Tiada angin kencang. Tiada hujan lebat. Padahal, biasanya, tatkala Imlek menyata, angin mengamuk, hujan meratap. Seperti yang jatuh pada hari Sabtu, 25 Januari 2020 ini, sekotah penanda alam membersamai perayaan Imlek, Tahun Baru Cina 2020. Baskara bersinar terang. Awan cuman bersisik. Bayu bertiup sepoi saja. Itulah sunyatanya di Makassar, paling tidak, pagi hingga jelang sore.
Akhir pekan ini, aku tidak keluar kota, persisnya ke Bantaeng, sebagaimana rutinitasku, hampir sepuluh tahun terakhir. Aku ingin menghidu diri dengan dupa di kawasan Pecinan Makassar. Aku mau memanjakan mata dengan warna-warni kemerahan. Aku akan berkendara roda dua, mensidak batang-batang tebu yang bersandar di rumah-toko kaum Tionghoa. Aku mencari atraksi barongsai. Sekadar meyakinkan diri, bahwa Imlek masih setia mewarnai hayat dan kehayatan kotaku.
Sesarinya, sebagaimana biasa, Daeng Litere pasti mengontakku soal berakhir pekan. Tumben, ia tak menyapa sama sekali, sejak Jumat kemarin. Aku hanya sangka baik saja, pasti ada agendanya, atau ia mau melakukan sesuatu. Maklum saja, ia amat khusyuk memerhatikan suasana alam, jika Imlek tiba. Pasalnya, di tanah kelahirannya dan kelahiranku, Bantaeng, ada kemiripan dengan Makassar. Di Bantaeng, pun ada kawasan pecinan.
Rupanya dugaanku benar adanya. Daeng Litere, berencana melakukan apa yang aku mau bikin di Makassar. Imlek kali ini, melatainya kayak kembar peristiwa. Aku di Makassar, Daeng Litere di Bantaeng. Kepastian rencana aktivitasnya itu, aku baru tahu setelah mengecek ponselku, yang baru saja saya charge.
“Gong Xi Fa Chai” Daeng Litere melayangkan ucapan selamat tahun baru Imlek.
“Tambarui Cinayya”, aku membalasnya dalam bahasa Makasar-Bantaeng. Maksudku, orang Cina lagi tahun baru.
“Bagaimana Kota Makassar, ada angin kencang dan hujan lebat?” tanyanya
“Anre anging, anre bosi. Mata allowa accayaji, sissiji awanga” kataku. Artinya, tiada angin dan hujan. Matahari bersinar, awan cuman bersisik.
“Samaji di Bantaeng” pungkasnya. Daeng Litere mohon jeda bercakap. Ia minta lanjut, usai surya tergelincir saja. Ia mau bersepeda keliling Kota Bantaeng, yang tidak begitu luas.
***
Ping, ponselku bunyi. Aku masih malas bergeser dari pelapik tidur siangku. Namun, karena aku menduga, mungkin dari Daeng Litere, sehingga aku beranjak meraih ponselku yang terletak di meja. Aku ingin memastikan, apa betul Daeng Litere atau bukan.
“Salama wa rahmah. Kau masih ingat kawan Tionghoa, sekelas kita, waktu SMP?” Daeng Litere melayangkan tanya.
“Yang mana? Maria Kong, Imelda, Pingsong, Chong, Liong, Chiang, Aseng, atau Eni? Soalnya, banyak anak Tionghoa di kelas kita, apalagi di sekolah kita” kubalas japrinya.
“Itue, yang waktu kita kelas dua. Dia pindahan dari daratan Tionghoa, yang belum bisa berbahasa Indonesia, apalagi bahasa Makasar-Bantaeng.” Daeng Litere bertanya lebih dalam.
“Oh, itu namanya, Ata’. Matanya sangat sipit, rapi sekali pakaiannya, kulitnya putih, dan rambutnya sisir samping.” jawabku.
“Percis…” Daeng litere berseru.
“Kira-kira bagaimana kabarnya ya? Pasalnya, ketika kita naik kelas tiga ia sudah pindah lagi. Kata omnya, ia kembali ke daratan Tionghoa. Pasti ia juga sudah mulai menua seperti kita. Telah memangsa jatah umur lewat setengah abad.” Kutanya Daeng Litere, meski aku pastikan ia tidak punya jawaban.
Namun, ia menyahut, “Mungkin sebaiknya, kalau ada waktu nanti, ente ke Bantaeng, kita sama-sama ke Toko Asahi, di kawasan Pecinan, Jalan Mangga-Manggis, siapa tau kita bisa dapat urita dari pamannya.”
“Ah, nantilah kita jadwalkan. Aku lebih tertarik menanyaimu, tentang adik kelas kita di SMA, yang gadis Tionghoa juga. Bukankah gadis itu odo-odonu? Pacarmu?” aku mau menginterogasi Daeng Litere.
