“Agama NU”

Tumpukan sampah kiriman di selokan usai terangkat. Reranting pohon jeruk yang menghalangi kabel listrik tuntas terpangkas. Ragam bunga di pot telah tertata kembali. Halaman mukimku sudah rapih. Bersih seperti sediakala.

Hujan kembali merintih-rintih. Aku bergegas membersihkan diri. Biar segar ragaku, sesegar pekarangan rumah. Dan, kala itulah, seorang lelaki separuh baya turun dari boncengan ojol.

Aku tidak mengenalinya, sebab helm menutupi wajahnya. Namun, ketika ia melepas pengaman kepala itu, senyum sumringah menguar darinya. Rupanya, Daeng Litere menyata di mukimku. Aku amat bahagia.

Pagi pun yang mulai merangkak siang, ikut menghidu dengan balutan mendung. Hujan masih betah dengan rintihnya. Aku sambut Daeng Litere dengan sepenuh jiwa. Aku ajak memasuki ruang belakang, pada pojok surga, ruang baca sekaligus tempat sawala bagi sesiapa saja yang datang.

Arkian, aku pamit sejenak menuntaskan pembersihan diri. Maklum, bau keringat bersetubuh dengan aroma selokan lumayan menyengat, merambati sekujur badanku. Daeng Litere oke saja. Ia pun, sesudah meletakkan tas punggungnya, langsung memolototi ribuan buku di rak. Dari ekor mataku terlihat, ia memilih beberapa buku. Mungkin lima atau enam buku pilihannya. Ia tumpuk di atas meja baca.

***

“Aku sengaja bertandang ke mukimmu, sebab sudah dua pekan anre nunai ri Bantaeng, apa passala?”   Daeng litere langsung melayangkan tanya, tatkala aku sudah duduk di depannya.

“Oh, itu. Aku tidak naik ke Bantaeng sebab ada kerabat yang mau umroh dan ada pula yang masuk rumah sakit, mau dioperasi battanna. Usus turun bede,” jawabku.

“Aku ke Makassar, karena dua hal. Pertama, mau ucapkan HBD buat putra bungsumu, yang juga sudah kuanggap sebagai putraku. Kedua, mauka hadiri Harlah NU ke-94.”

“Jadi, perkara ulang tahun dan hari lahir pale nu battu?”

Yoi bung. Hanya soal natal-natalan.”

Sesarinya, putra bungsuku berulang tahun ke-15 pada 30 Januari 2020, sementara Nahdatul Ulama (NU), sebagai ormas Islam terbesar memperingati hari lahirnya yang ke-94. NU lahir 31 Januari 1926. Dua momen inilah yang menyebabkan Daeng Litere menyata di Makassar. Tentu selain rindu bersua, guna mempercakapkan berbagai soal. Namun, kali ini pastilah soal NU. Kenapa? Karena setiap Harlah NU, Daeng Litere selalu mengajak bersawala apa saja tentang NU. Dan, selalu saja mempertanyakan ke-NU-anku.

***

Usai salat Duhur dan santap siang, aku dan Daeng litere, jeda sejenak. Istirahat sambil rebahan di ruang baca, tapi percakapan berlanjut, sembari menanti beberapa kisanak, yang ingin ke mukimku, sebab ingin jumpa juga dengan Daeng Litere. Maklum saja, meski ia menetap di Bantaeng, teman gaulnya lumayan banyak, termasuk di Kota Makassar ini.

“Hei, kau masih ingat, waktu kau menyatakan padaku, bahwa agamanya abbamu, ‘agama NU’?” tanyaku.

Daeng Litere berusaha mengingat apa yang kutanyakan.  “Ya, memang pernah kukatakan begitu, bahkan hingga sekarang, saat abbaku sudah mengalmarhum, aku masih menganggap agamanya NU. Dalam pengertian memegang teguh tatacara beragama ala NU. Meskipun ini juga semacam candaan saja. Sebab saking fanatiknya sama NU.”

“Dan, kau juga begitu, memeluk ‘agama NU’?”

“Boleh ya, boleh juga ya,” guyonan Daeng Litere mulai menghidu percakapan.

“Apakah memang tandanya kefanatikan itu?”

“Begini, abbaku itu mau mati kalau NU dengan segala tradisinya, ada yang coba mengganggunya. Coba saja. Sekali waktu, ada yang beritahu abbaku, bahwa ada seorang oknum yang mau bakar kitab Barazanji. Apa na bilang abbaku? Punna nabeta agea, sitoboki sede, maksudnya, kalau kalah berdebat, baku tikam lagi. Itu baru satu contoh.”

“Contoh lain?” tanyaku memancing.

“Jangan coba-coba persoalkan di hadapannya, soal-soal semisal: selamatan, ziarah kubur, tahlilan, tarwih 20 rakaat, qunut subuh, tidak mengeraskan bacaan basmalah, dan beberapa ritus keagamaan ala NU.”

***

Memang demikian adanya abbanya Daeng Litere. Di masa silam, bapaknya Daeng Litere, cukup berjasa dalam mengeksiskan NU di Bantaeng. Ia rela meninggalkan keluarganya, pergi ke pelosok-pelosok kampung, membumikan ajaran Islam ala NU. Bapaknya, seorang aktivis NU di masanya. Ia juga seorang Ustas, meski levelnya di kampung. Bukti ke-NU-an teranyar sang bapak, ketika ia menjadi Mustasyar NU Bantaeng, di era Gus Dur. Aku pernah melihat SK-nya, Daeng Litere menunjukkannya padaku, ditandatangani oleh Gus Dur. Daeng Litere masih menyimpannya. Bahkan, ia pres plastik supaya lebih aman. Ia memperlakukan SK itu seperti ijazah sekolahnya.

