Sebelum serius membaca, saya merasa perlu untuk menyampaikan bahwa tulisan ini bukan resensi namun sebatas respon kilat dari permintaan penulis, M Yunasri Ridho, saat menghadiahkan karyanya padaku beberapa waktu lalu, yang berjudul Kebebasan Berpendapat dan Berorganisasi.
Sebagai awalan saya ingin memulainya dengan menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang diberkahi kapasitas bicara, setiap individu menyalurkan kegelisahan, menunjukkan keinginan melalui bicara. Konon menurut salah satu filsuf bahwa puncak kecerdasan manusia adalah kapasitas retorik. Olehnya itu sebagai sebuah penciri khas makhluk bernama manusia maka hukum sudah semestinya memberikan keluluasaan potensi ini mengaktual pada setiap individu. Itulah sebabnya hukum tidak hanya memberikan kesempatan untuk itu namun juga berkewajiban melindunginya.
Bahwa hukum tidak bisa memalingkan diri dari aspek mendasar publik. Hukum itu sudah semestinya akomodatif dalam mewadahi mengaktualnya potensi dasar manusia untuk hidup sebagai individu maupun sebagai warga (sosial). Yah artinya hukum itu substansinya memberikan kepastian bagi setiap orang menjalankan hak/kebebasannya dengan jalan sebaik dan sebenarnya. Hak itu inheren pada diri individu maupun yang sosial. Artinya secara eksistensial manusia menjadi utuh apabila masih atau sedang bersama haknya dan setiap mengekspresikan hak maka dibatasi dengan hak yang sama yang melekat pada invidu lainnya. Sama halnya kebebasan sekaligus terbatasi dengan kebebasan lainnya.
Bagian awal buku ini, saya merasakan penulis begitu berhasrat untuk menyakinkan kita bahwa kebebasan itu suatu faktor fundamental kita sebagai manusia. Penulis mengutip banyak varian konsep tentang kebebasan sebagai upaya mendudukkan secara terminologis. Hemat saya, penulis ingin kita bersepakat lebih awal dalam memahami kebebasan untuk bisa lanjut bicara lebih kompleks lagi dari implikasi kehadiran kebebasan. Artinya meskipun penulis bicara soal kebebasan namun definisi tentang kebebasan tidak bisa serta merta ditafsirkan secara bebas.
Penulis yang berlatar sebagai aktivis ini memperjelas bahwa buku ini bukan sekadar permainan tafsiran yang bergantung di awan. saya menyebutnya sebagai lembaran atas pengalaman yang hidup pada relung kepala dan dada lelaki ramah bernama Ary. Beliau, hemat saya satu tipikal mahasiswa di masanya yang terbilang sudah langka ditemukan. Meskipun dikenal tegas dan kritis namun tidak frontal, hehe itu observasi prematur saja. Beliau tetap mengedepankan kemampuan dialogis, dan seringkali mengonfirmasi pendapatnya sebelum dinyatakan dihadapan umum. Yah saya ingin menyematnya sebagai mahasiswa organik pada masanya.
Berbicara harus mampu dilihat sebagai suatu peristiwa aktualitas kemanusiaan. Penulis menilai bahwa ruang akademislah yang paling memungkinkan yang bisa mengaktualkan potensi tersebut. Itulah sebabnya penulis tertarik menelisik perspektif mahasiswa khususnya komisioner LK terkait soal kebebasan di ruang kampus. Memilih informan ini tentu atas dasar bahwa mereka representasi dari mahasiswa yang berhubungan langsung dengan aktivitas berbicara dalam kampus. Sepertinya juga penulis melihat kampus sebagai konteks ontologis yang menjadi miniatur ruang demokratis yang diharapkan bisa menggambarkan proses pemenuhan kebebasan.
Buku ini digelisahkan sebagai pribadi aktivis namun ditulis sebagai mahasiswa yang memenuhi prasyarat untuk sarjana. Bahkan bisa dikata lahirnya buku ini karena pertautan kedua konteks itu. Hemat saya ini salah satu jalan kebebasan kreatif yang dianjurkan untuk dicontoh. Maksudnya menulis tugas akhir (skripsi) tidak sekadar membunuh kewajiban ilmiah melainkan menjadikan satu panggilan jiwa untuk pada insan yang katanya akademis.
Melaksanakan kebebasan tidak bermakna kita akan melakukan apapun yang kita kehendaki. Namun ia tetap pada cara-cara yang bermartabat dan bertanggung jawab karena kebebasan itu soal hak mulia sebagai manusia. olehnya itu tidak boleh dilaksnakan namun sekaligus menafikan kemulian yang lain pada diri yang lain.
Saya tidak berupaya memberikan gambaran dari maksud yang disajikan persis sebagaimana dalam pikiran Bung Ary. Secara sederhana saya juga ingin menyampaikan bahwa penting pemahaman tentang kebebasan untuk tidak disalapahami oleh mahasiswa. Agar kita tidak menjadikannya sebagai alibi untuk apapun yang kita kehendaki. Kebebasan adalah jalan untuk menunjukkan penciri kemanusiaan kita yang aktif dan mengaktual namun tetap dengan cara yang mulia. sungguh tindakan yang menjadi dasar membangun relasi berakar dari setiap pemahaman seseorang. Sehingga pada akhirnya kita tidak mencederai kebebasan atas nama kebebasan.
Mungkin bisa jadi bahan diskusi kita bahwa masalah kebebasan tidak hanya bisa disederhanakan pada satu jenis aktivitas, misalnya demonstrasi ataupun kegiatan tertentu mahasiswa. Namun harus dipandang secara keseluruhan untuk sekadar menemukan bahwa juga masih banyak bagian atau ruang kebebasan sebagai mahasiswa yang tidak terisi dengan baik. Jangan sampai kita terlalu jauh bicara soal kebebasan sebagai hak mendasar namun kita luput menjalankan kewajiban dengan baik.
Sudahkah kita mengisi diskusi di ruang kelas dengan baik dengan ketajaman analisis ilmu masing-masing? Sudahkah kita mengisi kursi-kursi kosong pada perpustakaan dan duduk berjam-jam membaca buku yang mulai berdebu? Setiap tahunnya ada program kreativitas mahasiswa sudahkah kita membuat karya yang diakui secara nasional? Dan begitu banyak ruang produktif lainnya tidak kita masukkan sebagai jalan kebebasan lain. Adek Ary, ini soal perspektif bukan berarti sepenuhnya saya menolak titik pandangmu. Namun saya hanya mencoba membuka fakta lain agar selalu ada alternatif dalam mengaktualkan kebebasan dalam kampus.
Sekali lagi Saya isyaratkan bahwa ini bukan sebuah resensi, jadi Anda bebas untuk tidak membacanya termasuk bebas mengoloknya dalam bentuk balasan tulisan. Oh, iya, terimakasih atas bukunya. Dengan menunaikan tulisan ini maka berakhir pula janjiku padamu. Salam dariku, terus baik dan ramah.
Pengajar Sosiologi di FIS UNM, aktif di KNPI Sulssl, MASIKA Orda Makassar
dan Pegiat Literasi Edu Corner.