“Fotonya masih kusimpan.” ujar Daeng Litere.
“Dasar pegiat literasi, foto pun disimpan sebagai barang bukti literasi. Semacam literasi gambar. Hehehe.” tohokku padanya.
“Ini bukan soal gambar doang bung. Ada sejuta kenangan di balik gambar itu. Bukankah lewat gambar, merepresentasikan berbagai peristiwa yang mengitarinya? Bukankah pula dari lembaran foto ini, kita bisa memulai serangkaian penelusuran akan tradisi literasi yang hilang?” Daeng Litere menangkis tohokanku.
“Ente perlu camkan. Ketika foto itu diberikan kepadaku, lewat seorang mak comblang, pehabe, disertai surat cinta, dan entah berapa puluh surat cinta melayang, tiap kali kami berbalas kasih, bersurat-suratan.” tulis Daeng Litere.
“Lalu apa istimewanya?” tanyaku memancing rahasia.
“Ini soal kecakapan literasi bung. Bukankah menulis surat cinta itu bagian dari kapasitas literasi, kemampuan menulis surat, sebentuk capaian literasi tertentu? He..he..he… Banyak yang bisa baca surat, tapi tidak bisa tulis surat, termasuk ente, ha..ha..ha..” Ia memojokkanku.
“Aku percaya pada kemampuanmu menulis surat cinta. Aku mah cuman bisa menyalin contoh surat cinta, yang ada di buku kumpulan surat cinta. He..he..he..” aku mengalah.
Sejatinya, perkara menulis surat cinta ini, salah satu kemampuan yang sudah hilang di kaum millennial saat ini. Anak muda sekarang, pola bercintanya, silangsungngang, potong kompas. Sekadar menyatakan I love you, atau jadian yuk. Generasi kami dulu, jika sudah mulai jatuh cinta, ketika surat-menyurat menjadi arena berbalas kasih, maka setiap insan, berpotensi menjadi penyair. Angin, hujan, matahari, bulan, pagi, siang, sore, malam, subuh , dan segala gejala semesta diajak ikut berempati, merasai rasa dari rasa para pecinta.
***
“Eh, kenapa nalama sekali baru nujawab?” aku menjapri Daeng Litere, setelah percakapanku dengannya, hening beberapa saat.
“Aku larut dalam kenangan bung.” ia membalas tanyaku.
“Kenangan kok dilaruti? Kenangan itu cukup disimpan di sudut hati. Anre nipariati, jangan di dalam hati.” aku coba menggodanya.
“Bukan soal di sudut atau dalam hati bung. Namun, perkara tidak jadinya ke pelaminan. Padahal, ada keinginan untuk menuntaskan rasa suka sama suka ini ke jenjang kepastian ikatan persukaan, mewujud lilitan cinta sejati, membentuk rumah tangga. Sekaligus, menuntaskan pembauran antara pribumi dan nonpribumi, laiknya beberapa orang, warga Bantaeng yang telah menjalaninya.” agak serius Daeng Litere dengan jawabannya.
“Ho..ho..ho.., kenapai nabasa layar hapeku? Jangan-jangan bening air matamu tembus ke layar ponselku?” aku mencandainya, biar tidak terlalu larut dalam kenangan.
“Ada saran bung agar aku legowo, tidak menyesali kekurangberanianku menginjak duri penghalang kegagalan penyatuan ikatan ini? Daeng Litere balik bertanya.
“Sudamo. Temui dia, perempuan Tionghoa itu, mantanmu, di tokonya. Ucapkan selamat tahun baru Imlek. Haturkan Gong Xi Fa Chai. Siapa tau dapat angpao. Cuman, bentengi dirimu dari ceelbeka, cinta lama bersemi kembali. He..he..he.. Pabattui sallangku, sampaikan salamku.” kusarankan pengobat gundah. Sebentuk pelipur lara.
“Tengkyu bung, asiyap dijalani parentanya.” Daeng Litere memberi isyarat percakapan mau berakhir.
Sejatinya, aku dan Daeng Litere, semenjak kanak-kanak, remaja, hingga dewasa terbiasa dengan iklim keragaman etnik, budaya, dan agama di Bantaeng. Khususnya etnik Tionghoa, kami masyarakat membaur adanya. Memang ada kawasan pecinan, tapi tidak ekslusif. Kami bersekolah, bermain, dan berbisnis bersama, serta boleh saling jatuh cinta. Ada yang menuntaskan di pelaminan, ada juga sebatas kenangan. Itulah yang menimpa Daeng Litere.
Lalu aku melayangkan kalimat penutup, japri paripurna buat Daeng Litere, “Pada jejak tambaruna cinayya, tahun baru Cina, mari mengawetkan kenangan. Mari menjaga harmoni bermasyarakat di Bantaeng. Waima tiada angin kencang dan hujan lebat. Gong Xi Fa Chai.”