Kim Ji-young dan Depresi Pengasuh yang Asih

Korea hari itu, dalam film Kim Ji-young, Born 1982, sangat cerah. Tidak ada angin berembus dari timur. Rambut dan tata letak senyum Ibu Ah-young masih cerah. Dia adalah Ji-young yang tidak sedikit pun terlihat lalai melepas kualitasnya sebagai seorang ibu. Ah-young gadis kecil yang bertumbuh dipeluknya meski 60 bulan bukan umur yang singkat. Selama masa mengasuh kehidupannya masih melekat dengan karakternya yang tekun dan gigih, persis ketika muda yang cekatan dan berambisi.

Menjadi ibu akhirnya mengubah semua, ketika melengkapi rumah tangga dan membesarkan anak jauh lebih sibuk dan lebih berisiko pada gunjingan. Tumbuh di antara perempuan pekerja keras dan lelaki yang sabar Ji-young seharusnya bermental baja, tapi rutinitas rumah tangga tidak bisa abai dari serangan penyakit depresi yang pelan menggelayut dominan menggugurkan semangat dan porsi keibuannya.

Depresi, dan membuat figur lain setelah merasa kurang puas dengan apa yang diampunya, sikap yang tabu dari seorang perempuan tapi akhirnya menjadi penyakit yang serius harus diwaspadai. Gadis kecil, sosok perempuan tua, hingga kakak perempuannya kerap hadir dalam potongan memori di waktu senggang bahkan di saat mengasuh anak penuh asih. mendapatkan serangan depresi dimulai ketika hal-hal buruk masa menjalani diri sebagai ibu hadir, kebiasaan yang berubah dan prioritas yang selalu saja dianggap kurang oleh perempuan lainnya.

Setiap perempuan tangguh berebut label terbaik di lingkungannya, bekerja keras dan melayani orang lain dengan cadangan emosi yang setiap saat bisa remuk. Ji-young yang muda dan cantik, perlahan hilang digantikan oleh figur ibunya, neneknya, bibinya, hingga mertuanya. Figur yang kerap menguasai dirinya saat tidak tersadar akibat dorongan dan tekanan batin. Ji-young berhadapan dengan pekat dingin musim salju dan kegelisahan hati suaminya yang perlahan meniru sekelilingnya untuk menarik Ji-young ke psikiater.

Hari itu setelah sangat remuk melihat video ulangan dari ponsel suaminya, bergegas dibangunnya kembali hati lapangnya di dalam tubuh kecilnya tapi tinggi semampai mirip perempuan Korea lainnya yang menyukai bentuk tubuh kurus laiknya boneka.

Ibu Ahyoung menderita depresi yang kerap melahirkan sosok lain, yang dipandangnya jauh lebih kuasa dan kuat menggantikan karakternya. Ibu Ahyoung akhirnya menghadapi maut dari karma yang dibangunnya, dari mimpi buruk yang terlalu dalam masuk ke kehidupannya. Ibu Ahyoung menyisihkan persoalannya ke hadapan psikolog yang setia mendengar suara hatinya dalam mata sipit yang berbinar.

Depresi dan obsesi yang saling mengikut membuatnya sangat impulsif menarik diri sehingga meresahkan suaminya. Dengan tertatih sang suami menuntun Ji-young menyusul perawatan psikologis yang harusnya telah dulu dilakukan. Sebagai seorang yang depresi, tingkahnya tidak cukup meresahkan si anak, tapi jika lambat akan cukup meretakkan hati orang-orang yang dicintainya. Beruntunglah ada banyak bahu yang berani menopangnya dan membuka ingatan lampau itu kembali terikat di antara gugurnya satu per satu memori pahit dan terluah dalam ketimpangan pola pikir.

Satu hal dari Ji-young adalah kemapanan suami menghadapi sirkulasi yang dialami istrinya yang terkadang sangat menakutkan, bahkan saking menakutkan pria dengan masa depan dan pekerjaan terbaiknya ini kehilangan semangat dan merunut tiap waktu ketika istrinya sakit.

Selain banjir air mata,menonton kisah ini juga banjir permenungan. Tanggung jawab sebagai perempuan yang tangguh kadang sering disalahkaprah sebagai beban padahal pilihan hidup perempuan itu normal dan manusiawi. Mana mungkin dengan kecerdasan dan kemampuannya kita hanya bisa melakukan pekerjaan kantoran padahal fitrah kita sejak awal ditakdirkan mampu melakukan pelayanan dan menciptakan banyak hal.

Hal ini yang dianggap orang-orang tabu mengenai relasi gender. Kesetaraan yang seharusnya dipandang dalam sisi humanisme. Antara lelaki dan perempuan ada peran yang sedang dibuat korelasinya, meski banyak yang bilang sulit tapi ini fakta dan hukumnya wajib bagi Islam. Memandang Sunnah Rasulullah SAW bahwa perilaku adil bukan hanya dilakukan oleh suami juga seorang istri. Karena penciptaannya jelas di ayat Al hujurat ayat 13. Proporsi yang bias antara peran dan kewajiban lalaki dan perempuan dalam Islam terjadi dengan beredarnya tafsir Hadis dan Quran yang patriarki dan menghilangkan ayat-ayat otentik tentang pemakluman perempuan di ruang publik oleh suatu sebab dan lain hal.

Sangat relevan ketika kisah Ji-young ini yang diangkat dari latar kehidupan Korea yang notabene bias gendernya lekat sebagai salah satu topik kunci dari bias gender dan penyebab mental illness yang kini gandrung di kalangan milenial.

Saat Ji-young menyatakan sikap untuk bekerja, rasa gelisahnya berkurang tapi tidak demikian suaminya. Hal ini bisa kita anggap bahwasanya perempuan notabene kerap menghilangkan stress dengan kesibukan yang diimpikannya. Korea yang maju dan makin cemerlang sumber daya manusianya tentu tidak luput dengan ketimpangan sosial terhadap perempuan, baik itu di antara sesama perempuan maupun lalaki, dalam rumah tangga, dalam ranah lingkungan hingga ruang bekerja dan belajar.

Dalam buku Againts Our will: Women and Rape oleh Susan Brownmiller, analisa mengenai kejahatan lalaki yang dominan secara seksual dan biologis menyebabkan kelumpuhan pada fungsi perempuan. Dengan hilangnya retranslasi dari arti seks dan gender, maka ketimpangan mengenai fungsi dan kekuasaan lalaki dan perempuan akan terus menyebabkan ketimpangan sosial. Meski di awal sejarahnya Erich Formm mengklasifikasi hal ini secara ilmiah dan berlanjut menjadi keresahan multitafsir di zaman mulanya industri dan kapitalisme.

Jiyoung adalah spekulasi kehidupan romantis Korea yang berusaha mengambil simpati melalui feminisme, bahwa peran perempuan yang tangguh adalah kodrati dan bukan hal yang tabu tapi bisa disebut fase kedewasaan sebagaimana dalam tulisan Ji-young yang sedang dibicarakannya. Keseluruhan nuansa pembuatan film ini sangat hangat, maju, dan menampilkan sisi toleransi negara Korea terhadap perempuan sebagaimana titik-titik balik yang berusaha dilakukan oleh suami Ji-young. Merefleksikan bahwa peran lelaki tetap yang paling tingg sebagai penghasil keuangan yang banyak dibanding perempuan meski sudah mandiri.

Di Indonesia sendiri sosok Ji-young ini banyak, bertebaran di antara rumah susun, bawah jembatan, kolong langit dan di balik tembok tembok perkasa oligarki, namun bedanya perempuan Korea lebih romantis dalam penyebutan dibanding mamak yang dititahkan oleh lidah anak Indonesia.

Pemilihan tokoh yang sangat cerdas, postur hingga senyum pasangan di film ini menghidupkan pesan penting bagaimana depresi tidak mesti dihadapi berlarut-larut. Sosok Gong yoo sebagai seorang bapak dan suami begitu hangat sebagai ikon penting dari film Korea.

Yang terakhir dari ulasan ini sebagaimana kenaifan perempuan lainnya yang memiliki mimpi dan masalah yang sama dengan Ji-young, bekerja bukan soal berat lagi ketika penyematan kata “beban” itu telah digilas oleh kecerdasan perempuan meramu jati diri dan menemukan fitrahnya yang mampu bekerja lebih banyak dan mampu menguasai bidang apapun tanpa melukai posisi dan rasa patriarki (red: sensasi) seorang imam atau lalaki dalam rumah tangga.

“Tahun 1982, seorang perempuan lahir di saat salju turun…”

Kim Ji-young, Born 1982.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *