1990—Saya lulus SMU dengan pencapaian NEM tertinggi setingkat kabupaten atau kecamatan saya lupa persisnya untuk tiga mata pelajaran, Bahasa Inggris, Tata Negara, dan Matematika. Tiga kali bolak-balik saya dipanggil naik ke panggung bersama Bapak dan Ibu. Tersirat wajah bangga dari ekspresi yang mereka pancarkan. Rasa senang saya sebagai siswa pastinya lebih berlipat-lipat lagi. Bisa meraih nilai-nilai yang sangat memuaskan pada ketiga mata pelajaran tersebut. Untuk Bahasa Inggris, saya tidak heran, saya memang suka sejak kelas 4 SD siapa pun gurunya. Untuk Tata Negara, yang dibutuhkan hanya kekuatan menghafal saya kira dan sedikit ketertarikan pada hal-hal yang berkaitan dengan NKRI. Sementara untuk matematika, saya punya kisah yang sedikit unik tentangnya.
1986—Masih berstatus siswa kelas 2 SMP. Ibu guru matematika tiba-tiba datang menghampiri saya, seorang teman, dan kakak saya, perempuan yang setahun lebih tinggi kelasnya. Sedikit pembukaan basa-basi soal pelajaran khususnya matematika yang menjadi tanggung jawab pengajarannya. Beliau sebelum meninggalkan kami tiba-tiba melontarkan kalimat seruan yang ditujukan pada kakak saya. Pesannya, “Banyak-banyaklah mengajari adikmu ini matematika. Nilainya rendah-rendah semua.” Alamak, betapa malunya saya. Ingin rasanya berlari pulang menyembunyikan wajah ini.
Nilai matematika kakakku saya akui lumayan bagus angkanya dibandingkan diriku yang rata-rata membara warnanya. Mereka di luar sana tidak tahu kalau bapak guru yang mengajar kelas kami sangat berbeda pendekatannya dengan cara ibu guru ini yang sejujurnya lebih mudah saya pahami. Sayangnya ia nanti mengajar ketika saya naik ke kelas 2 SMP. Di mana fondasi pemahaman saya sudah banyak diwarnai oleh guru yang mengajar sebelumnya. Saya sudah lupa persisnya pada saat mana otakku yang dianggap lemah dalam pelajaran tersebut mulai menemukan celah, sehingga cahayanya perlahan-lahan mampu menembus masuk ke dalam dinding-dinding kepalaku.
Belasan tahun kemudian barulah saya bisa menemukan sebab-musabab seorang anak terkategorikan ‘tidak bisa’, ‘tidak cakap’, tidak pintar’ dalam suatu bidang pelajaran. Sangat tidak sederhana penyebabnya. Banyak faktor yang berpengaruh di dalamnya. Di antaranya lingkungan dalam kelas, baik teman-teman ataupun guru yang tanpa sadar mengeluarkan atau menampilkan ekspresi yang merundung seseorang. Entah berupa komentar, reaksi yang mereka tampakkan atas sebuah kejadian kecil saat pelajaran berlangsung. Atau bisa pula justru berasal dari guru yang bersangkutan. Yang meskipun dengan nada bercanda atau olok-olok menertawai muridnya yang karena ketidaktahuannya lantas salah menjawab sebuah soal.
Sejak mengetahui sedikit ilmu-ilmu tentang otak dan soal kepribadian manusia, saya mulai menanamkan tekad kuat tidak akan pernah secara sadar melakukannya pada anak-anak kecil yang saya temui dalam perjalanan hidupku di kemudian hari. Mengapa ada frasa secara sadar, karena di sela-sela tindakan sadar manusia, kadang terselip pula ketidaksadarannya alias khilaf yang tentu tidak ia inginkan terjadi.
