihak, dan perlu dipersoalkan. Sebagai pembanding, adakah bukti dari pihak penggugat tidak melakukan kecurangan?
Misalnya memasukkan penduduk dari luar untuk memilih di Desa Bontobulaeng, bahwa secara jujur tidak memberi uang sogok kepada masyarakat atau memaksa penyelenggara untuk melakukan pengakuan palsu, bisa saja kelompok tergugat punya dugaan seperti itu dan bisa justru lebih parah dari pihak tergugat.
Tetapi lebih jauh terlepas dari itu semua, sambil menunggu proses hukum yang sedang berjalan kita harus melihat persoalan ini secara objektif dan sebijak-bijaknya. Bahwa tidak kalah pentingnya menjaga keutuhan masyarakat, kekeluargaan atas nama kemanusiaan daripada mengorbankan masyarakat, menghancurkan persaudaraan hanya karena ambisi kekuasaan. Sampai pada akhirnya, tanpa bermaksud memihak dari salah satu kelompok, kita harus optimis bahwa hukum pasti bekerja seadil-adilnya.
Wawan saa alias Sulpandi Adriawan. Lahir di Ballabulo, 28 Oktober 1995, Kabupaten Kepulaun Selayar Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Pegiat di komunitas literasi Rumah Belajar Paradox (RBP).