Ahad pagi yang dingin dan basah, saya masih menikmati rasa malas khas hari libur di pembaringan kala diajak Ibu mengambil kayu bakar di kebun. Demikianlah, di era serba praktis ini, Ibu di rumah masih betah memasak menggunakan kayu bakar, waima kompor gas juga tersedia di dapur. Sekali waktu saya pernah bertanya mengapa demikian, “Supaya lebih hemat nak,” jawab Ibu singkat, padat, dan jelas. Gas masih harus kita beli, sedangkan kayu sudah disediakan oleh alam secara gratis dan tak terbatas. Fikiran saya yang—katanya—dididik maju ini belum menjangkau ke sana. Ironis.
Berangkatlah kami pagi itu, mengendarai motor. Jaraknya tidaklah jauh, di Dusun Bungayya, Desa Tombolo, Kec. Gantarangkeke, Kab. Bantaeng, sekira 3 km dari tempat saya bermukim.
Sewaktu kecil saya sering diajak Ibu kesini. Bertelanjang kaki kami menjelajah, berjalan hingga berkilo-kilo meter pun masih sanggup. Meniti pematang sawah, menerobos hutan. Kiwari ini, berjalan masih bisa. Namun, mudah lelah dan bosan. Ciri manusia modern memang demikian, fisik menurun lebih cepat dari usianya. Musababnya jelas, terlalu dimanja oleh produk-produk teknologi. Miris.
Sesampai di kebun, saya merangsek masuk di sela bebatuan yang disusun serupa pagar. Warga di sini menyebutnya bata. Gunanya tentu untuk melindungi kebun, dari hewan yang akan merusak tanaman, seturut dengan itu, pagar batu ini juga menjadi batas antara kebun yang satu dan yang lainnya. Keren bukan?
Jika melihat secara sekilas, saya dan anak-anak muda sekarang mungkin akan kagum, betapa telaten dan sabarnya orangtua kita dulu dalam bekerja. Menyusun satu per satu batu hingga ketinggian satu meter, melingkari kebun yang luasnya bisa berhektar-hektar. Sekali waktu saya pernah menyusun kembali beberapa batu yang jatuh dan berantakan, tapi sungguh saya kewalahan. Selain butuh kesabaran, menyusun batu kembali membutuhkan kekuatan serta kehati-hatian. Ceroboh sedikit, jari tangan bisa berakhir di rumah sakit terdekat. Ambyar.
Beberapa bulan terakhir, selama musim kemarau kebun ini jarang kami kunjungi. Kemarau nan panjang menjadikan beberapa hasil kebun tak dapat kami panen. Beberapa pohon kakao pun yang menjadi bahan baku pembuatan coklat yang digemari masyarakat itu, pun tak luput dari ganasnya kemarau kali ini. Banyak yang layu, beberapa di antaranya tak sanggup bertahan dan mati. Jika sudah begini, kami dan petani yang lain mestilah memulai dari awal lagi. Menanam dan bersabar bertahun-tahun sampai pohon baru itu tumbuh dan berbuah kembali.
Dulu, sewaktu saya kecil, kebun ini sering ditanami jagung saban tahun. Namun, beberapa tahun terakhir tatkala harga jagung turun, banyak petani yang kemudian beralih ke tanaman lain yang harganya lebih stabil. Sebutlah kakao dan cengkih. Faktor lain–mungkin—disebabkan oleh biaya perawatan yang lebih mahal, ditambah semakin kurangnya buruh tani yang mau bekerja. Kalaupun ada, upahnya bisa berlipat ganda. Suatu hal yang memberatkan tentu saja bagi sebagian petani, di tengah ketidakpastian harga. Fluktuatif.
Sebagai anak seorang petani hebat, dari hasil kebun itulah saya disekolahkan orangtua. Di tengah keterbatasan, orangtua selalu saja menguatkan diri memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya, sembari berharap nasib anaknya kelak bisa sedikit lebih baik. Paling tidak bisa bekerja di kantor dan tidak menjadi petani seperti orangtuanya. Sebuah pemikiran yang sempat saya aminkan dulu—beberapa tahun yang lalu.
Namun seiring berjalannya waktu, saya merasa ada yang keliru dari harapan tersebut. Orangtua memang harus memberikan pendidikan yang terbaik untuk anaknya. Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah, anak tetaplah petani yang harus melanjutkan risalah perjuangan orangtuanya. Sebab jika semua anak petani yang “terdidik” meninggalkan pekerjaan yang telah digeluti oleh orangtuanya, maka bisa dipastikan beberapa tahun ke depan kita akan kehilangan petani. Di negara agraris ini.
Data laporan angkatan kerja nasional yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) 2018 menyebut kini jumlah petani hanya tinggal 4 juta orang dari 264 juta orang penduduk Indonesia. Jumlah petani tersebut mencapai titik terendahnya dalam 10 tahun terakhir. Angka-angka yang mengkhawatirkan tentu saja, mengingat peningkatan penduduk secara masif tentu membutuhkan demand pangan yang tinggi pula. Data menunjukkan pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata mencapai 1,49% atau mencapai 6 juta pertahun .
Tidaklah mengherankan jika seorang pakar demografi dan ekonom asal Inggris, Thomas Malthus pernah mengingatkan bahwa manusia meningkat secara deret ukur (eksponensial), sedangkan usaha untuk menambah dan menambal kebutuhan pangan hanya meningkat secara deret hitung atau aritmatika. Dalam hukum ekonomi dijelaskan, tatkala produsen pangan (petani) berkurang, maka permintaan akan meninggi karena pertumbuhan penduduk dan alih profesi petani, yang berarti ancaman terhadap pangan di masa mendatang.
Sayangnya, kiwari ini, profesi petani tak lagi dianggap menjanjikan baik dari segi ekonomi maupun sosial. Tidaklah mengherankan jika banyak petani yang memilih beralih profesi dengan berlaksa dalih, pun melakukan urbanisasi ke kota-kota guna memperoleh penghasilan yang lebih layak. Orangtua menyekolahkan anaknya setinggi mungkin, seraya berharap anak tercinta tidak mengikuti jejak orangtuanya bergelut dengan tanah dan ketidakpastian saban hari. Akhirnya petani mengalami degenerasi. Habis.
Hal ini diperparah dengan sikap elitis sebagian sarjana kita di desa yang tak mau lagi bertani. Mereka lebih asyik dengan gawai di tangan dan rambut klimis ber-pomade, sembari duduk di bahu jalan. Entah menikmati apa. Budaya hedonis mereka bawa pulang menubuh dengan gelar akademis. Berbedalah mereka. Asing dan kesepian. Apa gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing?
“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali,” kata Tan Malaka, sang pencetus konsep Republik Indonesia. Pahlawan yang terlupakan itu.
Hal ini menjadi semakin paradoks mengingat para petani biasanya mewariskan tanah—sawah dan kebun—kepada anak-anaknya kelak. Entah anaknya bisa bertani atau tidak. Itulah tradisi turun temurun yang saya saksikan. Menjadi miris, bila warisan orangtua tersebut harus dijual karena alasan-alasan sepele—sebut saja tidak mau bertani.
saya pribadi sepakat dengan sebagian orang, menjual tanah warisan leluhur dianggap sebagai hal yang tidak sopan. Tidak menghargai pemberian orangtua.
Hal ini tentu mesti mendapat perhatian dan evaluasi dari pemerintah. Regenerasi petani adalah soal masa depan bangsa. Pendekatan struktural dan kultural mestilah diaktualkan, keduanya bersifat komplementatif. Saling menguatkan. Kita tentu tak ingin kelaparan di lumbung padi, karena pengelolaan sektor pertanian yang acakadut.
Bukankah Pemerintah mencanangkan pada tahun 2045 Indonesia sebagai lumbung pangan dunia?
Sumber gambar: https://www.wartatani.co/1910/kolom/indonesia-krisis-petani-muda/
Lahir di Bantaeng, guru PJOK, pustakawan Rumah Baca Panrita Nurung, dan penulis buku kumpulan esai, “Jika Kucing Bisa Bicara” (2021).
Kerenlah pesannya.
Saya suka.
Terima kasih kak 😁