: Apresiasi buku Kebebasan Berpendapat dan Berorganisasi (Persepsi Mahasiswa UNM)
BUKU di tangan Anda ini demikian menarik karena didorong oleh suatu kebutuhan mendesak. Ari—demikian saya memanggilnya—menyebutnya sebagai ”situasi objektif tentang kebebasan sipil” yang ia temukan dan sadari selama menempuh aktivisme kampus. Memang terkesan simplistis mengurai penerapan kebebasan sipil dari ruang lingkup kampus dibanding kehidupan demokrasi berbangsa dan bernegara. Tapi, selain karena ini awalnya merupakan hasil riset Ari untuk menulis skripsinya, mesti dimaklumi kampus sejauh ini adalah satu-satunya ruang publik yang menjadi wahana uji coba demokrasi sebelum sampai di gelanggang sebenarnya. Oleh karena itu, frasa kampus adalah miniatur negara, dapat kita kontekskan ke dalam buku ini.
Kebebasan sipil, kebebasan berorganisasi, dan demokrasi adalah tiga kata kunci yang dieksperimenkan Ari ke dalam kampus. Akan sangat menarik mengikuti alur kajian buku ini jika dilihat dari dua ekstrem yang sulit bertemu ketika berbicara mengenai tiga konsep kunci di atas. Ekstrem pertama adalah tatanan birokrasi perguruan tinggi yang memiliki kecenderungan statis karena diatur seperangkat sistem kerja dan aturan. Sedangkan ekstrem kedua adalah ekosistem kemahasiswaan yang dinamis oleh sebab didorong idealisme kemanusiaan yang diterangi seperangkat kesadaran dan keyakinan mengenai kehidupan ideal.
Dua ekstrem di atas akan bertolak belakang bukan di dalam irisannya menyangkut ilmu pengetahuan. Untuk urusan ini, baik perguruan tinggi (dosen) dan mahasiswa, sama-sama dituntut untuk memajukan kehidupan seperti yang termaktub dalam tri dharma perguruan tinggi. Kesan berbeda jika dua ektrem ini diperhadapkan kepada panggilan kemanusiaan yang kerap menuntut perhatian lebih. Dengan kata lain, ada pengertian lebih mendalam dari perbandingan antara intelektualisme dan aktivisme.
Seluruh peran dosen di perguruan tinggi berkiprah demi menumbuhkan intelektualisme mahasiswa. Walaupun demikian, ia tidak bisa bergerak jauh atas panggilan tanggung jawab moralnya karena hanya bertanggung jawab dari sisi akademik belaka. Dengan kata lain, ia hanya menuntun mahasiswa berilmu demi ilmu, tidak lebih. Dari sini sudah kelihatan, apa yang dimaksud dengan aktivisme itu sebenarnya, yakni suatu panggilan kemanusiaan yang dikonkretkan ke dalam kerja-kerja keilmuan dan advokasi. Aktivisme dengan kata lain, adalah suatu kemampuan mengubah ilmu ke dalam kerja praksis kemanusiaan.
Di dalam konteks aktivisme itulah kebebasan berpendapat, berorganisasi, dan berdemokrasi menemukan wahana sekaligus momentumnya. Mahasiswa, dalam hal sebagai kelas masyarakat terididik, dengan kata lain menjadi satu kelas yang mampu menggunakan ketiga modal asasi itu jauh lebih terarah dan terukur karena ditunjang dengan modal pendidikannya.
Itu sebab, ditinjau dari konteks ini, kebebasan di tangan mahasiswa tidak berhenti sekadar menjadi kebebasan psikis apalagi fisik. Seperti diutarakan nanti melalui buku ini, selain kebebasan fisik dan psikis, ada namanya kebebasan moral, yakni kebebasan yang mengandaikan keberadaan consciousness (kesadaran) dan voluntary (kerelaan).
Dua unsur kebebasan moral ini selaras dengan teori politik Aristoteles mengenai dasar hakiki manusia dengan binatang. Perbedaan di antara manusia dan binatang menurut Aritoteles terletak di dalam logos (akal budi), bukan phone (bunyi). Binatang memiliki kemampuan phone jika ia merasakan sakit, tapi hanya manusia-lah yang mampu membahasakan rasa sakitnya melalui logos. Kambing akan mengembik (berbunyi) jika ia disakiti, tapi manusia lebih dari itu, rasa sakitnya diperlakukan tidak adil akan ia salurkan ke dalam sistem bahasa berkat terang akal budinya (logos).
Berdasarkan kategori Aristotelian di atas, mahasiswa menjadi bagian masyarakat yang paling berpeluang mengedepankan maksim kebebasannya atas lambaran kesadaran moralnya. Mahasiswa tidak sekadar berbunyi, tapi mampu mengargumentasikan bunyi ketidakadilan ke dalam tuntutan-tuntutan wacana. Hal ini bukan mengenyampingkan peran masyarakat sendiri yang menjadi mayoritas ketika merasakan ketidakadilan, melainkan hanya mahasiswalah kelas masyarakat yang tidak memiliki banyak tuntutan hidup selain dari pada menyuarakan keresahan masyarakat luas.
Kebebasan belakangan ini semakin sulit didudukkan di dalam wacana politik yang mengandaikan eksistensi logos. Pasca Reformasi, kebebasan berpendapat dipakai berbagai pihak untuk melegalkan kebebasannya. Meski dilindungi undang-undang, bukan berarti kebebasan berpendapat dapat dinyatakan bebas sebebasnya. Di tambah semakin massifnya media sosial, kesadaran berdemokrasi kian tumbuh seiring semakin pudarnya peran logos di dalamnya.
Di sisi lain, berdasarkan pengalaman pribadi dan penulis, kampus secara teknis bergeser tidak sekadar menjadi institusi pendidikan dan kebudayaan, tapi juga sebagai institusi perdagangan. Sudah dari setidaknya dua dekade, semenjak lahirnya undang-undang perguruan tinggi, kampus berangsur-angsur mengonsolidasikan kekuatan ekonominya tanpa mengikutkan elemen-elemen perubahan terutama, mahasiswa. Semenjak tanggung jawab pemerintah dicabut atas dorongan undang-undang, kampus menjadi otonom dalam menyelenggarakan pendidikan dan keuangannya.
Dalam konteks ini, dapat dimengerti mengapa di sebagian besar kampus di Tanah Air muncul perlawanan atas kebijakan kampus yang tidak populer. Salah satu kebijakan kampus yang paling tidak populer adalah semakin tingginya biaya kuliah di samping tidak ada perubahan penyelenggaraan pendidikan. Biaya kuliah boleh naik, tapi tidak dengan pelayanannya, begitu kira-kira intinya.
Di UNM sendiri, perlawanan atas kebijakan tidak populer kampus sering mendapatkan rintangan internal dari dua unsur. Rintangan pertama datang dari unsur birokrasi selaku pengambil kebijakan, dan rintangan kedua adalah mahasiswa apatis yang mayoritas mudah ditemui di dalam kampus. Kedua unsur rintangan ini sama-sama dapat dijelaskan melalui kacamata tiga konsep kunci yang sudah disebutkan di atas. Maksudnya, melalui tiga konsep sudah disebutkan sebelumnya, dapat ditelisik di mana posisi keberpihakan birokrasi dan mahasiswa di dalam kehidupan demokrasi kampus. Apakah demokrasi telah menjadi sistem diskursif dan praksis menyediakan ruang gerak kebebasan berpendapat dan beroganisasi bagi seluruh elemen perubahan, atau justru sebaliknya, ia hanya menjadi wacana di dalam kelas belaka!
Tidak perlu menunggu lama lagi, silakan Anda telusuri jawaban pertanyaan di atas dalam buku ini. Satu hal yang mesti secepatnya dilakukan adalah mengapresiasi usaha Ari ini. Tidak banyak mahasiwa mampu mengubah riset studinya menjadi buku seperti di tangan Anda ini. Bravo perjuangan.
Judul buku: Kebebasan Berpendapat dan Berorganisasi (Persepsi Mahasiswa UNM)
Penulis: Muhammad Ridhoh
Cetakan: Pertama, Januari, 2020
Penerbit: Sampan Insitute
ISBN: 978-623-92109-2-2
Blogger paruh waktu. Ayah dari Banu El Baqir dan Laeeqa Syanum. Penulis buku Jejak Dunia yang Retak (2012), Kawan Rebahan: Eksistensialisme, Tubuh, dan Covid-19 (2021).