Mengeja satu buku bergizi tinggi, dari salah seorang cendekiawan muslim garda depan, Haidar Bagir, sungguh sangat gurih. Di bagian awal bukunya, Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia, Haidar menabalkan mimpinya-mimpinya, tentang tatanan hidup dan kehidupan di planet ini, agar lebih manusiawi.
Salah satu mimpinya, saya coba nukilkan, “Suatu saat orang akan melihat kehidupan bukan sebagai gelanggang pertarungan memojokkan dan menyingkirkan orang lain demi menguasai semua sarana pemuas syahwat diri sendiri. Syahwat harta, syahwat kekuasaan, syahwat politik, dan syahwat lainnya.”
Lebih khusyuk Haidar bertutur, “Suatu saat orang percaya bahwa kebahagiaan terletak dalam hidup sebagai manusia biasa, yang lahir keluarbiasaannya justru karena dia hidup di tengah manusia lainnya, di tengah semua kerabat Tuhan yang ditempatkan-Nya di planet ini. Yang memperoleh makna hidupnya justru dengan memberi, bukan meminta, apalagi mengangkangi semuanya.”
Makin elok rasanya, jika saya tetap merujuk ungkapan unik Haidar, “Orang-orang yang sadar bahwa hidupnya baru genap justru ketika bersama-sama yang lain. Bahwa menolong yang lain sama dengan menolong diri sendiri. Bahwa melukai orang lain hanyalah melukai diri sendiri. Karena seorang manusia tak pernah utuh. Manusia baru selesai ketika menjadi satu keluarga bersama manusia-manusia lain, bersama dengan semua unsur semesta lainnya. Karena sesungguhnya, sendiri itu tidak ada.”
Terus terang, penggalan-penggalan mimpi Haidar itu, mengusik saya, lalu bertanya, masih mungkinkah kita sebagai manusia, melata di planet ini dengan wajah kemanusiaan demikian?
Pertanyaan saya ini, seolah melempar ingatan pada satu momen di jelang pucuk bulan Oktober 2019. Persisnya, tanggal 26-28, tatkala saya mengikuti Kemah Buku Kebangsaan (KBK) di satu lokasi, serupa lembah, Trans Muntea, Desa Bonto Lojong, Kecamatan Uluere, Kabupaten Bantaeng. Pelaksana hajatan itu, sekaum anak muda pegiat literasi dan lingkungan, dari beberapa komunitas, bersebadan dalam Aliansi Pemuda Ulu Ere. Helatan tersebut, diadakan sebagai cara anak muda memperbarui sumpahnya, Sumpah Pemuda, di era kiwari.
Di hajatan ini, saya mengalami keterasingan dari dunia serba cepat. Maklum saja, keseharian saya, kecepatan sudah menjadi jalan hidup. Berburu kecepatan atau diburu kecepatan. Siapa lambat akan tergilas, siapa cepat jadi pemenang. Walhasil, hidup yang terjalani, merupakan hidup yang menyembah pada kecepatan. Dan, kesemuanya itu bermula, ketika dunia dikendalakikan dalam satu genggaman, lewat satu alat ajaib, sebentuk ponsel cerdas. Dari kecerdasan perangkat gawai ini, manusia saling mengendalikan kecepatan.
Benarlah salah satu lirik dari lagu Koes Plus, bertitel “Waktu Cepat Berlau”, gubahan Tony Koesyowo, mengapa kau sempat berpangku tangan, tidakkah kau takutkan ketinggalan, waktu berjalan cepat dan tanpa istirahat. Betapa hidup ini seperti berpacu, yang sempat kusapu, hanya keringat.
Perkara apa yang melanda saya dan juga para penghadir lainnya di helatan KBK? Sehingga kami tetiba menjadi jamaah terasing? Tiada lain, karena ponsel kami hilang kecerdasannya. Begitu memasuki area perkemahan, di lembah itu, jaringan internet mati. Kalaupun ada, lebih banyak menjengkelkannya. Kadang timbul tenggelam. Lebih banyak matinya. Apalagi ponsel punya saya, taka ada sinyal, mati total. Dunia terasa berhenti. Para pemburu kecepatan, yang terbiasa hidup terburu-buru, harus melambat laju kehidupannya. Tiga hari dalam terungku ruang lambat. Tata cara hidup menjadi lambat.
Teringatlah saya pada Carl Honore, mantan jurnalis berkebangsaan Kanada, lewat bukunya, In Praise of Slow. Ia mengajak untuk memasuki hayat dan kehayatan lambat. Bahkan, menggagas gerakan pola hidup lambat. Jauh dari keterburu-buruan. Menampik cara hidup tunggang-langgang. Semacam antitesa dari hidup serba cepat. Manusia diajak kembali rehat, menikmati waktu senggang. Manusia butuh jedah, agar makna hidup menguar, lalu lahir kreativitas dari kedalaman permenungan.
Terungku dunia lambat menghidu saya di lembah perkemahan. Awalnya, saya cukup terganggu dengan keaadan tersebut. Namun, segera saya berkompromi, setelah seharian tak terhubung internet. Saya terputus komunikasi dengan pekerjaan, keluarga, dan kolega. Mereka pun tak bisa mengontak saya. Jadilah saya hidup dengan lingkungan terbatas. Baik luas wilayah maupun jumlah manusia yang hanya ratusan.
Anehnya, saya merasa menjadi manusia. Hidup apa adanya. Berinteraksi secara alamiah. Saya menemukan kembali kemanusiaan saya. Saat saya berjalan-jalan, melewati setiap kemah, kelompok, sekotahnya mengajak bergabung. Menawarkan makanan dan minuman, penuh kehangatan. Ketika saya bersua setiap orang, selalu tersenyum. Orang-orang tertawa bebas. Tertib di antrian kamar mandi. Hidup begitu teratur.
Saya menyaksikan orang-orang berbicara secara berkelompok, amat intens, larut dalam percakapan, sesekali tawa pecah secara berjamaah. Tidak ada keluhan berarti, selain akses jalan kaki yang melelahkan, bagi sebagian orang yang tak terbiasa jalan kaki. Namun, keluhan itu takluk dalam terungku perkauman di perkemahan. Jujur, selama di perkemahan ini, saya tak mendengar kata-kata buruk. Padahal, potensi untuk itu memungkinkan. Sepertinya, setiap orang mampu menahan diri. Tak seorang pun kehilangan barangnya.
Saling memberi, otomatis tak perlu meminta. Setiap persona saling membutuhkan, maka orang lain menjadi penggenapnya. Menjadi satu keluarga besar, melata bersama di kedamaian semesta kaum perkemahan. Perkauman mengada, hidup sendiri tiada guna.
Mimpi Haidar, saya menemukannya di lembah perkemhan itu. Menyata adanya. Sayangnya amat singkat. Saya benar-benar bertemu dengan ratusan manusia dan kemanusiaanya. Lembah perkemahan memberikan udara segar, interaksi sosial menyajikan kebersamaan, guyub. Mimpi telah menyata, waima sepenggal kala saja.