Saya sedang membaca daftar 25 film terbaik 2019 dari blog khusus mengulas perkembangan film terbaru lalu seketika berpikir untuk menulis fenomena aneh bin ajaib beberapa minggu belakangan ini: Keraton Agung Sejagad dan Sunda Empire. Setelah awal tahun 2020 dibuat heran atas banjir Jakarta dan gempa di beberapa wilayah, tiba-tiba kita dibuat kaget, bagai semut bermunculan dari dalam tanah, muncul gerombolan orang-orang yang berseragam mirip tentara Spanyol di abad 18 dan mengaku-ngaku memiliki kekuasaan seluruh dunia. Kali pertama saya melihatnya di layar kaca, alih-alih membayangkan keberanian mereka seperti tentara kerajaan Inggris yang gagah berani mengacung-acungkan bedil ketika Eropa masih menjadi lahan konflik, mereka malah lebih nampak seperti seorang komandan Jepang di acara Benteng Takeshi yang memimpin pasukan kelas pekerja menggunakan helm pengaman dan tidak lama malah berakhir di sel penjara. Mereka yang dipimpin seorang raja dan ratu ini, memang seperti kerumunan semut yang dipimpin seorang raja dan ratu walaupun sarang mereka tidak disembunyikan di dalam tanah. Justru kerajaan yang mereka buat didekorasi menyerupai kerajaan sesungguhnya. Tidak jelas apa tugas mereka selain kepercayaan diri mengklaim sebagai kerajaan titisan dari masa silam. Beberapa tahun lalu saat Jokowi mencalonkan diri menjadi presiden, beberapa kawan saya banyak memberikan alasan mengapa pria asal Solo ini pantas menjadi presiden. Satu di antara alasan itu berbunyi Jokowi sudah ditakdirkan seperti diramalkan dalam babad Jawa sebelum kedatangan sosok pemimpin maha adil dan jujur yang bakal mengambilalih kepemimpinan dunia. Saya bergidik kali pertama mendengarnya oleh karena keyakinan itu diceritakan dengan cara tertentu dan keberadaan pemimpin-yang-sebenarnya itu menjadi tanda akhir dunia sebelum alam semesta betul-betul kiamat. Manusia memang senang membangun kisah dan menjadikannya sebagai narasi keyakinan. Beberapa waktu lalu, seolah-olah dunia memiliki bentuk baru setelah bermunculan sekelompok orang yang membalikkan temuan sains dengan mengatakan dunia ini seperti bidang datar. Narasi tentang dunia seperti ini di masa sekarang layak dikatakan bodoh oleh karena sains sudah membuktikan bahwa dunia tidak sesederhana dataran lapangan sepak takraw. Tapi apa boleh buat, orang-orang seperti ini senang dengan narasi bumi datar seperti sama senangnya mereka terhadap keyakinan di akhir dunia nanti seluruh bulu janggut mereka akan dikonversi menjadi surat kepemilikan bidadari di surga kelak. Bagi masyarakat suku-suku di sekitar sungai Amazon, seperti juga sapi bagi umat Hindu atau burung elang bagi Mesir kuno, meyakini ular sebagai hewan suci. Sejarah asal-usul kedatangan mereka di muka bumi diyakini berasal dari rahim ular. Di kawasan sekitar sungai Amazon, Anda tidak akan berani mengemukakan pemikiran Charles Darwin bahwa sesungguhnya kita berasal dari monyet, oleh sebab narasi Anda tidak cocok dengan kehidupan mereka. Kera atau monyet lebih suka hidup di atas pepohonan yang tidak seperti ular-ular di sungai Amazon yang banyak berkembang biak di dalam sungai. Jadi narasi semacam sejarah asal-usul, kekuasaan, mitos, dan kerajaan, seperti masyarakat yang hidup di sekitar sungai Amazon sangat dekat dengan cara hidup mereka sehari-hari. Belakangan saya baru tahu, mengapa tetua suku-suku di sekitar sungai Amazon meyakini ular sebagai nenek moyang mereka selain daripada bentuk sungai Amazon yang membentang panjang meliuk-liuk seperti ular raksasa. Dengan menceritakan ini saya tidak ingin memaksa Anda untuk mengatakan orang seperti Ki Ageng Rangga Sasana atau Totok Santoso Hadiningrat berasal dari ular atau hewan sejenisnya. Itu mustahil dapat dipecahkan oleh ahli genetika beratus-ratus tahun dari sekarang mengingat sama tidak masuk akalnya mengatakan bahwa dua orang ini seorang raja dan mampu mengendalikan nuklir dari jarak jauh. Di grup whatsapp yang beranggotakan da’i-da’i, seseorang dengan yakin mengirimkan beberapa alasan mengapa fenomena ini muncul: Pertama ia mengatakan ini ada hubungannya dengan motif ekonomi karena seragam ala militer yang mereka pakai tidak diberikan secara cuma-cuma, melainkan diperjualbelikan seperti pengepul sarang burung walet membelinya dari peternakan burung walet. Logika ini dapat kita gandakan ke hal-hal semisal mereka membutuhkan kartu anggota kekaisaran, iuran kelompok, rapat kerajaan, menyewa gedung kerajaan, perabotan dan souvenir kerajaan, pernak pernik senjata, sampai tidak lupa perhiasaan yang mencerminkan gemerlap perhiasaan raja-raja. Tidak mungkin semua ini mereka pinjam di museum terdekat kecuali semua itu dibeli menggunakan uang. Kedua, orang yang mengirimkan pesan singkat di WA menyebut fenomena ini berhubungan dengan keinginan masyarakat yang menghendaki status sosial dengan cara instan. Di Jakarta, sangat mudah menemukan ibu-ibu berkumpul di sudut-sudut kafe mal berkacamata hitam sembari bercerita tentang kucing peliharaan mereka. Mereka ini tidak kalah mentereng dari artis-artis sosialita yang senang mengoleksi tas dan sepatu hingga membutuhkan lemari membumbung tinggi sampai ke puncak langit-langit rumah. Saya ingat figur Tikus dalam buku ditulis Roanne van Voorst ”Tempat Terbaik di Dunia”. Suatu waktu Roanne menginginkan dirinya berbelanja perlengkapan laptop ke mal dengan mengajak Tikus. ”Saya tidak layak masuk ke tempat seperti itu, itu tempat orang-orang kaya” begitu kurang lebih pengakuan Tikus karena merasa minder dan inferior dengan tempat mentereng seperti itu. Saya kadang juga seperti Tikus, kikuk ketika ingin memasuki gedung megah yang berisikan orang berpenampilan necis dan berdasi, seperti sama khawatirnya saya berbicara dengan orang seperti pemelihara kucing itu tadi, atau artis pengoleksi tas-tas mahal. Kehidupan kadang tidak adil karena memelihara orang-orang yang status sosialnya ditentukan dari barang-barang yang dimilikinya dan mengucilkan orang-orang lapisan bawah yang dekil dan kumal. Karena ketidakadilan inilah anggota kerajaan Sunda Empire dan Solo Sejagad Raya menciptakan narasinya sendiri dengan membuat simbol-simbol sosial yang menandakan suatu kekuasaan tertentu. Dalam suatu foto saya melihat Ki Ageng Sasana—”penguasa” Sunda Empire—nampak pede menggunakan seragam hijau pekat mirip seorang jenderal. Satu-satunya saya ingat dari itu adalah warna baret yang ia kenakan menyerupai tentara keamanan PBB yang pernah saya saksikan dalam film Dunia Sophie, dan sosok Wiranto ketika Soeharto masih sehat wal alfiat menjadi presiden orang tua kita. Di belakang Soeharto, di seragam Wiranto, tersemat di dada kirinya kotak-kotak mini seolah-olah menyerupai bendera negara-bangsa yang dijejerkan seperti saat kita melihatnya di sampul atlas saat dulu kala. Saya yakin pangkat jasa perang dipakai Ki Ageng Sasana seperti ditunjukkan Wiranto ketika menjadi panglima ABRI, adalah palsu belaka yang bisa didapatkan di pasar loak. Tapi apa boleh buat, ia mendaku mampu mengendalikan kekuasaan dunia dan banyak yang memercayainya sebagai sosok dengan status sosial tertentu. Seorang filsuf pernah mengatakan sudah tabiat manusia menyenangi masa lampau sampai ia patut disebut mahluk aquarian. Saat ini sangat sulit menemukan orang yang memiliki hobi mengoleksi prangko beralbum-album selain karena prangko sudah tidak diciptakan lagi, dan juga dunia lebih mudah terhubung melalui surat elektronik. Banyak orang setelah terbuai iklan suka menganti androidnya menjadi jauh lebih canggih karena berpikir dunia akan terus maju ke depan meninggalkan masa lalu. Orang seperti ini tidak seperti para pengoleksi prangko yang menyimpan kenangan masa lalunya dengan cara mengoleksinya seperti museum menyimpan benda-benda purba. Para pengikut kekaisaran macam Sunda Empire dan Solo Sejagad Raya dikatakan pengirim pesan WA tadi seperti pengoleksi perangko yang merindukan suasana kerajaan seperti masa lalu. Dari poin ketiga ini membuat saya bertanya-tanya, apakah sebegitu romantiskah cara kita berpikir untuk menyukai dan menghendaki kehidupan ini berputar ke masa lalu? Kalau memang demikian, mengapa kita tidak sekalian saja mengembalikan masa ini sampai di zaman Nabi Nuh, tepat saat ia selesai membuat perahu raksasa, dan membiarkan orang semacam ini tenggelam saat banjir bandang tiba sebelum meraka merasuki pikiran kita di layar kaca? Saya dibuat seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa ketika menonton sesi Ki Ageng Rangga Sasana berbicara di forum ILC mengenai Sunda Empire yang diklaimnya sudah berdiri sebelum Firaun membangun piramid dan mati dikubur di dalamnya. Anhar Gonggong, sejarawan yang ditangkap kamera saat Rangga Sasana berbicara hanya semringah tahu bahwa ocehan Rangga ini tak lebih dari bualan belaka. Roy Suryo yang sempat menyangga sejarah PBB diceritakan Rangga Sasana disebut tidak paham sejarah. Perbedaan orang bodoh dan orang cerdas dilihat dari betapa seringnya orang bodoh mengatakan semua hal yang tidak ia ketahui dibanding orang cerdas, yang menyampaikan sedikit dari yang ia ketahui. Terlalu berlebihan mengatakan raja gadungan ini bodoh kecuali di saat ia sedang berbicara seolah-olah yang ia sampaikan merupakan bagian dari sejarah yang hilang yang semua itu membutuhkan kecerdasan tersendiri untuk berkibul. Dengan kata lain, Rangga Sasana sedang memeragakan prinsip kebohongan bahwa satu kebohongan hanya dapat diterima dengan benar jika ia mencipatakan kebohongan yang lain. Itu artinya, di sepanjang ia kita berikan waktu berbicara mengenai keyakinannya, sama artinya kita memberikan ia kesempatan untuk menyusun mata rantai kebohongan. Nahasnya, kebohongan kadang sering kali mengembangbiakkan kebodohan melalui cara yang tidak pernah kita sadari, seperti cara kita mendengar bualan dungu semacam ini tanpa menurunkan mereka dari panggung pemberitaan.
Blogger paruh waktu. Ayah dari Banu El Baqir dan Laeeqa Syanum. Penulis buku Jejak Dunia yang Retak (2012), Kawan Rebahan: Eksistensialisme, Tubuh, dan Covid-19 (2021).