Guru dan Inovasi Pendidikan (1)

Ada satu program di Butta Toa, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, yang akhir-akhir hangat diperbincangkan, utamanya di kalangan para pendidik alias guru. Program ini menjadi salah satu andalang Pemerintah Kabupaten Bantaeng guna mewujudkan peningkatan sumber daya manusianya. Khusus di lingkup pendidikan, tentu saja peningkatan SDM guru dan peserta didiknya. Dan peningkatan SDM dimulai oleh guru di ruang-ruang kelasnya.

Beberapa hari yang lalu, saya sempat ikut dalam rombongan yang diberikan amanah guna menyosialisasikan program Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Kabupaten Bantaeng, yaitu: “Satu Guru Satu Inovasi (One Teacher One Inovation)”. Hadir dalam sosialisasi itu Bapak Kadis Dikbud Bantaeng dan  Ketua KGB Nusantara Kak Usman Djabbar. Keduanya menjadi ujung tombak dalam sosialisasi ini.

Saya membuat sedikit catatan kecil perihal perjalanan berkesan ini. Sebentuk perayaan agar momen ini terus mengabadi.

Di hadapan puluhan guru, Pak Kadis memaparkan dengan ringan, bahwa kesejahteraan guru tak mesti dan jangan diukur secara materialistik. Bagi beliau, hakikat kesejahteraan bagi guru adalah ketika mereka bisa mengajar dengan merdeka. Mengajar tanpa tekanan, karena perasaan cinta terhadap profesi. Lalu, dari kecintaan itu hadirlah kepuasan batin yang jauh melampaui kepuasan ragawi. Tak ternilai.

Mendengar itu kepala saya manggut-manggut. Sungguh yang beliau katakan adalah kebenaran. Sebagai seorang guru, saya mulai meragukan diri. Apakah benar selama ini saya benar-benar mencintai profesi saya? Atau jangan-jangan? Berlaksa pertanyaan berkecamuk, menanti jawaban. Segera.

Hal ini menjadi esensial, mengingat inovasi hanya lahir dari guru yang menjalani profesinya dengan cinta yang bermakna. Mau meluangkan waktu dan tenaga guna memikirkan cara terbaik; nyaman dan menyenangkan bagi peserta didik untuk pengembangan segenap potensi yang dimilikinya.

Berbagai studi telah membuktikan bahwa kontribusi guru terhadap hasil belajar siswa melebihi 50%. Studi John Hattie (2008) di New Zealand menyimpulkan 58% hasil belajar siswa tergantung gurunya. Studi serupa di Amerika menunjukkan pengaruh tersebut sebesar 53% (Mourshed and Barber, 2010), sedangkan di Indonesia sendiri pengaruh itu sebesar 54,5% (Pujiastuti, Widodo, dan Raharjo, 2012). Jika guru bisa menghadirkan proses pembelajaran yang baik dan kontekstual maka peluang peserta didik berhasil adalah di atas 50%. Hal ini tentu semakin menunjukkan relevansi dari program One Teacher One Inovation.

Inovasi yang didorong oleh Dikbud Bantaeng adalah bagaimana praktik pengajaran yang menggunakan cara berbeda untuk mengatasi tantangan pengajaran dan pendidikan. Sebagai contoh, tatkala anak-anak pasif dan ngantuk di kelas, maka guru mesti peka membaca situasi dan mencoba mencari metode pengajaran yang lain, agar anak bisa menemukan mood belajarnya kembali. Bukan kemudian menyalahkan anak dan men-judge mereka malas.

Belajar tak mesti di kelas, membaca tak harus melihat buku, metode tak harus ceramah. Bukankah setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah?

Kasadnya inovasi ini sebentuk gugatan situasi mapan pendidikan saat ini yang dianggap sudah usang dan harus diubah. Kenapa usang? Karena pendidikan—dianggap—tak mampu menjawab problema riil di tengah masyarakat.

Bilamana pendidikan masih dianggap sebagai upaya mengumpulkan pengetahuan/informasi sebanyak mungkin, maka peran itu sudah diambil alih oleh om google. Segala informasi tersedia. Selama kuota ada.

Dalam bukunya Semua Dihandle Google, Tugas Sekolah Apa? Prof. Muchlas Amani memaparkan pentingnya mengembangkan aspek life skill. Dengan life skill diharapkan anak didik mampu menghadapi dan mengarungi kehidupan dengan baik. Salah satu aspek life skill yang perlu untuk dikembangkan adalah kecakapan menggali informasi dari berbagai sumber, menganalisisnya secara kritis untuk memecahkan masalah secara kreatif dan bijak. Iptek berkembang secara cepat, sehingga sangat mungkin apa yang dipelajari hari ini akan usang esok harinya, oleh karena itu belajar secara mandiri (self learning, self direction, dan initiative) harus dikembangkan dalam pendidikan.

