Perkara pendidikan di tanah air, seolah tiada habisnya. Ini terjadi, sebab belum adanya bentuk final dari model pengelolaan pendidikan. Bahkan, nyaris setiap ganti menteri, ganti pula obsesinya terhadap pendidikan. Dan, ujung tombak pendidikan, persisnya sekolah, menjadi salah satu lembaga yang paling strategis menguji coba sekian banyak obsesi pendidikan.
Selaku pegiat literasi dan sekaligus sebagai seorang ayah, yang masih punya anak usia sekolah, tentulah saya sering terlibat dalam perbalahan soal pendidikan. Kasadnya, turut memperkarakan sekolah. Baik sebagai sarana untuk menyekolahkan anak, maupun membangun paradigma pendidikan yang berkontribusi pada penyelasaian soal-soal yang dihadapi negeri ini.
Sebagai orangtua yang pernah diuandang oleh pihak sekolah, saya amat berkepentingan berbagi pengalaman dalam masalah ini. Saya diundang oleh pihak sekolah, bukan karena anak saya bermasalah di sekolah, melainkan adanya sosialisasi orientasi baru dari sekolah. Satu perubahan, tepatnya penguatan komitmen pihak sekolah atas cita ideal dari kehadiran sekolah tersebut.
SD-SMP Lazuardi Athaillah Makassar, nama sekolah putra saya. Ia sekarang duduk di kelas II SMP. Lazuardi Athaillah Makassar ini, merupakan salah satu cabang, dari Sembilan cabang di berbagai kota besar Indonesia. Pusatnya di Cinere, Jawa Barat. Di kota lain, sudah ada jenjang SMA, pun ada Pra-TK dan TK. Lazuardi, sebentuk sekolah Islam. Penegasannya berkalimat, Lazuardi Global Islamic School, sekolah Islam berwawasan global.
Nah, sewaktu saya menghadiri undangan, rupanya akan ada semacam kuliah umum dari pendiri Lazuardi, Haidar Bagir. Yayasan Pendidikan Lazuardi yang didirikan oleh Haidar, hanyalah salah satu dari seabrek aktivitas dalam komitmennya dalam dunia ilmu pengetahuan, khususnya di bidang pendidikan. Aktivitas lainnya, menghadirkan Yayasan sosial Amal Khair Yamin, Yayasan Rumah Yatim Mizan, menjadi Ketua Yayasan Pendidikan Sekolah Tinggi Agama Islam Madinatul Ilmu, dan penggagas Yayasan Islam Cinta.
Arkian, Haidar juga sebagai Presiden Direktur Mizan Group, satu institusi penerbitan terkemuka. Selain itu, ia juga penulis produktif. Setidaknya sudah lebih 10 buku diterbitkan. Pun, seorang pembicara soal filsafat, tasauf, dan pendidikan. Karena prestasinya itulah, sehingga The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC), sebuah lembaga riset berbasis Islam di Aman, Yordania kembali menempatkan cendekiawan Muslim Indonesia, Dr Haidar Bagir, dalam kategori “500 Muslim paling berpengaruh di dunia” dalam kategori “Philanthropy, Charity and Development”. Dan, tahun ini merupakan yang ke-11 kalinya Haidar mendapatkannya, sejak 2009-2020.
Apa yang disampaikan Haidar dalam persamuhan dengan segenap orangtua siswa? Ia menabalkan penegasan orientasi baru Lazuardi, dari Global Islamis School, menjadi Global Compassionate School, suatu penegasan Lazuardi sebagai sekolah Islam global yang berwawasan welas asih. Ini sebagai tindak lanjut dari ditandatanganinya Charter of Compassion (Piagam Kasih Sayang), sehingga Lazuardi menjadi sekolah Islam pertama di Indonesia yang sistem pendidikannya berlandaskan kasih sayang, welas asih.
Perubahan tagline itu, menurut Haidar menegaskan dua hal. Pertama, untuk menjadikan semua pihak yang terlibat dalam pendidikan di Lazuardi melakukan upaya terbaik agar lulusan yang dihasilkan adalah generasi yang memiliki hati penuh welas asih. Setiap hari anak akan diekspos dengan berbagai hal yang mengingatkan pentingnya bersikap welas asih kepada semua makhluk ciptaan Allah. Tidak hanya sesama manusia, tetapi juga hewan, tumbuhan, dan makhluk yang dianggap mati seperti batu sekalipun. Dengan kata lain: terhadap lingkungan.
Kedua, bukankah welas asih adalah esensi dari ajaran Islam? Dalam salah satu riwayat dikisahkan Nabi Saw didatangi sekelompok orang Badui yang mengklaim telah beriman. Namun Allah berfirman kepada RasulNya bahwa orang-sambutan tersebut baru berislam. Belum beriman. Ada jarak antara menjadi Islam dengan beriman. Apalagi berihsan. Dan, puncak ajaran Islam adalah rahman.
Karenanya, lanjut Haidar, ada 12 nilai welas asih, yang akan menjadi alas karakter pendidikan ala Lazuardi. Nilai-nilai itu berupa: Mempelajari apa yang disebut sebagai welas asih itu. Mengamati dunia dalam mana kita hidup. Bersikap welas asih terhadap diri sendiri. Menumbuhkan sikap empati. Mindfulness, yakni melatih diri agar selalu sadar terhadap pikiran dan emosi kita. Dengan kata lain memiliki kemampuan untuk fokus dan tetap netral dalam menjalani waktu kita saat ini. Aksi, atau bertindak. Menyadari betapa sedikitnya yang kita ketahui. Menyadari bagaimana cara kita berbicara dengan orang lain. Peduli terhadap orang lain. Memiliki pengetahuan. Mengakui (eksistensi orang lain dan implikasinya). Dan, mencintai musuh kita.
Kurang lebih setahun kemudian, pastinya, 7 Maret 2020, saya sebagai orangtua siswa diundang kembali oleh pihak sekolah. Apa tajuknya? Kali ini, pihak sekolah menyelenggarakan seminar pendidikan dan bedah buku. Judul buku yang diulik, Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia, karangan paling kiwari dari Haidar Bagir. Selain Haidar sebagai pembicara, juga menghadirkan seorang cendekiawan muslim muda dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Wahyuddin Halim. Kedua pembincang, mempercakapkan secara intim problem mendasar dunia pendidikan, khususnya sekolah di tanah air.
Ada banyak masalah yang diperkarakan dalam buku yang dipercakapkan itu. Dan, di lintasan-lintasan waktu seminar berlangsung, ingatan saya kembali membumi saat saya hadir, tatkala Haidar Bagir menerangkan secara benderang orientasi Lazuardi sebagai sekolah Islam yang berwawasan welas asih. Saya khusyuk membaca buku Haidar beberapa hari sebelum bedah buku digelar. Tamat saya daras. Tidak sedikit topik yang saya eja sampai dua tiga kali. Saya tiba pada simpaian simpulan, jika ingin memulihkan kemanusiaan kita yang terpuruk, maka mari memulihkan sekolah terlebih dahulu.
Defenitnya, perkara pendidikan di Indonesia yang masih mencari bentuk sistem pendidikannya, tak mengapalah manakala saya menyatakan bahwa apa yang ditawarkan oleh Lazuardi, perlu ditimbang sebagai salah satu solusi buat membenahi pendidikan kita. Mari menjadikan sekolah-sekolah di tanah air sebagai tempat membenihkan kasih sayang, menumbuhkembangkan welas asih.
Ya, sekolah welas asih. Berkali-kali jargon ini saya gumamkan. Mungkin karena saya mulai melukiskan dalm imajinasi saya dan memahatkan dalam batin saya. Apatah lagi, saya disemangati oleh anak-anak Lazuardi, siswa SMP Lazuardi, yang menghibur segenap hadirin lewat memanggungkan band kebanggaan mereka. Satu band anak remaja belia, yang menjuarai kompetisi band akuistik tingkat pelajar SMP-SMA sekota Makassar. Tembang yang dilantunkan, penuh welas asih. Bagi saya, gagasan Haidar pada bukunya yang diulik itu, praktik terbaiknya, menyata di sekolah Lazuardi, sebagai sekolah welas asih.
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.