“Jangan kunci Indonesia (lockdown).” “Infrastruktur kita belum siap.” “Akan tercipta konflik sosial.” “Logistik tidak mumpuni.” “Itu (pesan) titipan asing.” “Akan banyak pihak yang memanfaatkan.” Dan masih banyak lagi pernyataan tersebar di media sosial dalam jejaring.
Terkait itu, saya paham. Sejak menjadi warga negara tahun 1981, Indonesia yang terdiri dari gugusan pulau tentu saja membentuk penduduk yang tidak seragam. Termasuk juga pola pikir dan lingkungan sebagai pencipta masing-masing isi kepala. Bhinneka tunggal ika.
Tidak terkecuali sekarang. Saat Covid-19 yang maharenik ini menyebar, tidak sedikit orang terjebak dalam pilihan mendukung dan menolak penguncian Indonesia. Tentu saja masing-masing pihak berdiri di atas landasan argumentasi yang juga sama kokohnya.
Terus terang saya termasuk di dalam kelompok yang mendukung penguncian Indonesia. Bukan karena saya mantan mahasiswa kesehatan–belasan tahun silam–tapi pilihan untuk tidak mengunci juga bukan tanpa resiko. Di saat bersamaan, saya sadar jika penguncian Republik ini akan rentan ditunggangi oleh Ferguso dan kawanannya. Apalagi beberapa hari silam begundal berjubah dedengkot Ferguso sudah mendeklarasikan “Masyumi New Born“. Tentu saja ini seperti asupan “gizi” bagi kelompok penolak penguncian Indonesia. Terkait “gerakan” para begundal berjubah itu akan saya bahas di kesempatan lain.
Kita kembali pada polemik setuju atau tidak penguncian Indonesia.
Saat mengabarkan dukungan pada penguncian Indonesia beberapa hari yang lalu, tepatnya sejak Covid-19 “resmi” menyeruak di Republik ini, saya sadar ini bukan keputusan mudah. Bahkan saya memajang foto pribadi bersama simbol penguncian Indonesia.
Tidak sedikit dari teman saya tadi yang bertanya. Bahkan ada juga yang mengirimkan pesan khusus kepada saya. Pernyataan mereka juga beragam. Mulai dari yang sekadar bertanya terkait kesiapan, hingga beberapa kawan menggugat pilihan penguncian tersebut. Melalui akun media sosial saya juga saya menjelaskan beberapa alasan saya terkait itu. Tidak ketinggalan syarat dan kondisi yang harus terpenuhi jika penguncian tersebut diberlakukan.
Jika kita lihat beberapa informasi yang tersebar terkait penguncian tersebut, terkuak beberapa fakta. Pertama, mekanisme penguncian sebenarnya sudah diatur dalam perundang-undangan kita. Adalah Undang-Undang No. 8 tahun 2018 memuat itu. Jadi, penguncian Indonesia bisa dilakukan.
Dalam pilihan diksi dari undang-undang kesehatan kita, istilah Lockdown terjemahannya adalah Karantina. Masih dari aturan yang sama, ihwal karantina diatur dengan detil. Mulai dari definisi karantina, jenis-jenis karantina, hingga persiapan teknis terkait karantina itu sendiri. Artinya, proses karantina memang tidak semudah yang dibayangkan. Karena dalam proses karantina terdapat juga kerjasama lintas pemangku kepentingan.
Jika kita bersepakat bahwa karantina sama makna dengan penguncian, maka kita juga harus sepakat bahwa hal tersebut sangat mungkin dilakukan di Indonesia. Karena kata karantina sendiri sudah dikenal secara jamak. Sebagai bentuk pencegahan penyakit, metode ini bisa dikatakan cukup efektif.
Pertama kali karantina dilakukan di dunia sejak abad 14. Saat itu Eropa dilanda wabah Pes. Wabah ini dikenal dengan nama wabah maut hitam. Kata karantina sendiri berasal dari bahasa Itali “Quaranta Giorni”. Maknanya sendiri adalah 40 hari. Dari makna ini saja kita bisa menarik kesimpulan bahwa durasi menjadi kata kunci dari proses ini. Tentu saja ini berhubungan waktu inkubasi dari penyakit menular tertentu. Karena pada saat itu wabah Pes yang menyebar dan waktu inkubasinya adalah empat puluh hari, maka waktu menghambat penyebarannya adalah sejumlah hari tersebut.