1987—Saya memulai jenjang sekolah di SMU di kota kecil Sorowako. Lokasi kedua sekolah tersebut terpaut kurang lebih 10 km. Beruntung rumah kami dekat dengan sekolah ini. Sehingga dengan berjalan kaki pun kami sudah bisa mencapainya dalam hitungan 10 menit saja. Sekolah dengan suasana baru, teman-teman baru, meskipun ada sebagian kecil yang berasal dari sekolah yang lama. Karena sebagiannya banyak yang pindah keluar pulau, pindah ke kota besar atau kembali bermukim ke kota asalnya.
Entah bagaimana ceritanya saya berhasil meraih peringkat ke 2 pada semester 1 awal bersekolah di SMU. Dan meraih peringkat pertama pada semester berikutnya. Saya sungguh tak menduga dengan pencapaian ini. Matematika yang dulu jadi momok sekarang terasa sangat menyenangkan dan menantang untuk dijalani. Guru yang mengajar pelajaran ini masih sama dengan yang saya ceritakan di atas. Kali ini ia pun sama senangnya denganku. Kepercayaan diri makin meningkat mengiringi jenjang-jenjang kelas yang kami lewati. Menduduki peringkat pertama setiap semester dan tiap tahunnya. Hingga berujung pada pencapaian nilai tertinggi pada tiga mata pelajaran di atas. Sayang saya tak menyimpan catatan harian seputar tahun-tahun yang saya lewati selama bersekolah di sini. Hanya ingatan-ingatan kecil yang berlompatan dalam kepala, yang mampu terakit ke dalam bentuk penggalan-penggalan kisah.
1990—Saya mendaftar UMPTN lewat jalur tes biasa tanpa ikut bimbingan pelajaran sama sekali, kecuali sesekali berkumpul di asrama pelajar Luwu yang ada di kota Makassar. Alhamdulillah meskipun begitu, saya berhasil lulus pada pilihan pertama, yakni Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Inggris. Senang bukan main membaca koran pengumumannya. Tahun kedua saya diajak kawan perempuan ikut pengkaderan sebuah organisasi mahasiswa Islam terkenal yang berbulan lahir sama dengan bulan pernikahan kami, Februari. Ialah HMI. Gairah belajar dan mencari ilmu mendorongku untuk mencoba kegiatan apa saja yang berkaitan dengan peningkatan wawasan pengetahuan umum maupun keagamaan.
Lewat doktrin dan transfer pengetahuan yang kami dapatkan selama beberapa hari, saya kemudian merasa sangat islami sekeluarnya dari pelatihan tersebut. Riak-riak perlawanan mulai terasa menggelora ke manapun tubuh ini dihadapkan. Keyakinan akan kebenaran pengetahuan yang telah didapatkan selama beberapa hari serasa cukup untuk mengubah wajah siapa pun yang ditemui. Entah dalam lingkup keluarga, kampus, ataupun lingkungan masyarakat luas.
Selama kurang lebih tiga tahun merasakan menjadi mahasiswa, prestasi akademik yang diraih lumayan memuaskan, walaupun harus berbagi waktu dan perhatian dengan kegiatan organisasi. Dari sekian banyak kegiatan kemahasiswaan yang dilakoni, mengumpulkan buku, membacanya, kemudian mempraktikkannya dalam keseharian menjadi salah satu aktivitas yang sangat menyenangkan. Belum banyak gangguan teknologi sebagaimana yang dialami pada masa-masa terakhir ini. Satu-satunya hiburan yang tersedia hanyalah kotak tv yang pengaruhnya masih dapat dikendalikan.
1991-1993—Masa-masa aktif di HMI dan menduduki posisi penting di tingkat cabang. Ada perasaan bangga, namun penuh beban dengan seribu satu pertanyaan yang tak semuanya mendapatkan jawaban. Mengamati perilaku para pengawal organisasi menumbuhkan beragam interpretasi. Kebersamaan yang hanya satu periode, menjalani kegiatan mulai tingkat lokal hingg nasional akhirnya berujung pada keputusan yang sama dalam hal perjodohan.
Dan kisah itu dimulai dengan cerita tentang buku…
Pegiat literasi dan parenting di Paradigma Institute. Telah menulis buku “Dari Rumah untuk Dunia” (2013) dan “Metamorfosis Ibu” (2018).