Dalam kurun waktu kurang dari 4×24 jam sejak otoritas kesehatan dunia mengeluarkan surat peringatan Pandemi Corona, Indonesia sebagai negara berdaulat sudah melakukan banyak hal. Mulai dari rekomendasi hingga surat edaran sudah dikeluarkan. Tidak ketinggalan bentuk himbauan juga disebar.
Semua bergegas mengatasi permasalahan kesehatan masyarakat ini. Seolah tidak kenal lelah, pengelola negara tingkat provinsi hingga kabupaten menggelar pertemuan maraton. Semua bersepakat, Corona musuh bersama.
Tidak ketinggalan, kampus juga turut serta dalam gelanggang pertarungan melawan Covid-19 ini. Tenaga kesehatan (nakes) jangan ditanya. Mereka adalah pengisi garda terdepan. Maksudnya di sini, jika para penentu kebijakan tugasnya merumuskan ihwal terkait penanganan, para nakes kita justru “bersentuhan langsung” dengan Corona. Mulai dari memastikan jumlahnya hingga berjibaku menekan jumlah penyebaran.
Kondisi ini tentu bisa membuat banyak pihak menjadi lega. Karena bagaimanapun, nakes tetap jadi tumpuan banyak orang. Mereka yang berasal dari latar belakang kemampuan bidang kesehatan tentu sudah berbagi peran. Mulai dari Dokter, perawat, hingga orang yang paling berjasa dalam memastikan tempat pelayanan kesehatan ini steril; petugas kebersihan.
Dengan peralatan yang tersedia yang bisa jadi masih jauh dari kondisi sempurna, mereka tetap memenuhi panggilan profesi masing-masing. Dan, mereka rela meninggalkan keluarga masing-masing untuk itu. Semua hambatan teknis itu mereka terjang. Kalau hanya panas dan hujan, laiknya taburan bunga dan puji-pujian bagi mereka saat jihad fi sabilillah.
Para nakes inilah yang selalu jadi pengisi pos terdepan segala ihwal masalah kesehatan masyarakat. Mereka tunai mengamalkan peribahasa; “Anak dipangku dilepaskan, beruk di rimba disusui.” Begitulah, kira-kira.
Sebagai orang yang pernah mencecap ilmu kesehatan, sudah jadi rahasia umum jika para nakes tadi tidak luput dari caci-maki. Terutama bagi yang awam. Tidak perduli latar belakang ekonomi dan sosial, kebanyakan dari kita berfikir, nakes itu seperti Tuhan. Saat datang atau mengunjungi fasilitas kesehatan, satu tuntutan harus terpenuhi, terbebas dari masalah kesehatan. Titik.
Padahal jika kita lihat lebih jauh, nakes bukan Tuhan. Tugas utama mereka bukan menyembuhkan, tetapi (hanya) menjembatani terciptanya kondisi yang sehat dari si sakit. Itu pun bukan lewat tangan tunggal mereka. Para nakes membutuhkan segala hal di luar dirinya. Mulai dari peralatan mumpuni, aturan yang berpihak, ketersediaan obat, hingga komitmen dari si sakit dan keluarga untuk menciptakan kondisi lebih baik.
Semua aspek tersebut bagi sebagian dari kita, terutama orang-orang pemilik materi lebih seolah tidak penting. Baginya, sejumlah uang yang dikeluarkan seharusnya berbanding lurus dengan kualitas kesehatan yang didapatkan. Bukankah ini tidak adil. Ini belum kita berbicara sikap atau perkataan kurang etis tidak jarang terlontar dari orang-orang kaya tadi.
Banyak yang belum sadar, kesehatan itu milik masing-masing orang. Dan untuk menjadi sehat tidak berhubungan dengan orang di luar kita. Termasuk bukan menjadi tanggung jawab utama tenaga kesehatan.
Adalah mereka berupaya sekuat tenaga dalam bertugas adalah betul, tapi keberhasilannya bukan jadi tanggung jawab mereka. Itu yang perlu dipahami. Akur?
Nah, saat semua sedang berjuang dalam peperangan melawan SARS CoV-2, tersebar sebuah video julid pelayanan di salah satu fasilitas kesehatan terkemuka. Si perekam mengatakan, bahwa dia kecewa. Dia berdalih, nama besar dari tempat dia periksa tidak menjamin pada kepuasannya. Tidak hanya itu, buruknya sistem pelayanan di situ menurutnya bisa memperkeruh keadaan. Tentu maksudnya akan menambahkan jumlah penderita.
Pertama kali menonton gambar gerak lewat gawai ini, saya merasa sedih. Bukan karena prihatin terhadap kekecewaan beliau tadi, tapi mendengar pernyataan yang sarat akan nuansa hujatan ini, bagi saya justru hanya menciptakan kepanikan baru.
Saya juga sedih mendengar itu, karena di tempat saya saat ini, para nakes tetap berjuang meski akhirnya menelantarkan keluarga mereka demi satu komando panggilan tugas kemanusiaan. Dia (pemilik video) itu mungkin tidak pernah berada di tempat terpencil. Dimana, untuk menikmati listrik saja, kami hanya diberi jatah 6 jam sehari.
Atau bisa jadi juga, mental orang kaya kebanyakan yang angkuh jadi latar umpatan tersebut tercipta. Kembali saya jadi sedih. Dia mungkin tidak tahu, beberapa banyak pemangku kepentingan tingkat kabupaten di Indonesia saat ini sedang bertemu untuk menentukan langkah-langkah penanganan. Tidak sedikit juga dari mereka akhirnya kurang enak badan(jatuh sakit), karena sejak kemarin dapat perintah untuk turut serta “memeriahkan” pertempuran melawan Corona.
Tanpa bermaksud membela para nakes, tapi apa yang dialami oleh si pemilik video hanya memberikan pesan kepada kita bahwa menjadi kaya saja tidak cukup. Harus disertai dengan pengetahuan mumpuni. Termasuk juga mampu untuk menghargai berbagai profesi. Terutama saat ini, masyarakat hanya menaruh harapan pada tenaga kesehatan. Karena itu, mendukung dan berterima kasih atas segala daya dan upaya yang mereka lakukan menurut saya tidak berlebihan.
Karena dengan berterima kasih, kita bisa menarik demarkasi pembeda dengan binatang. Pertanyaannya, sudahkah kita berterima kasih dengan mantan?
Hah?
Lebih akrab disapa Nano. Konsultan kesehatan. Bertugas dan berdomisili di Bantaeng.