Kala Adam as, sedang masygul dengan laku dan jejak-jejak hidup anak-anaknya. Belum ada jejak sebelumnya yang ia bisa panuti sebab dialah manusia awal diamanatkan membangun peradaban di bumi. Dalam lunta nan perih, Adam as pun tengadah hingga ke ujung langit ketujuh. Mencari jalan-jalan kemuliaan yang akan ia jejakkan bersama kekasih-kekasih dari sulbinya. Amanat pertama yang ia terima, mengajak Qabil dan Habil sebagai generasi kedua darinya, melukiskan cintanya dengan berbagi.
Pendek cerita, dalam kisah-kisah selanjutnya, Qabil mewujud serakah dan pongah. Cahaya di hatinya, bertabir debu-debu, yang lambat laun menghitam pekat, mewujud dengki dan benci. Sedang, Habil menempuh jalan cahaya dengan cerlang nalar dan hatinya. Dalam perjalanan manusia selanjutnya hingga di waktu tak terkira, kita merujuk pada dua kutub ekstrim itu. Memilih jalan Qabil dengan jejak hitam pekat tanpa nalar dan kesabaran, atawa jalan-jalan Habil dengan jalan cahaya dan cinta sepanjang jalan. Jejakkan nalar yang unggul dan hati terbuka menderang.
Suatu malam yang sunyi dan mulai menua, aku sedang mendaras jejak-jejak Muhammad Saw, yang menebar harum mengalahkan melati yang sedang mekar di jambangan. Sejak belia sudah diberi gelar yang terpecaya, pun dari orang-orang yang tak menyukainya. Budi-pekertinya menaklukkan hati para barbar di gurun pasir yang ranggas. Sehingga, kala beberapa rumpun Bani Quraisy bertikai, pada soal siapa yang berhak meletakkan hajar aswad di pojok Kakbah, maka sang pambawa cahaya inilah, yang didaulat kendati usianya masih belia.
Dia yang terpercaya, murah senyum dan lemah-lembut. Untuk kepercayaan yang diberikan kepadanya, sang cahaya ini tak pernah memanfaatkannya untuk membesarkan dirinya, guna berbagai kepentingan pribadinya. Memulung harta, merakit tahta, menarik simpati. Semuanya berjalan secara natural bahwa beliau adalah bibit unggul yang dipersiapkan oleh Yang Mahakasih.
Tak berbilang abad, pasan-pesan luhurnya pun dicemari oleh ego orang-orang di sekitarnya. Akhirnya menyebar dalam rentang waktu nan panjang. Pengikutnya luluh lantak di setiap zaman, sebab meninggalkan substansi pesan yang cerlang. Kala sang Nabi berpesan bersabarlah, justru kita berlomba-lomba memamerkan nafsu amarah, bahkan menggunakan simbol-simbol keyakinan, yang seyogiayanya mulia di tungku bara api, membakar segala yang dilintas.
Kala sang Nabi berpesan, tinggikan akhlakmu, kita petontonkan laku kasar dengan meneriakkan asma Sang Pencipta, menghardik dengan lisan, pun dengan fisik. Kita pun kerap menebar fitnah di lapak-lapak tak bertuan, dengan alasan untuk memenangkan keyakinan kita di semesta raya, tidaklah mengapa. Hingga bohong pun dan sejenisnya, kita halalkan dengan alasan yang sama. Ya Rasulullah, ya Habiballah, ya Sayyidina, sebegitunya ummatmu melacurkan keyakinannya. Dan tidak sembarang, sebab diantaranya konon ada yang bergelar ulama. Mereka mengaku sebagai pewarismu, dia pewaris para Nabi. Tapi lihatlah bagaimana mereka bertutur dan bertingkah-laku. Betulkah mereka pewarismu. Hingga jelang tidurku nalarku belum mampu mencerapnya.
Kala malam membawaku jauh, aku mendaras kembali kisah-kisah heroik yang mencengangkan. Seorang cucu Nabi yang setiap usai sujud panjang di subuh hari, Ali Zainal Abdidin, yang juga berjuluk Assajjad, orang yang paling banyak bersujud, berjalan menyusuri kampung meletakkan penganan di rumah-rumah fakir dan miskin, tanpa sepengetahuan pemilik rumah. Mereka tahu setelah beliau mangkat karena tak ada lagi bingkisan berbagi yang menyambangi rumahnya.
Di sebuah gubuk, seorang pria sederhana dinobatkan sebagai penghuni surga oleh baginda Nabi yang membuat sahabat lainnya tercengang dan heran, sebab pria sederhana ini kerap telat berbaris di saf-saf salat berjamaah yang dipimpin Nabi. Laku baiknya yang menonjol cuma satu, bahwa di setiap jelang tidurnya, ia memaafkan semua orang yang pernah berlaku salah padanya, baik yang disengaja maupun tak disengaja.
Berbagi dalam pengertian yang sangat luas dan lapang, merupakan esensi ajaran yang maha dahsyat. Sebuah esensi universal yang tak terkira hebatnya. Hingga di penghujung doa dalam setiap munajat dalam salat lima waktu, diakhiri dengan berbagi keselamatan pada semua. Dimulai pada seluruh Nabi yang pernah datang di bumi memberi dan mengajarkan kebajikan pada manusia, “Keselamatan untukmu wahai para Nabi, semoga engkau dalam rahmat dan berkah-Nya. Keselamatan untukmu wahai para ahli ibadah dan orang-orang saleh. Keselamatan untukmu wahai manusia dan semesta raya, semoga rahmat dan berkah-Nya tercurah.” Renungkanlah sejenak kalimat berbagi itu.
Tengok pula bagaimana Imam Malik bin Hambal, berbagi kasih untuk Imam Syafi’i. Diceritakan dalam kisah bahwa kala Imam Malik berkunjung ke masjid Imam Syafi’I, di mana beliau dimakamkan di halaman masjidnya, Imam malik yang fiqihnya tidak setuju dengan kunut di waktu subuh mempraktekkannya, hanya karena ingin berbagi kasih dan mendahulukan akhlak buat Imam Syafi’i. Betapa mulia hati para ulama ini. Betapa tinggi akhlakul karimah yang diperagakannya.
Aku berjalan dalam mimpi panjangku, di kabut gerimis malam, mencoba memunguti setiap keping-keping jejak heroik nan mengesankan itu. Namun, begitu beratnya membujuk hati yang telah dirimbuni karat bertahun-tahun, tak pernah diasah untuk melek dari laku-laku bajik. Kala pagi dan fajar menyingsing, kutelusuri hari hingga tahun berkelindan, di ruang-ruang beragama. Ah, aku memotret keriuhan yang bercampur-baur, bunga melati nan harum dengan aroma bangkai yang menyesakkan. Di bungkusnya pakain saleh dengan laku-laku kasar. Dijualnya agama dengan seserpih rupiah yang terlampau murah dengan orientasi sesaat.
Melintasi padang savanna, menghijau sepanjang mata memandang mengingatkanku, kala jejaki jalan-jalan menuju damai. Di sebuah kampung nun jauh yang penduduknya ramah. Suka berbagi senyum dalam riang dan perih. Saling berbagi dengan budi pekerti nan lembut. Selembut padang savana yang menghijau di hati-hati mereka. Di sana, rumah ibadah tempat berbagi kasih dan berbagi kebajikan. Tak ada fitnah, tak ada sumpah-serapah, taka ada gibah. Semua kata teruntai dalam jejak-jejak indah jauh dari retorika palsu. Sebab kesepahaman mereka tak mungkinlah Tuhan Yang Mahakasih menitahkan sebuah laku, untuk mencederai sesama dan semesta. Namun, pasti titahnya menyemai dan berbagi kebajikan.
Dalam mengarungi dunia fana ini, langkahku masih tertatih, gundah menyaksi para penganut agama, yang mestinya gemar berbagi kebajikan dan kasih, antar sesama dan semesta, sebagai keyakinan universal, membangun peradaban meninggikan nilai-nilai kemanusiaan. Tidak justeru sebaliknya, dengan atas nama agama, tapi gemar meluluhlantakkan persaudaraan dengan penuh amarah, seperti yang marak kita saksikan saat ini.
Bila demikian, mungkin inilah yang pernah diramal para tetua di kampung Bugis dahulu kala bahwa “Engkatu seddi wettu sininna rupa taue na sianre bale nasaba rupataunna mattappa kolokkolok.” Pada suatu waktu, sekelompok manusia akan saling memangsa. Sebab, kemanusiaannya terjerembab jatuh mewujud binatang. Hampir sama dengan sinyalemen, Thomas Hobbes, bahwa dalam titik nadir manusia bak binatang yang hidup di hutan belantara, mereka doyan saling memangsa. Ah, rupanya laku Habil dan Qabil menjadi bayang-bayang yang menjadi pilihan kita tak pernah usai.
Ilustrasi: https://steemit.com/motivation/@rizalassaf/indahnya-saling-berbagi
Penulis. Telah menerbitkan beberapa buku kumpulan esai dan puisi di antaranya Jejak Air mata (2009), Melati untuk Kekasih (2013), Dari Pojok Facebook untuk Indonesia (2014), Tu(h)an di Panti Pijat (2015). Anging Mammiri (2017), Menafsir Kembali Indonesia (2017), Dari Langit dan Bumi (2017). Celoteh Pagi (2018), Di Pojok Sebuah Kelenteng (2018), dan Perjalanan Cinta (2019).