Sehubungan dengan itu, anjuran untuk tetap di rumah selama empat belas hari seharusnya dimaknai sebagai bentuk lain dari karantina. Meskipun akhirnya banyak dari kita yang menganggap itu adalah liburan bukan karantina. Makanya tempat-tempat rekreasi menjadi penuh sesak. Sampai di sini ada dua hal jadi perhatian saya. Pertama pemahaman dari warga negara dan kedua keseriusan dari pengelola negara untuk menerapkannya.
Kedua, mekanisme penguncian atau karantina termasuk juga proses isolasi di dalamnya. Hal ini perlu saya tegaskan, mengingat tidak sedikit yang masuk dalam kelompok pendukung tidak memahami beberapa kondisi yang mengikuti proses karantina itu sendiri. Sedangkan jika kembali pada tujuan proses ini ialah menutup segala bentuk penyebarannya, maka termasuk juga gerak orang yang positif harus dibatasi. Isolasi bisa mewujudkan itu.
Hal terakhir yang perlu diperhatikan saat melakukan karantina adalah tujuan pokoknya. Berangkat dari situ segala hal perlu menjadi perhatian pihak yang berkepentingan. Mulai dari kesiapan logistik hingga prasarana lain yang mendukung. Sekaligus menjadi pembeda dari pendukung penguncian yang ingin menciptakan kekacauan.
Jadi penjelasannya begini. Sebelum melakukan penguncian atau karantina, sebaiknya dipastikan unsur pendukung harus maksimal. Tanpa ini penguncian atau karantina terlampau sulit dilakukan. Dimulai dari data sebaran penderita dan lokasi yang beresiko tingga harus dibuka. Selanjutnya pemilahan lokasi berdasarkan tingkat resikonya. Sistem penyaringan seluruh masyarakat turut serta dilakukan. Dengan asumsi segala unsur pendukung yang saya sebutkan di atas terpenuhi.
Untuk daerah yang masih rendah resiko penyebarannya, pintu masuk jadi prioritas perhatian. Kalaupun untuk melakukan penutupan sangat tidak mungkin. Lalu lintas antara pulau-pulau besar dibatasi, jika perlu ditutup sama sekali. 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota di Indonesia menerapkan sistem buka tutup. Sekali lagi, jika kondisi memungkinkan diprioritaskan untuk lokasi dengan resiko tinggi (bisa sekalian dilakukan) penutupan total.
Bentuk terlemah dari penguncian atau karantina ini ialah karantina diri sendiri. Contohnya, masing-masing dari kita tetap tinggal di rumah. Tentu saja ini butuh kesadaran penuh dari semua orang.
Penjelasan ini saya ajukan dengan harapan terlihat pembeda jelas antara unsur alasan penguncian dan keputusan penguncian itu sendiri. Sekaligus khalayak bisa paham bahwa tujuan melakukan penguncian untuk menekan dan atau menutup peluang tersebarnya wabah yang bergerak secara signifikan belakangan ini. Selain tentang itu, agar bisa terhindar dari upaya penunggangan Ferguso dan kawanannya.
Sebagai penutup, kondisi penguncian atau karantina ini memang membutuhkan kerjasama semua pihak. Bukan saja pengelola negara, warga negara juga harus turut serta menyukseskan. Tanpa itu, menciptakan pemutusan mata rantai penularan jadi sia-sia. Karena lockdown dan look down (back) itu berbeda. Yang pertama tujuannya memutus penularan, sedangkan yang satunya melihat kebelakang. Seperti niatan ingin melupakan mantan akan sia-sia jika ingatan bersamanya tetap terjaga.
Itu.
Sumber gambar: http://pilmotivasi.blogspot.com/2016/09/kisah-gembok-dan-kunci.html
Lebih akrab disapa Nano. Konsultan kesehatan. Bertugas dan berdomisili di Bantaeng.