Melampaui Manusia

Luka kemanusiaan seperti tak pernah sembuh. Ia hanya kering sebentar lalu kembali cedera ditempa pembunuhan, penyiksaan, penganiayaan, dan lain-lain. Belum habis usut babak lampau luka-luka kemanusiaan, kita mesti berhadapan dengan luka yang baru. Luka-luka yang menempel di pikiran dan perasaan kita.

Masih segar dalam ingatan kerusuhan Delhi yang melibatkan dua kelompok penentang dan pendukung Undang-Undang Citizienship Amendement Bill (CAB): Undang-undang yang “mana beberapa orang mengatakan CAB anti-Muslim, dan yang lain mengatakan CAB akan mendorong migrasi skala besar “which some say is anti-Muslim, and others say will prompt large-scale migration[1]

Selain picu kontroversi, CAB membikin konflik antara umat Hindu dan umat Islam pecah. Alih-alih melihatnya dalam ranah kemanusiaan, kita kadung ikut terpolarisasi dalam fragmen konflik agama. Seperti keinginan Perdana Menteri Narendra Modi yang berkuasa hampir selama 6 tahun, mengambil langkah untuk supremasi Hindu di India. Fenomena ini dibaca oleh Sanjay Jha, juru bicara partai oposisi kongres, sebagai “bagian dari strategi politik Nasionalis Hindu Bharatiya Janata (BJP) yang memecah belah lebih dalam untuk mempolarisasi India (part of a deeper divisive BJP’s political strategy to polarise India)”.[2]

CAB, yang diperkenalkan pertama kali pada Juli 2016, kemudian diloloskan pada Desember 2019 oleh Perdana Menteri Narendra Modi ini, jadi imajinasi terberi pada kaum Hindu di India atas suatu tatanan yang terbentuk dari supremasi agamanya. Pasalnya, CAB memang menjadikan agama sebagai landasan kewarganegaraan.

 

Tatanan Khayalan dan Adimanusia

Tatanan itu tentu membikin sebagian orang dari 80% penduduk Hindu di India membayangkan suatu tatanan yang tumbuh dan terbangun atas nilai-nilai agamanya. Yuval Hoah Harari dalam Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia bilang, “terlepas dari kemampuan agama melegitimasi tatanan sosial dan politik yang tersebar luar, tidak semua agama berhasil mewujudkan potensi itu. Guna mempersatukan wilayah yang luas sekali dan dihuni oleh beraneka ragam kelompok manusia di bawah naungannya, agama harus memiliki dua sifat lain. Pertama, agama harus mendukung keberadaan tatanan adimanusiawi universal yang berlaku kapan pun dan di mana pun. Kedua, agama harus bersikeras menyebarkan kepercayaan itu kepada setiap orang. Dengan kata lain, agama harus universal dan berdakwah (missionary).” (hal 249)

Kita tentu tahu, India adalah agama kuno yang oleh Yuval disebut “bersifat lokal dan ekslusif”. Kemudian, undang-undang CAB akan memberikan kewarganegaraan India kepada para imigran dari tiga negara tetangga—Pakistan, Afghanistan, Bangladesh—kecuali jika mereka adalah Muslim. Belum lagi 14% umat Muslim di India yang dari “riwayat Kesultanan Mughal yang bercorak Islam di India dapat dilacak dari penaklukan oleh Khalifah Al-Walid bin Abdul-Malik mewakili Dinasti Umayyah pada 711 Masehi. Inilah awal mula kehadiran Islam yang meninggalkan pengaruh kuat di tanah air umat Hindu tersebut.”[3]

Dengan kata lain, tatanan sosial politik berlandaskan agama Hindu tentu sulit diwujudkan. Apalagi dengan luas wilayah 3.287.590 KM2 dan jumlah penduduk 1.355.740.000 (1 Maret 2020). Belum lagi imigran yang datang dari tiga negara tetangga. Rasanya hanya akan jadi tatanan khayalan.

Tetapi tatanan khayalan itu telah hadir di kepala sebagian dari 80% populasi umat Hindu di India. Jalin jejal imajinasi yang dipercayai itu bersifat “antar-subjektif, sehingga agar bisa mengubah mereka harus secara bersamaan mengubah kesadaran miliaran orang, dan itu tidak mudah. Perubahan sebesar itu hanya bisa dilaksanakan dengan bantuan organisasi kompleks, seperti partai politik, gerakan ideologis, atau kultus agama. Tapi guna mendirikan organisasi kompleks macam itu kita harus meyakinkan banyak orang yang tak saling kenal untuk saling bekerjasama. Dan itu hanya akan terjadi bila orang-orang yang tak saling kenal memercayai mitos-mitos bersama. Jadinya, untuk mengubah tatanan khayalan yang ada, pertama-tama kita harus mempercayai suatu tatanan khayalan alternatif.”[4]

Perdana Menteri Narendra Modi menangkap tatanan alternatif itu dengan supremasi Hindu, dengan “memanfaatkan” konflik antar agama yang sudah terjadi sejak pemisahan India-Pakistan 1947 silam. Konflik ini dipicu oleh perbedaan nilai dan tafsir atas sesuatu. Misalnya, sapi, yang bagi umat Hindu dianggap sebagai hewan suci, sedangkan umat Islam menganggapnya sebagai hewan kurban. Tafsir ini tentu beda sebab dalihnya berlandaskan keyakinan masing-masing. Sama seperti orang Toraja melihat tedong/kerbau dengan nilai tinggi, sedang “yang lain” menganggapnya hewan pembajak sawah atau daging untuk dimakan. Ini disebabkan kepercayaan atas kerbau sebagai kendaraan bagi arwah menuju puya (dunia arwah, akhirat). Sedangkan “yang lain” itu tidak punya teks rujukan historis sebagai landasan untuk melihat kerbau sebagai sesuatu yang bernilai.

Dengan perbedaan nilai historis dengan basis agama, tentu konflik akan dipicu lantaran nilai yang adimanusia (superhuman order): produk yang bukan merupakan produk olah pikir dan kesepakatan manusia. Alih-alih hidup berdampingan sebagai manusia dengan rasa aman, kebanyakan dari kita kadung menempatkan nilai adimanusia sebagai yang utama. Padahal, nilai-nilai kemanusiaan dan adimanusia mesti beriringan sebagaimana habluminallah wa habluminannas (hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia) disyaratkan untuk menjaga hubungan baik sesama manusia.

Alih-alih menjaga hubungan baik, nilai adimanusia sering membikin manusia melucuti kemanusiaannya dengan melakukan kekerasan, penganiayaan, penyiksaan, dan lain-lain. Seperti konflik yang terjadi di India beberapa bulan belakangan setelah penolakan terhadap undang-undang CAB ditentang oleh banyak orang. Aksi protes itu, selain berusaha diredam oleh pendukung undang-undang itu, kekerasan juga dilakukan oleh aparat keamanan.

 

Spiral Kekerasan

Konflik menimbulkan aksi kekerasan. Padahal, kekerasan, dikatakan Galtung sebagai “sesuatu penghalang yang seharusnya bisa dihindari yang menyebabkan seseorang tidak bisa mengaktualisasikan diri secara wajar. Penghalang tersebut menurut Galtung sebenarnya dapat dihindarkan, sehingga sebenarnya kekerasan itu juga bisa dihindari jika penghalang itu disingkirkan (Muchsin, 2006)[5].

Penghalang dalam konteks konflik di India adalah undang-undang CAB yang memarjinalkan suatu kaum. Jika tidak, korban akan terus berjatuhan. Baik dari kelompok pendukung, juga dari kelompok penentang. Selain itu, jika terus berlanjut negara, lewat militer, punya legitimasi untuk membubarkan massa dengan cara kekerasan. Tentu saja ini membikin kekerasan jadi meluas.

Dom Helder Camara (2005) dalam Spiral Kekerasan mengurai pola spiral kekerasan dengan merumuskan dua kondisi sub-human. Pertama, kelompok yang berjuang demi kaum tertindas. Kemudian, yang kedua, kelompok dengan perasaan religius yang tidak dapat lagi membiarkan agama ditafsirkan dan dijalankan sebagai candu rakyat. Di India, agaknya kondisi sub-human kedua jadi pemicu dari berlangsungnya aksi protes pada undang-undang CAB itu.

Aksi protes itu lalu memantik pendukung undang-undang CAB itu dengan cara kekerasan. Konflik lalu melebar ke ranah agama lantaran undang-undang CAB itu syaratakan supremasi Hindu. Umat Islam, yang dalam undang-undang CAB itu merasa dirugikan, pun meresponsnya dengan cara yang sama. Konflik berlarut-larut itu lalu melegitimasi kekerasan yang oleh Dom Helder Camara diklasifikasikan sebagai kekerasan nomor 3.

Kekerasan nomor 3 itu terjadi karena “para penguasa memandang dirinya wajib menjaga atau memulihkan ketertiban umum, sekalipun itu berarti dipakainya kekuatan; inilah kekerasan no. 3. Seringkali penguasa bertindak lebih jauh lagi, dan hal ini menjadi semakin umum: untuk memperoleh informasi, yang mungkin sungguh penting untuk keamanan publik, logika kekerasan menyebabkan mereka memakai penyiksaan moral dan fisik.”[6]

Tentu korban datang dari kedua belah pihak. Bahkan pihak aparat pun tak jarang jadi korban. Dalam konflik di India ini, dilansir dari CNN Indonesia, sudah mencapai 20 orang, “sedangkan korban luka-luka dalam kejadian itu mencapai 189 orang, 60 di antaranya akibat tertembak aparat.”[7]

Jika sudah seperti ini, kekerasan akan memicu kekerasan lagi. Fenomena ini yang disebut oleh Dom Helder Camara sebagai spiral kekerasan. Tak jarang, konflik ini dipicu oleh nilai adimanusia yang melampaui manusia. Kita pun jarang melihat persoalan kemanusiaan sebagai manusia. Akhirnya, kita saling ribut dan rebut nilai-nilai yang secara adimanusia punya teks yang akan selalu beda, tapi jadi persoalan lantaran kita memegang teguh adimanusia alih-alih melihatnya sebagai manusia.

Pengeroyokan supir di Dogiyai, Papua, misalnya, berpotensi menimbulkan konflik horizontal lantaran kita melihatnya dalam fragmen identitas. Kita tidak melihatnya sebagai duka dan luka kemanusiaan, sebagai manusia. Padahal, tak jarang fragmen identitas membikin kita melihat persoalan kemanusiaan secara kalkulatif: “nyawa bayar nyawa”. Kerangkeng perspektif identitas macam ini membikin spiral kekerasan semakin menganga dalam kehidupan bermasyarakat kita.

Kita tentu mengutuk pelaku pengeroyokan atas nama kemanusiaan. Tetapi, merespons kejadian itu dengan cara yang serupa bukankah menjadikan kita mengedepankan identitas ketimbang kemanusiaan? Lalu, siapa yang akan bertanggungjawab pada korban-korban selanjutnya jika konflik itu pecah lantaran logika “nyawa bayar nyawa”?

Identitas memang penting lantaran kita tumbuh dengan nilai-nilai yang didasari teks kebudayaan kita masing-masing. Tetapi, untuk melihat persoalan kemanusiaan yang sifatnya universal, kita mesti berdamai dengan lokalitas dan ekslusifitas kebudayaan kita agar spiral kekerasan bisa kita tutup bersama dengan kesadaran yang universal.

Tapi jika itu memberatkan, mari kita coba sama-sama masuk ke dalam spiral kekerasan dan melampaui manusia dan kemanusiaan demi nilai-nilai terberi yang kita pegang teguh sejak dalam pikiran dan perbuatan. Lalu lihat, apa yang bisa kita peroleh setelah semuanya. Barangkali darah dan air mata. Juga ilusi kebanggaan sebab membalaskan nyawa seseorang lalu melupakan banyak nyawa yang hilang setelahnya.[]

 

 

 

Catatan Kaki:

[1]BBC, Citizen Amendment Bill protests: The protesters standing up to police, https://www.bbc.com/news/world-asia-india-50809936, diakses pada 2 Maret 2020, pukul 01.48 WIT.

[2] Bilal Kuchay, https://www.aljazeera.com/news/2019/12/india-anti-muslim-citizenship-bill-191209095557419.html, diakses pada 2 Maret 2020, pukul 14.42 WITA

[3]Iswara N Raditya, https://tirto.id/sejarah-maharaja-akbar-memadukan-islam-dan-hindu-di-india-ekqB, diakses pada 2 Maret 2020, pukul 15.05 WIT.

[4] Yuval Nuah Harari, Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia, (Jakarta; KPG (KepustakaanPopulerGramedia), 2017), hal 141.

[5]Muchsin dalam Linda Dwi Eriyanti, Pemikiran Johan Galtung tentang Kekerasan dalam Perspektif Feminis, (JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL VOL. 6, NO. 1, APRIL-SEPTEMBER 2017).

[6] Dom Helder Camara, Spiral Kekerasan, (Yogyakarta: Resist Book, Januari 2005), hal 36.

[7] CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200226202106-113-478499/korban-tewas-kerusuhan-muslim-hindu-di-india-bertambah, diakses pada 2 Maret 2020, pukul 17.00 WIT.

 

Sumber gambar: https://www.nbcnews.com/think/opinion/india-s-new-anti-muslim-law-shows-broad-allure-right-ncna1112446

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *