Risalah Lidah

Sinopsis Risalah Lidah, Clara Ng: Asna, anak perempuan berusia 8 tahun, mendengar suara tangisan bayi dari dalam mulutnya. Ia bingung, dan mencari kebenaran. Ia mengamati lidahnya di depan cermin, dan menemukan kota kecil tumbuh di atas lidahnya. Anak itu terkesima, ada kota tumbuh di lidahnya. Berbagai simbol modernitas disaksikannya bersusun-susun, berderetan, berkejaran, dan lalu lalang. Beton, baja, dan kaca mendominasi semuanya. Asna takjub. Ia seperti berada di dunia dongeng.

Kenyataan ini membuat Asna gemar membandingkan lidahnya dengan lidah-lidah temannya dan orang dewasa. Tampak baginya pemandangan berbeda dari masing-masing lidah. Asna tak kecewa. Ia begitu menikmati karunia penyingkapan ini. Sayang, orang tua Asna tak pernah mau percaya. Bahkan tak jarang, mereka menghukum Asna, saking  capeknya mereka dengan tingkah aneh anak itu. Tapi Asna tak peduli. Ia merasa nyaman, dan baik-baik saja.

Sampai di satu malam, Asna menemukan peradaban di lidahnya kacau balau oleh pekik kemarahan, sirine bersahutan, api berkobaran, darah berceceran, tanah mengering, caci-maki, pekikan revolusi, suara demontrasi, serta jerit tangis anak perempuan. Asna terperanjat! Belum pernah dilihat pemandangan kacau-balau seperti ini. Mungkinkah ini yang namanya kiamat?

Seiring usia Asna yang terus bertambah, kerusakan peradaban yang disaksikannya pun semakin parah. Anak kecil beranjak remaja. Ia lebih banyak diam, hatinya hampa. Hingga dewasa, perasaannya semakin hambar saja. (Cerpen lengkapnya bisa baca di sini)

***

Pertama kali membaca cerpen jadul ini, justru di saat saya mencari cerpen-cerpen baru untuk menjadi teman di sepanjang 2020, di meja kerja saya. Memilih beberapa, bukan berarti saya sedang membanding-bandingkan satu cerpen dengan lainnya. Bahwa cerpen ini bagus, dan ini tidak. Ini layak, dan lainnya tak layak. Tidak begitu. Hanya saja, kedudukan seorang sahabat dalam kehidupan itu penting bagi saya. Rasanya ingin selalu menyandingkan filsafat (humaniora) dengan karya-karya besar sastra sebagai sahabat dekat, agar kerasnya logika menjadi sedikit lebih lembut dengan sentuhan keindahannya. Liarnya nalar menjadi lebih anggun liukannya.

Saya katakan cerpen ini jadul, karena semestinya sudah lama saya membacanya. Cerpen lirisan Koran Tempo ini, sudah lama ditulis oleh Clara Ng. Tepatnya, 20 Juni 2020. Saya tertinggal sejarak 10 tahun. Padahal, karya-karya penulis jebolan Ohio (AS) ini, memiliki satu ciri khas yang sangat saya sukai. Keduanya dia miliki, yaitu logika liar dan keindahan literasi yang tidak cengeng. Secara, karya dan prestasi sosok penulis perempuan ini sudah tak perlu diragukan lagi.

Cerpen ini, secara keseluruhan saya beri nilai 8,5. Sang penulis begitu piawai menggambarkan sebuah cita-cita peradaban yang diimpikan oleh umat manusia, dengan pendekatan penyingkapan polos” seorang anak, yang perempuan, dan suci. Dua simbol kejujuran yang diprediksi abadi di muka bumi ini. Rasanya tak berlebih, jika ingin membangun peradaban manusia, maka bertanyalah pada seorang anak kecil, perempuan, polos tapi bahagia. Bertanya kepada perempuan tentang peradaban. Mereka adalah jembatan peradaban untuk anak-anaknya. Mereka yang paling mengerti. Meski sangat sedikit di antara mereka tercatat sebagai filsuf, wali faqih, dan qadhi.

Awal 2015, saya masih di Iran. Seingat saya, presiden Indonesia, Joko Widodo, meluncurkan Gerakan Nasional Ayo Kerja dari titik paling barat Indonesia di Kilometer Nol, kota Sabang, Aceh. Beliau menekankan pentingnya arti kerja keras untuk mengoptimalkan potensi bangsa, yang disambut baik oleh sekelompok anak muda, di antaranya oleh Jay Wijayanto dan Nick Nurrachman sebagai koordinator. Anak-anak muda ini menyelenggarakan Ekspedisi Kapsul Waktu, dengan mengumpulkan 238 butir impian masyarakat dari 34 provinsi di seluruh Indonesia. Saya tidak tahu, apakah impian tersebut dikumpulkannya juga mewakili suara-suara murni dan polos anak-anak kecil dan perempuan? Ataukah malah seperti yang dikatakan oleh Clara NG, di Risalah Lidah-nya.

Ayahnya memiliki pasar yang teramat besar, tumbuh di atas lidahnya. Di sana ada pedangang-pedagang yang suka saling tipu-menipu satu sama lain. Jalan-jalan besar lebar yang penuh dengan teriakan penjual merayu kebohongan. Keramaian tak tertanggungkan di bawah terpal-terpal yang gagah melindungi meja kayu dan daging ayam, kambing, dari sengatan panas. Kekotoran dan kesemrawutan yang membusuk.”

Atau, “Lidah pamannya lebih lucu lagi. Tidak ada kota atau pasar atau gurun pasir di sana. Yang ada hanya lapangan luas dengan satu monumen agung di tengahnya. Setiap hari lapangan itu penuh sesak dengan orang-orang yang berlomba-lomba mengangkat spanduk dan kepalan tangan. Mereka berprotes dan berdemonstraasi, berpekik tentang demokrasi, revolusi, kekuasaan, kemerdekaan, kejayaan, kemenangan…”

Tapi siapa yang percaya pada apa yang dilihat Asna?”

Ekspedisi usungan Jay dan Nick ini melibatkan banyak komponen bangsa, nasional, dan daerah. Kapsul kemudian disimpan di Monumen Kapsul Waktu, Merauke, Papua, pada 30 Desember 2015 untuk dibuka pada 70 tahun mendatang. Semoga generasi muda Indonesia mendapati peradaban Indonesia yang damai, unggul, toleran, religius, menjunjung nilai-nilai moral dan menjadi pusat peradaban tinggi manusia. Sebagaimana tertuang dalam tujuh butir impian Jokowi untuk Indonesia pada 2085. Sekarang baru lewat lima tahun, belum cukup satu dasawarsa.

***

Karya ini sebenarnya ringan, meski kesan imajinya kuat. Tapi bukan berarti cerpen ini minus. Bagi saya, kesederhanaan yang dimilikinya adalah nilai plus tersendiri dalam menyajikan permasalahan umum “peradaban manusia” yang saat ini memang sedang butuh perawatan. Sosok Asna saya rasa paling tepat untuk menyampaikan pesan ini. Membicarakan segala impian, cita-cita, keruwetan, dan kelumit peradaban yang kerap dicederai oleh beberapa kebijakan yang jauh dari kemanusiaan, melukai dan bahkan menghancurkan “peradaban impian” yang dalam pemikiran bocah perempuan polos ini, cukup sederhana.

“Ada anak-anak kecil bersepeda di taman ditemani ibu-ibu muda mendorong kereta bayi. Pohon-pohon hijau melambai indah, berderet-deret di sepanjang jalan. Mobil-mobil berlalu-lalang dengan santai, tidak ada kesibukan yang dikejar-kejar. Ada gedung-gedung di New York. Ada hotel-hotel mungil jdengan jendela berbingkai seperti di Paris. Air mancur di kolam-kolam bening seperti di Madinah.”

Impian peradaban bagi bocah kecil ini adalah ibarat pintu masuk nan ajaib menuju negeri dongeng. Bagi Asna kecil, kehidupan ini teramat indah andai bisa diracik semudah mencampur bahan-bahan tempe dengan komposisi yang tepat. Saya tidak tahu, apakah Asna kecil turut menyaksikan kekejaman Hitler terhadap Yahudi di Jerman, di lidahnya? Ataukah menangkan pesan “penjajahan budaya” sebuah ideologi yang menyasar anak-anak ideologi lainnya, hingga bocah-bocah sepolos Asna dan ibunya, tidak pernah diperhitungkan sebagai korbannya? Semua terjadi tak sesuai harapan bocah perempuan ini, dan suara fitrah kemanusiaan.

Peradaban binatang datang mengancam bak predator, untuk menghancurkan impian besar para anak dan perempuan. Kekerasan selalu untuk “membela” anak dan perempuan. Menciptakan perdamaian “atas nama” anak dan perempuan. Sementara mereka mengundang kaum lelaki, menembakinya satu per satu (atau, massal), menggorok leher mereka yang membangkang. Kendaraan tempur dan rudah-rudal balistik siap menghancurkan simbol-simbol kemanusiaan, demi legitimasi kekuasaan dan pengukuhannya. Lalu, apa daya seorang bocah suci sepolos Asna, yang hanya bisa menyaksikan semuanya di lidahnya, di depan cermin? Di angannya hanya ada mimpi-mimpi perdamaian, keadilan, toleransi, dan belas kasih, hingga (mungkin) mengimpikan persatuan, persaudaraan, dan penyatuan.

Memahami pemikiran bocah suci Asna, mungkin kita dapat menawarkan sebuah dialog agar perang militer antar peradaban yang dikhawatirkannya, tidak akan terjadi lagi (meski, selalu terjadi). Kesalahan dalam analisis bukan tidak mungkin, akan semakin menyisakan trauma, sikap dingin, apatis, kebencian, dan mati rasa (ketidakpedulian) anak-anak terhadap masa depan dunia. Seperti yang dialami Asna remaja dan dewasa. Dingin, hambar, dan hampa.

Tapi penyatuan ideologi berbeda menjadi satu (untuk menghindari konflik) sebagaimana peradaban ideal impian bocah Asna —juga ditawarkan oleh Samuel P. Huntington dalam The Clash of Civilizations— bukanlah sesuatu yang tidak meninggalkan masalah yang jauh lebih besar berupa peperangan, kerusakan material, kematian, luka jiwa, cacat psikis, dan cidera lainnya.

Memaksakan penyatuan ideologi berbeda ini adalah kemustahilan (atau, melazimkan kontradiksi) dalam pandangan banyak filsuf. Tidak mustahil sebenarnya, pada tataran hakikat (esoteris). Tapi dalam tataran lahiriah (eksoteris) inilah yang melahirkan ketegangan pasca perang dunia, yang disebut perang dingin. Pemaksaan penyatuan inilah yang merusak dan memporak-porandakan kota peradaban di lidah bocah Asna.

Merawat peradaban tidak selalu dengan mengeluarkan paksa sisi esoteris dari eksoterisnya. Kemajemukan meterial (pluralitas) adalah realitas kehidupan. Maka di sinilah pentingnya menghadirkan sebuah dialog antar peradaban sebagaimana ditawarkan Muhammad Khatami (mantan presiden Iran, priode 1997-2005), dalam The Dialogue Among Civilizations, sebagai tanggapan atas tesis Samuel P. Huntington, seorang pakar sosial-politik Amerika, dalam The Clash or Civilizations-nya.

Tapi tentu saja, keberadaan sang predator adalah niscaya. Siap meluluhlantahkan peradaban impian’ bocah suci Asna, merampas kekayaan yang ada di sana, mengangkut semua energi baru untuk konsumsi negerinya sendiri. Semua dilakukan secara paksa. Tanpa dialog sedikit pun. Atau bahkan meninggalkan dialog dan perjanjian. Jika perlu, merampok dengan rudal dan senjata!

***

Ah, saya lupa sedang mereview sebuah cerpen. Saya juga tidak menjaga aturan dan kaidahnya dengan benar. Maaf, kali ini saya gagal. Tapi besok-besok saya akan mereview lebih baik lagi.

Ilustrasi: https://www.deviantart.com/jaysimons/art/Collapse-of-the-Modern-Civilization-355449519

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *