Saya dan keluarga sudah merawatnya sejak tubuhnya masih sebesar kepalan tangan orang dewasa. Kecil. Warnanya putih hitam. Kala itu, saya menemukannya di kolong rumah tetangga, sendirian. Tubuhnya kurus, bulunya acakadut.
Tatkala saya menanyakan perihal kepemilikannya, tak ada yang mengaku. Saya berasumsi bahwa kucing ini lagi-lagi adalah korban dari tabiat buruk sebagian manusia yang senang membuang kucing sembarangan. Sungguh tindakan yang tidak manusiawi.
Saya dan anda mungkin sering melihat kucing kurus kering di tempat-tempat yang jauh dari pemukiman: hutan, sawah, dan sungai. Dan jamak dari mereka, adalah kucing yang masih kecil dan lucu, mereka masih terlalu muda untuk bisa survive di alam liar. Mereka bahkan dibuang saat masih butuh susu dari puting Ibunya. Kelakuan manusia memang membikin bingung kadang-kadang.
Yang demikian mungkin dianggap remeh oleh sebagian orang. Tapi hemat saya, ini soal keberpihakan. Perihal hidup dan kehidupan makhluk. Merawat dan hidup berdampingan –salah satunya dengan kucing—adalah bagian tugas kekhalifahan kita di muka bumi. Kita mesti berhenti menganggap bahwa Tuhan hanya bersemayam di rumah-rumah ibadah. Tuhan ada dalam diri kucing-kucing yang lapar, pada tetangga yang butuh uluran tangan, pada anak didik yang butuh kasih sayang. Di sanalah manifestasi Tuhan, kita hanya perlu membuka mata dan menghaluskan hati kita. Sedikit demi sedikit.
Ali Syariati pernah menyindir perilaku sebagian manusia dengan berkata: ”Aku lebih baik berjalan-jalan menggunakan sendalku seraya memikirkan Tuhan, dari pada duduk di masjid tapi memikirkan sendalku.” Sederhanya, semesta dan isinya ini adalah tajali dari Tuhan, jadi tindakan mendomestifikasi Tuhan adalah sebentuk pengingkaran terhadap-Nya.
***
Secara historis, kucing telah lama menjadi sahabat manusia, paling tidak—menurut wikipedia—sejak 6.000 tahun SM. Hal ini dibuktikan dari kerangka kucing di Pulau Siprus. Pun dengan orang Mesir Kuno pada tahun 3.500 SM telah menggunakan kucing untuk menjauhkan tikus atau hewan pengerat lain dari lumbung yang menyimpan hasil panen.
Bahkan, orang Mesir Kuno percaya bahwa kucing adalah jelmaan dari Dewi Bast. Dewi ini dalam kepercayaan Mesir Kuno adalah seorang perempuan dengan kepala kucing yang menjadi pelindung rumah dan wanita hamil. Dia pun dipercaya memiliki dua sisi kepribadian: jinak dan agresif. Hal ini mungkin berkenaan dengan tugasnya menjaga dan melindungi.
Seturut dengan itu, pelbagai mitos dan takhayul juga melingkupi hewan ini. Di tempat tinggal saya sendiri, kucing sering dikaitkan dengan hal-hal mistis. Saya sering mendengar cerita bahwa ketika menabrak kucing maka baju yang dipakai si penabrak mesti dikubur bersamanya. Hal ini dipercaya untuk membuang sial. Saya sendiri lebih melihatnya sebagai bentuk penghormatan kita terhadap sesama makhluk Tuhan. Tanpa mau mengaitkannya dengan hal-hal semacam itu. Orang lain tentu boleh punya pendapat berbeda.
***
Lanjut cerita, karena kebetulan di rumah tidak ada peliharaan kucing sejak ditinggal mati Damini (nama kucing kami sebelumnya). Maka saya adopsilah dia menjadi salah satu anggota keluarga. Jadilah ia adik saya. Si bungsu. Saya pun memberikannya nama. Won.
Won adalah salah satu tokoh dalam film Korea yang pernah saya tonton beberapa waktu yang lalu. Tokoh baik hati, setia, dan sabar. Harapannya tentu saja, semoga ia juga bisa setia pada keluarga kami, dan tak berpaling ke rumah lain yang—mungkin—punya stok tulang ikan lebih banyak. Sampai akhir hayatnya. Sebagaimana Damini, yang tatkala sakit dan menjelang ajal tak pernah pergi jauh dari rumah. Hingga pada suatu sore kami menemukannya terbujur kaku, kami bisa menguburkannya dengan layak. Di belakang rumah.
Awal bergabung dalam keluarga, Won sempat sulit beradaptasi, tepatnya kami yang sulit. Kami sering dibuat kewalahan mencarinya. Ia suka bersembunyi dan buang air di bawah lemari. Ibu sempat dibuat kewalahan membersihkan. Apatah lagi, bau kotoran kucing itu cukup awet, jadi memang dibutuhkan kesabaran ekstra.
Karena kejadian yang terus berulang. Ibu pernah membersihkan seraya meminta saya untuk membuangnya saja, tapi saya tolak. Saya berusaha meyakinkan Ibu bahwa perilakunya yang demikian disebabkan oleh umurnya yang masih anak-anak. Manusia pun begitu bukan? Meski bukan di bawah lemari.
Kedua, memelihara kucing itu tidaklah merepotkan. Ia cuman makan ikan—tepatnya sisa ikan. Tidak butuh sekolah. Selama ia punya tempat bernaung dan tempat pulang, itu sudah cukup. Perihal makan, sebenarnya saya kurang setuju kalau dikatakan bahwa kucing itu makan tulang ikan. Waima saya bukan pakar kucing, saya yakin bahwa kucing itu juga tidak suka tulang ikan, memang secara sekilas kalau diperhatikan mereka itu makan tulang, tapi sebenarnya yang mereka makan hanya daging yang menempel pada tulang. Kecuali kalau tulang halus dan tidak keras, barulah dimakan semua. Saya sering menyaksikannya.
Waktu berlalu, Won sudah menjadi kucing dewasa. Tubuh sehat dan idealnya menjadi bukti bahwa kami telah memenuhi kebutuhan raganya dengan baik, entahlah dengan jiwanya. Kebiasaan nakalnya—buang air sembarangan—pun sudah hilang. Benarlah asumsi saya.
Kini, saat tulisan ini dibuat, Won sedang sakit. Entah sakit apa. Saya tidak terlalu mengerti. Saya berasumsi demikian karena beberapa terakhir dia lebih banyak tidur, nafsu makan juga menurun drastis, keaktifannya bergerak juga hilang.
Apapun penyakitnya. Saya berharap Won bisa sembuh dengan cepat. Ia masih terlalu muda untuk mati. Namun, bukankah mati muda tidak selalu menyedihkan?
“Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan. Kedua, dilahirkan tapi mati muda. Dan yang tersial adalah berumur tua.” Kata Soe Hok Gie, aktivis Indonesia yang mati muda di usia 27 itu.
Lahir di Bantaeng, guru PJOK, pustakawan Rumah Baca Panrita Nurung, dan penulis buku kumpulan esai, “Jika Kucing Bisa Bicara” (2021).