Ada awal, ada akhir. Inilah maksim paling tepat menggambarkan suasana kiwari, di pekan terakhir bulan Desember, tahun 2019. Di awali Januari, diakhiri Desember. Itulah takdir siklus waktu tahunan yang terjalani, guna menghitung himpunan perkara kemelataan hidup dan kehidupan. Awal tahun menjanjikan banyak harapan, akhir tahun menegaskan capaian. Kehayatan, seolah hanya berayun di antara harapan dan capaian. Begitulah seterusnya, hingga akhir benar-benar berakhir.
Di pekan terakhir Desember 2019, saya sudah masuk perangkap lilitan waktu, baik yang bersifat personal maupun sosial. Menemani dua orang anak saya berlibur di kampung halaman, Bantaeng dan menyata di hajatan keluarga, serupa terungku kegiatan personal. Selainnya, melibatkan diri di tiga acara bertajuk literasi, sebentuk tawanan aktivitas sosial.
Sungguh terencana. Saya ajak dua putra-putri yang masih menempuh pendidikan, mengada di Bantaeng, untuk berlibur akhir tahun. Pasalnya, saya serius ingin mengenalkan lebih khusyuk tanah kelahiran saya, yang belakangan ini, Pemda Bantaeng menabalkan semboyan,”Peaceful and beautiful”. Saya menunjukkan sisi-sisi kedamaian dan keharmonian hidup bermasyarakat. Semisal, menunjukkan keberadaan tiga gereja, yang lagi dihiasi, jelang Hari Natal. Berjalan kaki di kawasan Pecinan, sembari menceritakan soal hunian tersebut. Dan, lebih dari itu, saya ajak menikmati keindahan alam Bantaeng.
Selain itu, saya ajak pula ke markas salah satu komunitas seni budaya, Komunitas Pakampong Tulen (Komplen) sekaligus punya komunitas literasi, Teras Baca Lembang-Lembang. Di base camp komunitas inilah, kedua anak saya mendapatkan short course musik, memantapkan permainan biola, keyboard, dan gitar. Bagi saya, membawa keduanya ke markas Komplen, bagian dari cara menegaskan urgennya literasi seni dan budaya, khususnya musik. Ya, literasi musik.
Dari hajatan Komplen pula, bermula tali ikat literasi melilit saya. Betapa tidak, Komplen kembali menggelar acara Diskusi Kampung Budaya (DKB) Ke-3. Hajatan sawala ini, dirancang sebagai agenda tahunan. Jatuh pada setiap bulan Desember, sebagai bagian dari cara mempersembahkan kado buat Hari Jadi Bantaeng. Lilitan literasi ini, sungguh erat simpulnya pada saya, sebab sejak helatan ke-1 dan ke-2, saya selalu didapuk menjadi salah seorang pemantik percakapan.
DKB Ke-3 digelar di Kompleks Taman Makam Purbakala La Tenri Ruwa dan Raja-Raja Bantaeng, Sabtu 21 Desember 2019, pukul 15.00-17.00 Wita. Topik yang diperbincangkan, “Angngaru: Sebuah Ikrar Kepada Raja”. Hadir sebagai pembicara: H. Syarifuddin Daeng Tutu (Budayawan dari Gowa), Imran Massualle (Budayawan dan keluarga Raja Bantaeng), dan saya sendiri selaku pegiat literasi. Beraneka perspektif muncul ke permukaan dari persamuhan ini. Pastinya, Ilham Azikin, sebagai Bupati Bantaeng yang menyata di sawala ini menyatakan, “Pada Dasarnya, kita berada pada ruang dan waktu untuk mau menjadikan nilai dan budaya itu, sebagai landasan untuk bergerak, beraktivitas di seluruh sector di Bantaeng.”
Tali literasi kembali mengikat saya. Ikatannya sangat kuat. Saya ajak kedua anak saya ikut terikat. Saya sulit mengelak, tatkala didapuk menjadi pemantik “Bincang Buku: Dari Relasi ke Literasi”. Sari diri buku ini, merupakan kumpulan esai, tulisan dari 45 orang Relawan Demokrasi (Relasi) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bantaeng. Perbinbangan buku ini, dihelat di Pelataran Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, Komplek Ruko Lamalaka Bantaeng. Sebagai pembincang, Andi Hariyanto (Mantan Komisioner KPU Bantaeng), Ilham Azikin (Bupati Bantaeng), dan saya selaku editor buku ini. Andi Hariyanto menguarkan sisi kontennya buku, sementara saya lebih menyorot pada proses kreatif dari penulisan hingga terbitnya.
Sedangkan Ilham Azikin, menitik beratkan pada bagaimana kehadiran buku ini menjadi salah satu penanda geliat literasi, yang mesti diapresiasi oleh pemerintah daerah. Bahkan, tak sungkan Ilham meminta kepada para aparatusnya, khususnya yang hadir pada malam itu, agar belajar kepada komunitas. Sawala buku ini dimulai pukul 20.00-23.00 Wita. Lagi-lagi Komplen hadir membersamai helatan ini, menyajikan musik langgam turiolo, orkes turiolo (Otri). Dan, Ilham Azikin mempersembahkan satu lagu ajakan mencintai negeri: “Minasa Riboritta”.
Seolah tiada akhir lilitan tali literasi ini. Saya menyata lagi di arena Kongres Kelompok Studi dan Karya Putra-Putri Bantaeng (KOSKAR PPB) Ke-15, berlokasi di Aula Kantor Desa Labbo, Sabtu-Ahad, 28-29 Desember 2019. Organisasi daerah ini, berbasis kaum muda, pelajar, dan mahasiswa. Komitmennya pada tradisi literasi sudah sangat lama. Kini kembali menegaskan dirinya secara kelembagaan, meluncurkan produk, “Launching Gerakan Literasi”.
Pada helatan kongres ini, saya tidak mengajak kedua anak saya. Sebab, ia harus mengikuti kelas musik di markasnya Komplen. Saya didaulat untuk memberikan semacam kuliah umum. Mengurai tema kongres, “Konsolidasi Kelembagaan dan Gerakan Sosial Koskar PPB di Era Revolusi Industri 4.0 yang Transformatif”. Paparan saya penuh gairah, karena hujan semadya derasnya, mengiringi kalimat-kalimat saya. Laiknya ada musik alam membersamai laju olah pikir yang tertumpah, persis air hujan terhempas ke tanah.
Mengulik tema kongres itu, terlebih dahulu saya ajak hadirin untuk melihat medan tempur terkini KOSKAR PPB, tentang karakteristik kaum muda, pelajar, dan mahasiswa. Mereka hidup di gelombang Generasi Z, anak-anak millennial. Saya tunjukkan keunggulan dan kelemahan generasi ini, kids zaman now. Lalu saya tohokkan, bagaimana memahami laju gerak zaman yang sudah tiba di Revilusi Industri 4.0. Saya sajikan penanda-penanda era revolusi keempat ini. Khususnya, penanda berupa Artificial Intelegence (kecerdasan buatan), yang dianggap saingan sekaligus ancaman bagi umat manusia. Dan, saya kunci pada penegasan ajakan, bagaimana gerakan literasi bekerja agar kemelut ini bisa disiasati.
Ada lagi tali literasi lain yang bakal melilit? Sesungguhnya masih ada. Namun, saya mengelak. Sesekali membebaskan diri dari terungku personal dan sosial. Saya ingin melenturkan otot-otot literasi saya di akhir tahun. Cukuplah beberapa hajatan personal dan helatan sosial literasi menghidu akhir tahun saya. Karenanya, per 30 Desember 2019, saya dan kedua anak saya balik ke Makassar, berkumpul di mukim. Ingin menyambut tahun baru dengan harapan baru dan mungkin capaian baru. Pada pucuk tahun ini, 31 Desember 2019, esai saya ini, ikut mengakhirinya.