Aku dan Daeng Litere, tumbuh dari keluarga Nahdiyin. Bedanya, saat aku dan dia berkuliah di Makassar. Aku tidak memilih aktif di organisasi kemahasiswaan bernafaskan NU, melainkan masuk menceburkan diri di HMI. Lebih dari itu, pernah ikut training di IMM, sampai pada level yang lumayan. Cuman, aku lebih memilih HMI, pun HMI-MPO. Sedang ia, melanjutkan petualangannya di PMII, organisasi kemahasiswaan ala NU.

Dari pangkal soal inilah, Daeng Litere sering menggodaku dan mempertanyakan ke-NU-anku. Satu-satunya pembelaanku, selalu merujuk pada Mahfud MD, seorang alumni HMI sekaligus Nahdiyin. Berlapik ini pula, sawala kami amat dinamis. Bukan itu saja, tatkala di keninian, masih amat dinamis cara pandang dalam mempercakapkan NU, khususnya di kampung halaman Bantaeng. Apatah lagi Daeng Litere sudah masuk pengurus NU Bantaeng, posisinya sama dengan apa yang pernah dijabat abbanya, Mustasyar NU Bantaeng. Ia pernah tunjukkan SK-nya, meski ia belum pres plastik.

***

Aku beranjak dari rebahan. Melangkah menikung ke ruang dapur. Nampaknya, kopi hitam nir gula sudah tersedia. Disiapkan oleh salah seorang putriku, atas instruksi nyonyaku. Hebatnya lagi, kopi yang bakal ditenggak bersama kawan-kawan, merupakan kopi yang dibawa oleh Daeng Litere. Kopi bubuk asli hasil sangrai ala kampung. Satu cerek besar dengan beberapa cangkir, siap meladeni persamuhan antara aku, Daeng Litere, dan kawan-kawan yang bakal hadir.

Aku memolototi beberapa buku yang diletakkan Daeng Litere di atas meja. Buku berbau NU semua. Namun, ada buku yang bakal mengagetkannya, sebab ia belum menemuinya, apatah lagi mengejanya. Buku itu aku tidak simpan di ruang baca, melainkan di kamar pribadi. Pasalnya, buku itu lagi saya eja kembali. Satu buku anggitan Ahmad Baso, berjudul, “Agama NU”. Entah kenapa aku mengeja kembali buku ini. Mungkin karena pengaruh Harlah NU ke-94, atau terpengaruh pada ingatan penabalan Daeng Litere akan abbanya yang memeluk “agama NU”.

Aku menenteng buku itu dari kamar, lalu kuletakkan di atas meja. Mata Daeng Litere berkaca-kaca. Mungkin karena warna merah menyala dari buku itu. Atau jangan-jangan, ia merasa mendapatkan justifikasi atas perilaku ber-NU abbanya. Ia langsung menyambar buku itu, menciuminya bak kitab suci, lalu merapatkan di dadanya. Aku membatin, Daeng Litere sementara bertabaruk pada buku itu. Lalu ia bertawassul, membacakan Al-Fatihah buat pengarangnya. Dan, setengah memaksa, buku itu akan ia bawa ke Bantaeng, ia ingin mengejanya sekhusyuk mungkin. Lebih dari itu ia akan membawa buku itu saat berziarah kepada kedua orang tuanya, abba dan amma, yang keduanya adalah aktivis NU dan Muslimat di eranya.

***

Segenap kisanak yang dinanti telah mengada di ruang baca. Sore mendekat, Magrib menyata. Kuajak sekotahnya ke masjid dekat rumah. Masjid yang amat plural pahaman keagamaannya. Tatkala imam memulai salat, sang imam tidak menjaharkan basmalah. Aku dan kawan-kawan tidak pulang ke mukim, sekalian saja menunggu Isa. Ada sawala kecil bersama jemaah.

Sepulang dari masjid, masih di perjalanan, Daeng Litere setengah berbisik padaku, “Imamnya tadi, Magrib dan Isya, tidak membesarkan bacaan basamalah?”

“Ya, imam tadi itu, hanyalah salah satu imam yang sering memimpin salat. Ada juga yang menjaharkan basmalah. Kadang juga ada yang qunut. Masjid ini beragam jemaahnya.”

“Ente masih ingat masjid di kampung halaman kita, yang didirikan oleh tetua kita? Yang sekali waktu diimami oleh orang yang tidak mengeraskan bacaan basmalah, lantas jemaah menjadi rebut, terutama abbaku dan bapakmu?”

“Ya, pastilah. Itu hanya salah satu kenangan. Dan, sekarang tidak pernah ada lagi yang berani mengimami salat tanpa menjaharkan basmalah.”

“Satu lagi tradisi di masjid kita, masih berlangsung hingga kini, tatkala malam Jumat, antara Magrib dan Isa, selalu saja kitab Barazanji didaraskan,” aku memastikan pada Daeng Litere.

“Karena malam ini, malam Jumat dan besok Harlah NU ke-94, bagaimana kalau kita abbarazanji di mukimku, juga melibatkan kawan-kawan, mumpung mereka sudah hadir, dengan syarat, bung yang pimpin.”

Okay,” Daeng Litere menyanggupi.

Mukimku terberkati, pembacaan Barzanji berlangsung hikmat. Pun langgamnya mengikuti cara Bantaeng yang nadanya menggairahkan. Ulang tahun bungsuku dan Harlah NU ke-94 diperingati di mukimku dengan abbarazanji. Mungkinkah ini juga semacam cara melestarikan tradisi NU?  “Agama NU”. Wallahu alam bissawab.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *