Kala membuat tulisan ini, saya sedang memerhatikan murid-murid yang lalu lalang di halaman sekolah. Mereka berlarian, tertawa, dan bermain. Beberapa di antaranya sibuk makan bakwan, dengan kecap dan saos kacang, di bibir mungil mereka.
Bahagia rasanya melihat pemandangan seperti ini saban harinya. Rasanya serupa memasuki lorong waktu ke masa lalu, di mana rasa bahagia begitu mudah merasuk ke dalam hati kita. Kini, di usia kita yang sekarang, bahagia seolah menjadi barang mahal yang hampir tak terbeli. Semakin hari, seiring berjalannya waktu. Defenisi kebahagian menjadi begitu rumit dan kompleks. Kita seringkali dibuat lupa, bahwa kebahagian, sejatinya bukanlah sebuah tempat di mana kita mesti berada di sana untuk bahagia, kebahagian adalah sebuah kondisi batin yang kita ciptakan. Sesederhana itu.
Namun, tulisan ini tak bermaksud membahas itu. Tak juga bermaksud memberikan tips agar hidup bahagia. Tidak. Tulisan ini lebih mirip catatan hati yang resah. Tapi jangan dianggap sebagai keluh kesah.
Sebagaimana judul di atas. Setelah lebih kurang 2 tahun menjadi seorang guru, saya menemukan banyak sekali pelajaran hidup. Rasa-rasanya saya lebih banyak belajar tinimbang mengajar. Semoga itu tak dianggap sebagai sebuah kegagalan. Mengingat status saya sebagai guru.
Menjadi guru memang sudah menjadi keinginan saya kala masa sekolah dulu. Alasannya sederhana dan lucu. Saya melihat guru memeroleh banyak telur dan makanan, kala penerimaan raport tiba. Fikiran kita kala anak-anak memang lucu, tapi jujur.
Dalam rentang waktu dua tahun itu, spirit keguruan saya masih fluktuatif. Kadang merasa gagal, ketika merasa tak maksimal dalam kelas. Kadang pula merasa bahagia, kala anak-anak menunjukkan progres yang baik dalam proses belajar, maupun interaksinya terhadap sesama.
Seperti kemarin, kala saya duduk memasang sepatu sehabis salat Dhuha bersama anak-anak. Dua orang anak menghampiri saya. Salah satunya membuka percakapan.
“Pak, saya mau minta maaf.”
“Minta maaf atas apa?” tanya saya.
“Yang kemarin pak, sewaktu lewatki saya berteriak sama kita’.” Jawabnya malu-malu, kemudian berlari menuju kelasnya. Saya tersenyum saja.
Jujur saya terkejut. Pengalaman tak terduga seperti itu memang selalu memberikan kesan tersendiri. Anak-anak sering mengejutkan kita dengan tingkah polos mereka. Khas anak-anak yang muncul, hanya ketika ia merasa nyaman dan aman dari omelan orang dewasa (baca:guru).
Bukankah perilaku demikian juga termasuk kecerdasan? Kecerdasan interpersonal (cerdas bergaul) namanya, dalam teori multiple inteligence yang diperkenalkan oleh Howard Gardner tahun 1983 di Harvard University. Kecerdasan yang diklasifikasikan dalam EQ (kecerdasan emosional).
Lebih lanjut, kecerdasan interpersonal memiliki ciri khas di mana seseorang merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan perbedaan yang timbul, dipahami sebagai kesempurnaan interaksi.
Memang, jika diperhatikan, anak yang meminta maaf tersebut memiliki kekhasan tersendiri dalam bergaul. Ia menonjol dan berpengaruh. Ia pun memiliki relasi yang baik dengan orang yang lebih tua atau yang lebih muda.
Tentu situasi yang demikian tidak akan lahir apabila ada rasa takut dalam hati anak untuk mengekspresikan perasaannya. Karenanya, memang dibutuhkan pendekatan humanistik dalam setiap interaksi guru-murid. Melihat dan memperlakukan anak seutuhnya sebagai manusia. Mendidiknya dengan sebaik-baik kata dan perilaku. Mengapresasi dan memberikan penguatan atas budi baik mereka, dan menasehati dengan lemah lembut kala mereka melakukan sesuatu yang keliru.
Syahdan, kiwari ini kita masih sering mengukur kecerdasan anak berdasarkan angka-angka statis di atas kertas. Menilai secara hitam-putih. Mendefenisikan kecerdasan secara sempit. Mengukurnya dengan faktor tunggal serba mencakup (an overall single factor) atau yang lebih dikenal dengan IQ (Intelligence Quotient). Sehingga lahirlah kesan, bahwa anak yang memiliki IQ rendah sudah “digariskan” oleh Tuhan untuk gagal. Pokoknya IQ sentris.
Padahal, dalam buku The Bell Curve, ditulis oleh Hernstein dan Murray, pada tahun 1994, dikatakan bahwa sebagian besar orang memiliki IQ rata-rata, dan hanya sedikit yang ber-IQ tinggi atau rendah. Apatah lagi, penelitian mutakhir telah membuktikan bahwa IQ dapat ditingkatkan dengan latihan yang tepat.
Selain IQ, penelitian kecerdasan manusia kemudian dilengkapi oleh Daniel Goleman, pada tahun 1995, yang memperkenalkan Emotional Intelligence (kecerdasan emosional), dan pada tahun 2000 Danah Zohar dan Ian Marshall memperkenalkan Spiritual Intelligence (kecerdasan spiritual).
Mengenal EI dan SI
EI (Emotional Intelligence) adalah salah satu jenis kecerdasan yang dapat menentukan kesuksesan seseorang, mengapa? Pertama, Orang yang memiliki EI yang baik akan bisa mengendalikan emosinya sedemikian rupa, sehingga seluruh sikap dan responnya terkendali dan terencana. Lebih jauh, emosi yang bersifat destruktif kemudian dapat diolah dan berubah menjadi energi-energi positif. Kedua, EI memungkinkan seseorang untuk bisa memahami emosi orang lain (berempati) sehingga bisa menjalin relasi dengan baik dan produktif.
Berbeda dengan EI yang mengendalikan perasaan dan bersifat praktis. SI lebih bersifat ruhani dan reflektif. SI ini berkaitan erat dengan adanya kebutuhan manusia untuk merasa tentram dan bahagia. Merasa memahami hakikat hidup. Tahu arah kehidupannya serta memiliki teman yang bisa diandalkan dalam menjalani segala lika-liku kehidupan.
SI memungkinkan seseorang merasa terus diawasi hingga bermuara pada perilaku-perilaku positif. Dan perasaan ini akan menjadi tameng dalam situasi-situasi kritis. Saat lapang maupun sempit. Saat sendiri atau ramai. Terlebih pada saat kesempatan (berlaku destruktif) terbuka lebar.
Lebih lanjut, Zohar dan Masrhall mengklaim bahwa SI merupakan landasan yang diperlukan guna memaksimalkan IQ dan EQ. Dengan kata lain, SQ-lah yang mengarahkan IQ dan EQ.
Kita tentu tak ingin melahirkan generasi yang pintar tapi barbar. Pun generasi yang cerdas tapi culas. Karenanya menyeimbangkan ketiga jenis kecerdasan di atas merupakan sebuah keniscayaan yang tak hanya menjadi tugas guru, tapi juga orangtua, pemerintah, dan masyarakat tempat di mana anak-anak kita melata.
Sekotah kecerdasan itu memiliki peran vital bagi peserta didik untuk bertahan, berkembang dalam masyarakat tempat ia hidup. Kasadnya, muara dari kecerdasan itu adalah membekali setiap orang agar bisa hidup bahagia dunia dan akhirat.
Lahir di Bantaeng, guru PJOK, pustakawan Rumah Baca Panrita Nurung, dan penulis buku kumpulan esai, “Jika Kucing Bisa Bicara” (2021).
Izin share ya
Dengan senang hati. Silahkan.