Corona: di Balik Kekhawatiran dan Kepanikan

Sepanjang sejarah perjalanan manusia, epidemi (wabah penyakit) merupakan salah satu masalah terbesar yang kita hadapi. Banyak peristiwa terekam dalam memori kita bagaimana wabah penyakit menular membinasakan spesies homo sapiens (manusia)  dalam jumlah besar.

Mari sejenak bernostalgia kepada Black Death yang disebabkan bakteri PES pada Abad  XV, diperkirakan menelan korban nyawa sampai 75.000.000 jiwa. Angka ini sangat besar, apa lagi jika dibandingkan dengan jumlah populasi manusia saat itu yang sangat jauh dari jumlah kita saat ini.

Epidemi atau penyakit yang disebabkan oleh virus/bakteri memang mampu menjadi senjata pemusnah massal. Ingatan kelam peristiwa black death dan beberapa kasus serupa setelahnya seperti wabah penyakit akbibat virus Flu Burung atau Flu Babi berpotensi memunculkan kepanikan jika terjadi kasus yang serupa.

Kita khawatir hal yang sama akan terjadi kembali. Padahal  di era ini kita sudah sangat menikmati layanan kesehatan dan penanganan penyakit yang sangat baik melalui revolusi sains teknologi. Namun saat ini kemajuan Ilmu Pengetahuan & Teknologi (IPTEK) di Bidang Kesehatan menghadapi tantangan dari penyakit akibat virus corona atau Covid-19.

Virus corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Penyakit karena infeksi virus ini disebut COVID-19. Virus corona bisa menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan, pneumonia akut, sampai kematian.

Penyakit karena virus ini pertama kali ditemukan dan menyebar di Kota Wuhan, China, akhir Desember 2019 lalu. Ketika dampaknya sudah menelan korban jiwa maka penyakit tersebut tentu berbahaya. Kita menyaksikan bagaimana Pemerintah China di Kota Wuhan  menutup akses keluar masuk kota tersebut. Kepanikan kemudian menjalar ke seluruh kota dan negara tersebut. Sampai akhirnya menyebar ke negara lain yang saling berhubungan.

Saat ini negara Itali merupakan negara dengan jumlah tertinggi infeksi virus corona. Korban terinfeksi sebanyak 24.747 dan membunuh 1.809 orang per 16 Maret 2020 (CNN Indonesia). Itali juga menjadi pusat pendemi di Eropa.

Di Indonesia sendiri, melalui Detik.com dikabarkan hingga tulisan ini dibuat jumlah yang terinfeksi sebanyak 134 orang dan meninggal sebanyak 5 orang. Kenyataan tersebut mencuatkan banyak pendapat tentang virus corona mulai dari sebab ataupun dampak terburuk yang akan dihasilkannya. Pemerintah telah melakukan penanganan juga pencegahan penyebaran dengan kebijakan meliburkan segala aktivitas massa selama 14 hari. Tentu, walaupun demikian tetap ada kepanikan bagi setiap orang.

Mengapa sampai panik? Kita punya memori kelam tentang wabah penyakit dan dampaknya terhadap kematian dalam jumlah fantastis. Ketakutan akan hal buruk kembali menimpa kita menguasai imajinasi kita. Selama beberapa abad terakhir kita menikmati jaminan kesehatan dan penyembuhan penyakit secara mutakhir oleh kemajuan sains di bidang kesehatan.

Akhirnya kita terbiasa dengan hal itu. Sehingga jika ada potensi terjadinya hal serupa black death imajinasi kita akan segera mengantarkan pada pahaman masa lalu dan menjadikannya kepanikan. Memang jumlah kasus terinfeksi dan meninggal dunia masih jauh dari rekor 75.000.000 milik PES, namun wabah Corona sementara berlangsung dan potensi untuk sampai bahkan melebihi pada angka tersebut masih besar. Hal itu disebabkan penyebaran virus Covid-19 yang sangat pesat.

Kita menikmati globalisasi sebagai peleburan batas antar negara. Olehnya kita bisa saling berhubungan untuk tukar menukar segala hal termasuk penyebaran virus corona. Jared Diamond dalam Guns, Germs, and Steel menjelaskan bahwa epidemi atau penyakit akibat virus/bakteri bersumber dari hewan domestikasi. Domestikasi hewan dan tumbuhan menyebabkan manusia meninggalkan tradisi berburu dan mengumpul untuk menetap dalam satu wilayah. Meningkatkan jumlah manusia dalam kelompok, sehingga virus/bakteri dari hewan ke manusia akan mudah disebarkan ke manusia yang lain.

Hidup menetap menampung banyak orang sekaligus memperbanyak potensi berbagi virus/bakteri. Virus Corona memang saat ini masih dalam tingkat penyebaran yang tinggi. Itu wajar karena virus tersebut masih baru sehingga antibodi tubuh kita belum  mampu beradaptasi dan melawan virus tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan seperti penjelasan lebih lanjut Jared Diamond dalam buku yang sama, bahwa virus/bakteri juga organisme, sehingga evolusi berlaku padanya.

Otomatis sistem imunitas/antibodi atau daya tahan tubuh kita pun akan mengikuti evolusi secara bertahap karena berjalan menuju adaptasi. Ia memaparkan bagaimana kolonisasi bangsa Eropa ke belahan dunia yang lain setelah Colombus menemukan daratan Amerika, tidak hanya berhasil oleh keunggulan senjata dan pemikiran yang lebih maju tetapi juga penyebaran epidemi.

Bangsa Eropa sudah kebal terhadap epidemi sehingga ketika mereka berhubungan dengan orang-orang Indian Amerika misalnya, yang mana tubuh mereka belum terbiasa terjangkit dan tidak bisa bertahan hidup dari serangan mikroorganisme atau epidemi tersebut.

Apa yang harus kita lakukan? Apakah kita harus pasrah dan membiarkan takdir Tuhan menggiring kita pada kematian massal? Jawabannya iya, kita harus pasrah. Pasrah bukan berarti tidak melakukan apa-apa, tetapi kita pasrahkan hasil daripada usaha kita pada pemenuhan syarat-syarat akibat usaha kita. Jika kita menginginkan akibat yang baik dan menguntungkan maka penuhi syaratnya.

Kita harus mengapresiasi kebijakan pemerintah untuk meliburkan aktivitas massa selama 14 hari juga agar tetap menjaga kondisi tubuh dan kebersihan lingkungan kita dan segala bentuk upaya pencegahan yang serupa. Walaupun kita tentu dilematis persoalan kebijakan lockdown yang untuk sebagian pihak sangat menganjurkan. Di sisi lain memandang kebijakan tersebut tidak mungkin dilakukan seperti negara maju lainnya. Hal itu dianggap bunuh diri dari segi ekonomi.

Kasus yang kita alami saat ini memang sangat dilematis. Butuh kebijaksanaan bertindak sedari pikiran. Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak perlu khawatir. Kekhawatiran dibutuhkan untuk menjadi landasan dari pencegahan dan penanganan risiko yang akan terjadi.

Namun kita juga tidak perlu sampai panik dan menduga terlalu jauh yang akan berisiko pada tindakan gegabah. Upaya lockdown perlu dilakukan sementara untuk mencegah atau menahan laju penyebaran virus. Walaupun dengan risiko ekonomi.

Menunggu risiko yang lebih besar dan bahkan untuk melakukan lockdown sudah tidak efektif ketika virus terlanjur menyebar luas dan liar. Selain menunggu keajaiban usaha ilmuwan dalam menemukan antivirusnya kita tetap berusaha melakukan tindakan pencegahan secara pribadi. Pola hidup sehat dan menjaga kebersihan lingkungan, menjaga kondisi tubuh untuk tetap fit, juga meminimalisir kontak langsung dengan orang-orang sekitar kita.

Lagi lagi jangan sampai maksud saya diartikan membatasi silaturahmi, tentunya kita tetap bisa sementara bersilaturahmi dengan media sosial dan sejenisnya. Badai ini akan berlalu tetapi dalam waktu dekat atau tidak tergantung pada ikhtiar kita bersama. Kenyataannya sudah ada yang sembuh, ini berarti virus corona bisa ditemukan vaksin atau obatnya. Selain itu juga mengindikasikan bahwa sistem imunitas manusia sudah ada yang adaptif terhadap virus tersebut.

Memodifikasi penjelasan Yuval Noah Harari dalam 21 Lessons tentang salah satu penanganan terorisme, mengilhami saya untuk menyampaikan saran kepada kita. Pertama, wabah Corona sudah menjadi masalah mancanegara sehingga penanganannya memang menjadi tanggungjawab bersama pemerintah setiap negara.

Mendukung secara moril dan material kepada upaya pencegahan dan penanganannya. Para ilmuwan biotek dengan didukung pemerintah dapat menjadi prioritas penemuan vaksin atau anti virusnya. Sudah ada yang bisa sembuh, sampel darah atau bagian mana tubuhnya bisa diteliti ilmuan untuk mempelajari dan menemukan formulasi yang tepat. Kita tentu optimis dengan nikmat kemajuan IPTEK kita.

Kedua, kerjasama media dari skala daerah, nasional, dan internasional agar tetap memberitakan informasi sejujurnya dan tidak berbau menakut-nakuti atau memprovokasi atas setiap kebijakan suatu negara terhadap corona. Walaupun kita pesimis dalam hal media seperti yang kita ketahui bersama. Kecenderungan propaganda media demi penjualan jauh lebih baik untuk mereka. Entah bagaimana jika mereka sendiri yang terinfeksi dan meninggal. Namun saran ketiga semoga bisa menetralisir rasa pesimis kita terhadap media.

Hal ketiga yang kita lakukan terkait dengan imajinasi kita. Imajinasi tentang kenangan pahit umat manusia pada blackdeath menjerat ketakutan dan kepanikan kita. Kita mengulang-ulang gambaran kejadian tersebut dalam pikiran kita. Membuat rasa khawatir melalui ambang batasnya.

Tanggung jawab setiap warga negara untuk membebaskan imajinasinya dan bertindak lebih baik. Tidak terkurung dalam imajinasi tersebut tapi ikhtiar pada wilayah realitas. Kita meneror batin kita yang mendorong media atau pihak tertentu untuk memanfaatkan hal tersebut. Jika kita menganalisis peristiwa black death mungkin ada kengerian di balik gambarannya.

Namun yang perlu kita sadari adalah, pertama teknologi saat itu tidak semaju era kita dengan penelitian dan rekayasa biologis.

Kedua, angka 75.000.000 tergolong sangat besar saat itu dibanding jumlah keseluruhan penduduk dunia. Dalam persentase sampai saat ini angka kasus kematian akibat corona di era kita masih relatif kecil dibanding jumlah keseluruhan populasi kita di dunia. Angka itu berpeluang besar diperkecil dengan upaya pencegahan juga penemuan vaksinnya.

Keberhasilan atau kegagalan kita dalam menangani wabah corona tergantung dari ikhtiar kita semua. Kita tetap berdoa dan berusaha agar keluar dari badai corona dan melihat pelangi di langit dunia kita.

 


Sumber gambar: radarbali.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *