Beberapa waktu yang lalu. Saya keluar rumah, tepatnya Ke pusat kota, menyelesaikan beberapa urusan pekerjaan dan membeli beberapa kebutuhan. Di depan toko, dekat perempatan lampu merah, saya melihat tukang becak berkerumun. Seorang lelaki (seingat saya), memakai masker turun dari mobil putih, membuka bagasi dan membagikan beberapa nasi kotak. Lalu pergi. Saya melihat tukang becak membungkukkan badan, mungkin mengucapkan terima kasih. Saya tak tahu pastinya.
Tak cukup sejam setelahnya, masih di tempat yang sama, dua orang perempuan berjilbab besar, memakai masker, datang mengendarai sepeda motor, di bagian depan motor matiknya terdapat beberapa bungkus makanan. Mereka membagikannya. Satu per satu pada tukang becak, lalu pergi.
Betapa sejuk pemandangan di siang yang terik itu. Negeri kita memang tak pernah kekurangan orang-orang baik.
Para tukang becak ini mungkin belum pernah mendapat penumpang sejak pagi. Saya berasumsi demikian, karena anak sekolah yang saban hari mereka antar itu libur—tepatnya dirumahkan. Pun dengan penjenguk pasien di rumah sakit yang sering menggunakan jasanya tak lagi ada, mengingat rumah sakit juga mengeluarkan kebijakan larangan menjenguk pasien—untuk sementara waktu. Jalan-jalan berubah sedikit lengang, toko sepi, warung makan apa lagi. Setidaknya demikianlah pemadangan yang saya saksikan, siang itu.
Kita patut bersyukur. Di tengah musibah ini, masih banyak warga yang punya inisiatif guna menyalakan secercah harapan. Mereka memilih menyalakan lilin dibanding mengutuk kegelapan. Menyalahkan kiri kanan, menyindir atas bawah. Jika, langkah-langkah ini dilakukan secara sistematis dan massif, maka tak ada lagi masyarakat kita yang mesti keluar rumah menyabung nyawa demi sesuap nasi untuk anak dan istri di rumah.
Rasanya memang benar adanya. Bagi sebagian kita, kelaparan jauh lebih menakutkan dari virus itu sendiri. Merekalah yang paling dirugikan dalam musibah ini. Berdiam di rumah tak guna, bekerja pun nampaknya sia-sia belaka. Tak ada yang menggunakan jasa mereka dalam situasi seperti ini. Di sinilah mestinya sedekah-sedekah itu mengalir. Membasahi tangan-tangan mereka yang membutuhkan. Bukan ditumpuk-tumpuk untuk kemudian dilaksanakan merenovasi masjid yang mungkin saja tak butuh renovasi. Masjid masih bisa digunakan meski sederhana, tapi manusia tak bisa beribadah jika tak makan. Perut-perut yang lapar adalah masjid-masjid juga, yang mendekatkan kita pada Tuhan.
Melalui status seorang kawan facebook, saya melihat bagaimana imam-imam masjid di Iran menggerakkan jamaahnya untuk memudian membagikan makanan pada setiap warga yang mengalami masalah ekonomi akibat dari virus korona ini. Mereka turun ke rumah-rumah. Berbagi. Nampak raut muka bahagia. Negeri yang dibenci oleh sebagian orang itu karena Syiahnya, ternyata lebih Islam dari mereka yang mengaku berislam secara kaffah. Lebih senang memperlihatkan kemarahan dibanding keramahan.
Di jakarta, RSKWJ (Rumah Solidaritas Kemanusian Warga Jakarta) secara swadaya, melakukan edukasi pencegahan virus corona dengan membuat cairan antiseptik untuk hand sanitizer dan membuat masker secara mandiri oleh komunitas-komunitas warga.
Tak sampai di situ, mereka juga berbagi makanan sehat yang dikumpulkan melalui sistem “food banking”, makanan sisa yang masih layak dan sehat dari berbagai sumber. Mulai dari restoran, pabrik makanan, toko buah, profesional, rumah tangga dan seterusnya. Mereka menjadi fasilitator pemberdaya antara masyarakat yang memiliki makanan lebih dengan masyarakat yang membutuhkan. Utamanya komunitas-komunitas warga “economic survival”. Yang penghasilannya menjadi semakin tak menentu di tengah pandemi ini.
Saya kemudian ingat, berabad-abad yang lalu Nabi kita yang agung pernah berpesan: “Sebaik-baik mausia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi sesama.” Itulah ukuran kebaikan seseorang menurut Rasulullah. Jadi bukan pada materi, jabatan, apatah lagi jumlah follower atau subscriber. Bukan sayang.
Di Bantaeng sendiri. Hampir semua toko, kantor, bank, dan warung makan menyediakan tempat cuci tangan, lengkap dengan sabun dan tisu. Semua usaha tersebut tentu saja dilakukan guna mempersempit kemungkinan penularan virus dengan menjaga kebersihan tangan yang sering kita gunakan untuk menyentuh sesuatu. Sebentuk ikhtiar sebelum bertawakkal pada Tuhan. Jadi penting untuk berusaha, sebelum berkata “virus itu ciptaan Tuhan, gak usah takut.” Singa juga ciptaan Tuhan bro, mau gak dikandangin berdua? Mau? Hadeeeeeeeh.
Jadi tatkala sebagian orang amat berhati-hati, karena tak ingin menjadi penular ataupun tertular. Sebagian lagi justu bersikap apatis, cenderung fatalistik tanpa pertimbangan sains. Tanpa sadar, sikap beragama yang demikian bisa membawanya pada kehancuran. Inilah yang disebut oleh Prof. Azyumardi Azra sebagai kelompok splinter dalam beragama, kelompok yang menjalankan praksis keagamaan tertentu yang kontra-produktif dengan usaha membendung penyebaran wabah virus korona. Mereka beragama, dengan berbeda dengan arus utama (mainstream) penganut agama masing-masing. Lebih lanjut, gejala semacam ini pada kalangan umat beragama pada dasarnya bersumber dari pemahaman literal, sumbu pemikiran pendek (short-sighted), dan tidak mau mendengar pendapat arus utama umat beragama (mainstream-believer).
Pada akhirnya, kita butuh dukungan semua pihak guna memenangkan pertarungan melawan wabah ini. Semua kelas masyarakat, semua golongan umat beragama, semua jenjang pemerintahan (pusat dan daerah). Semua, tanpa terkecuali. Ego sektoral meski dikubur dalam-dalam. Karena sejatinya virus ini tak membedakan kelas dan agama. Selama kita manusia, resiko itu ada. Menggalang solidaritas dan mempersempit disparitas adalah kunci memenangkan pertarungan. Wallahu A’lam.
Sumber gambar: Kompassiana.com
Lahir di Bantaeng, guru PJOK, pustakawan Rumah Baca Panrita Nurung, dan penulis buku kumpulan esai, “Jika Kucing Bisa Bicara” (2021).