Lebih lanjut, jadi tugas mengajarkan kognitif level 1 (knowledgeremembering), dan bahkan level 2 (comprehensionunderstanding) sudah diambil alih oleh internet. Tugas guru kemudian adalah kognitif level berikutnya. Nah, menurut Prof. Muchlas Amani, mengolah informasi yang berasal dari berbagai sumber itu tidak dapat dilakukan oleh internet.

Jadi pertanyaan-pertanyaan seperti: apa, kapan, di mana, dan berapa sudah dijawab oleh internet. Tugas guru kemudian memandu mencari jawaban dari pertanyaan “bagaimana”, “mengapa”, dan “apa yang terjadi kalau….”. Inilah yang dalam bahasa psikologi belajar disebut denga High Order Thinking Skill (HOTS). Dan mungkin beberapa guru telah pernah mengikuti pelatihan, mendengar atau bahkan sudah menerapkannya dalam pembelajaran. Sebuah kabar baik tentu saja.

Saya percaya, ketika aspek tersebut di atas bisa mengakar dalam diri anak didik dan guru ditambah dengan beberapa life skill lain maka hoax (berita bohong), hate speech (ujar kebencian), fake news (berita palsu) dan segala tetek bengeknya akan lenyap dari bumi pertiwi. Pun dengan berbagai problema kebangsaan lainnya.

“Ini adalah momentum yang tepat untuk hijrah dari metode-metode konvensional, menuju inovasi pembelajaran yang berpihak pada kebutuhan peserta didik dan adaptif terhadap perubahan.” Pak Kadis menutup paparannya.

***

Kak Usman Djabbar sebagai pembicara kedua membuka dengan sebuah pernyataan. “Saat ini, dunia telah mengalami sebuah perubahan besar. Kita bisa melihat bagaimana teknologi bertransformasi setiap tahun, bulan, dan mungkin hari. Segalanya berubah. Satu-satunya hal yang masih sama adalah guru. Interaksi anak murid mesti dimanusiakan.”

“Pikiran bukanlah bejana untuk diisi, melainkan api untuk dinyalakan.” Kata Plutarch dengan puitis berabad-abad yang lalu.

Urgensi dari inovasi adalah keberpihakan terhadap anak. Belajarkanlah anak sesuai dengan usianya. Jangan belajarkan mereka sesuai dengan keinginan kita. Anak didik tak harus lagi duduk diam mendengarkan gurunya tanpa melakukan apa-apa. Mereka harus dilibatkan dalam pencarian ilmu pengetahuan. Anak mesti belajar langsung dari pengalamannya bersentuhan langsung dengan lingkungannya. Dari situ, diharapkan tumbuh dasar literasi (konsepsi) pada anak, mereka bisa membangun pengetahuan tingkat lanjut, dan mengembangkan konsep yang sudah ada sebelumnya. Pun, segenap pengetahuannya dapat digunakan dalam kehidupannya sehari-hari.

Bukankah penemuan-penemuan yang telah ada dan kita nikmati dewasa ini adalah hasil dari pengembangan ilmu pengetahuan yang sudah ada sebelumnya?

***

Tulisan ini tak bermaksud menggurui siapapun. Sungguh tidak. Saya hanya percaya, kiwari ini, inovasi memang dibutuhkan oleh setiap guru guna mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diamanahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2003 pasal 3 itu. Kekurangan metode belajar-mengajar mesti dikejar dengan terus belajar mengayakan diri sepanjang hayat. Menjadi guru adalah menjadi murid sekaligus. Karena hanya dengan demikian, guru bisa beradaptasi dengan perubahan yang cepat dan dinamis.

Pun dengan kritik yang terus dialamatkan pada kita (baca: guru) sejatinya adalah cinta, agar pendidikan atas manusia berjalan sebagaimana seharusnya. Dan semakin baik kedepannya.

Walakhir. Semoga program “Satu Guru Satu Inovasi” bisa membawa angin segar perubahan bagi dunia pendidikan kita, serta berperan dalam mewujudkan salah satu misi Kabupaten Bantaeng, yaitu: “Mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.” Amin.

 

Ilustrasi: https://www.malangtimes.com

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *