Jujur, awalnya saya ingin menulis esai tentang tiga orang guru, pembina pramuka, di SMPN 1 Turi, Sleman, yang digunduli oleh polisi. Mereka diplontosi terkait kasus meninggalnya 10 orang siswa, saat kegiatan pramuka. Saya ingin mengajak para guru dan kaum gundul agar meredut ke polisi pelaku penggundulan tersebut. Bahkan, judulnya pun sudah ada. Agak provokatif, “Para Guru dan Kaum Gundul Senegeri, Meredutlah”. Tetiba saja saya urungkan. Pasalnya, setelah para tersangka ditemui di kantor polisi oleh PGRI, mereka mengatakan, memilih digunduli, meminta kepada polisi agar digunduli, biar sama dengan tahanan lain. Demi keamanan mereka, agar tidak tampak perbedaan dengan tahanan lainnya.
Padahal sebelumnya, organisasi guru telah melakukan protes. PGRI lewat akun resminya, bersuara lantang, “Pak Polisi, kami marah dan geram. Tak sepatutnya para guru-guru kau giring di jalanan dan dibotakin seperti kriminal tak terampuni. Mrk memang salah tapi program Pramuka itu legal & jadi agenda pendidikan. Jangan ulangi lagi! seblm semua guru turun,” tulis akun @PBPGRI_OFFICIAL. Waima unggahan ini dihapus oleh admin, demi menjaga kedamaian. Saya rujukkan ke Kompas.com – 27/02/2020.
Arkian, disusul oleh pengurus Ikatan Guru Indonesia (IGI), lewat pimpinan tertingginya, Muhammad Ramli Rahim , menohokkan ujar, “Kami mengkritik perlakuan polisi terhadap guru. Seolah-olah mereka ini pencuri ayam yang harus digunduli dan sebagainya. Yang korupsi triliunan aja nggak dicukur kan. Kasihan ini guru belum-belum digunduli,” kepada wartawan, Rabu (26/2/2020).
Kedua organisasi guru sebagai representasi guru, dikuti oleh sekumpulan guru pun mengecam peristiwa penggundulan itu. Mulai dari pusat hingga ke daerah. Nasib ketiga guru tersebut benar-benar apes. Mereka telah menerima teror dari masyarakat akibat kelalaiannya dan di kantor polisi nasibnya dipersamakan dengan penjahat lainnya. Bagi saya, selaku pecinta guru dan penyandang gundul, polisi telah melecehkan dua komponen masayarakat, para guru dan kaum gundul.
***
Sekali waktu, saya ingin bercukur di pangkas rambut Madura. Saya melihat poster model cukur rambut. Ada lebih sepuluh model. Rata-rata artis dan orang terkenal. Dari sekian model itu, saya memilih model David Beckam. Saya arahkan telunjuk ke gambar Beckam, sembari berkata, “Aku pilih yang ini.” Si tukang cukur bingung. Perkaranya, rambut saya sudah tidak bisa dimodel seperti itu. Kepala saya separuhnya sudah rontok rambutnya, botak.
Sebelum keheranannya pupus, saya sudah menimpali lagi tutur, “Mas saya cuman bercanda. Tolong rambut saya dihabisi, plontos, pakai pisau silet, jangan pakai mesin cukur, biar lebih kinclong. Agar cahaya-cahaya di semesta memantul.” Dengan sigap ia menunaikan tugasnya. Hasilnya? Sempurna. Sesuai dengan orderan.
Dua pekan berikutnya, saya datang lagi. Eh, ada perubahan di poster. Poster lama diganti. Di poster yang baru, sudah ada gambarnya Deddy Corbuzier. Wow, si pemilik pangkas rambut ini amat aspiratif. Memenuhi selera konsumen. Rupanya, yang memilih model plontos alias gundul, bukan cuman saya seorang. Sudah di atas lima orang. Karenanya, ia pun memperbarui model-model tawaran pada pelanggan.
Sejak saat itu, saya pun ogah pindah ke lain hati. Maksudnya pindah ke tempat lain. Nyaris setiap dua pekan saya menyambangi pangkas rambut ini. Dan, setiap saya datang, si pemangkas tersenyum, langsung mengeksekusi, menggunduli saya, plontos.
***
Kasus ketiga guru, selaku pembina pramuka, membuat saya bertanya. Mengapa mesti digunduli? Meski itu permintaan mereka sendiri. Atau pertanyaan lebih khusyuk, mengapa para pesakitan, tahanan di kantor polisi, mesti digunduli? Apa maksudnya? Apakah itu semacam prosedur standar di kepolisian, salah satu tradisinya penjahat digunduli? Sehingga, nyaris si gundul identik dengan penjahat?
Sebagai insan yang telah memilih jalan gundul, menjadikan plontos sebagai pilihan model, amat risau dengan pengidentikan itu. Rasa-rasanya, saya ingin memobilisir kaum gundul senegeri agar meredut polisi, untuk tidak lagi menggunduli para tahanan, baik atas permintaan sendiri karena dibawah tekanan lingkungan terungku, maupun karena dipaksa oleh polisi sebagai langkah penghukuman atas penjahat. Dari mana asal muasal tindakan menggunduli ini?
Semestinya, harkat dan martabat orang gundul diberi tempat yang layak. Seperti layaknya berbagai model rambut, semisal: gonrong, punk, kelimis, dan sederet model lainnya. Seharusnya, melihat orang gundul, kaum plontos melata di bumi ini, tidak ada lagi dugaan negatif sebagai penjahat atau bahan tertawaan. Namun, harus dipandang sebagai kaum spiritualis, selebriti, olahragawan, politisi, budayawan, ilmuwan, seniman, dan berbagai representasi kehidupan professional lainnya.
Haruskah saya mengajukan sekaum gundul, pemilih jalan plontos, semisal: Mahatma Gandhi, Michael Focault, Zinadine Zidane, Andy F.Noya, Deddy Corbuzier, Dalai Lama, Ajahm Brahm, Desmon J. Mahesa, Indro Warkop, dan lainnya, sebagai representasi buat meyakinkan polisi? Atau memobilisir kaum gundul berunjuk kepala, biar kilapan cahaya menyilaukan seisi kantor? Kaum gundul sedunia, berkilaplah!
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.