Dalam beberapa bulan terakhir, terdapat wabah yang menyerang umat manusia. Hampir semua negara merasakan akibatnya. Tidak terkecuali di Indonesia. Dampaknya bisa kita lihat pada berbagai aspek. Yang paling kelihatan, bentuk interaksi antara kita. Jika dahulu: salaman dan pelukan adalah bukti kedekatan, sekarang hal tersebut sangat tidak dianjurkan. Karena, akan jadi sumber penularan.
Kalau kemarin batuk (berdeham) adalah prilaku lazim saat berinteraksi, sekarang berujung pada kecurigaan. Sekali lagi ada hubungannya dengan perpindahan virus dari manusia ke manusia lain. Pada gilirannya, kita jadi lebih permisif mendengar orang kentut dibanding bersin. Satu yang pasti, wabah yang sama membikin tatanan sosial manusia jadi berputar tiga ratus enam puluh derajat.
Hal lain yang tidak kalah menarik, adalah penggunaan kata-kata seputar wabah. Setidaknya ada tiga istilah menurut saya paling sering digunakan dewasa ini. Terutama bagi kelas menengah. Kelas yang paling berisik sejak wabah ini menyeruak. Pertama, Lockdown. Kedua, Social Distance. Yang terakhir adalah Phisical Distance. Untuk kata ketiga adalah pengembangan (kondisi) dari kata kedua. Ketiganya merupakan kata asing.
Jika wabah mampu bikin istilah Gemah Ripah Loh Jenawi jadi berantakan, apakah kita tega turut serta memaksakan istilah asing (dipaksa) masuk dalam perbendaharaan kata kita? Menurut saya tidak. Tidak semudah itu, kawan. Bukankah bahasa Indonesia salah satu simpul persatuan kita? Ini saya nyatakan, terutama bagi kaum kelas menengah. Kembali lagi, karena alasan paling ribut (tadi).
Andaikata mereka bertanya; apakah ada bahasa Indonesia untuk ketiga kata itu? Saya jawab dengan tegas: Ada.
Mari kita mulai dengan kata lockdown. Sejak wabah ini pertama kali terkonfirmasi di Wuhan (November 2019), berbagai istilah turut serta digunakan. Terkhusus istilah lockdown, penggunaannya berhubungan dengan bentuk penanganan dalam suatu kota atau area. Secara harfiah, kata ini bermakna penguncian. Tapi arti ini tidak dengan serta merta bisa digunakan untuk padanan kata lockdown.
Ada beberapa alasan. Di antaranya, dalam makna istilah (aslinya) terdapat durasi waktu tertentu sepanjang kondisi itu berlaku. Artinya, seumpama menarik arti berdasarkan pendekatan harfiah (saja), bisa jadi akan muncul kerancuan. Di lain sisi, para penghuni kelas menengah sudah coba mencari padanan. Kebanyakan mengarah pada kata: Karantina dan Isolasi. Termasuk juga saya kemarin. Setelah mengikuti perkembangan wabah ini, ternyata kata itu masih bermasalah. Selain karena ‘karantina” berbeda makna dengan Lockdown, kata yang sama merupakan saduran dari kata asing; Quarentine. Laiknya Jaka sembung bawa gincu, tidak (me)nyambung cuy.
Jadi apa padanan kata Lockdown?
Ditengah belantara informasi terkait wabah, belakangan ini, tepatnya dua hari lalu saya menemukan kata: Kuncitara. Kata ini menurut saya paling pas untuk jadi padanannya. Alasannya, kata ini merupakan perpaduan kata “kunci” dan kata “sementara”. Artinya, jika kita kembali pada arti “Lockdown” yang merupakan kondisi penguncian suatu wilayah atau daerah dalam waktu tertentu, setidaknya terwakili dari perpaduan kata “kunci” dan kata “sementara” tadi.
Jadi, tolong ganti kata Lockdown dengan Kuncitara. Biar lebih terasa ke-Indonesia-an kita. Bisa dimulai dengan terbiasa menggunakannya. Contohnya:” Kuncitara hatimu untuk mantan”
Kita lanjut pada frasa berikutnya. Social Distance dan Phisical distance. Saya menggabungkan keduanya, karena dari susunan kata hanya berbeda di awal. Antara batas (Distance) sosial (Social) dan batas fisik (Phisical). Sebab itu pula, tidak terlalu sulit mencari padanan bahasa Indonesia kedua istilah itu. Ivan Lanin, wikipediawan bahasa, menawarkan padanan dari keduanya. Social Distance padanannya: pembatasan sosial. Sedangkan Phisical Distance padanannya pambatasan diri. Bisa juga bermakna: (lebih) Mawas Diri. Atau: Menjaga (jarak) Diri. Intinya, dua istilah itu berarti masing-masing dari kita untuk jaga jarak. Semuanya dalam rangka memutuskan mata rantai penularan
Mirip dengan sosok mantan. Bukankah fardu ain hukumnya untuk kita Kunctara hati dan menjaga (jarak) diri dengannya atau lingkungan sosial. Terlebih semua waktu, tempat, dan kesempatan yang memunculkan ingatan kepadanya. Karena mantan dan alumni itu berbeda, kawan.
Oke?
NB; Kata: Kuncitara dibuat miring karena belum masuk didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Sumber gambar: AyoBandung.com
Lebih akrab disapa Nano. Konsultan kesehatan. Bertugas dan berdomisili di Bantaeng.