Indonesia secara historis telah menikmati kemerdekaan selama lebih dari 74 tahun. Kemerdekaan yang diperjuangkan dengan penuh pengorbanan, oleh orang tua kita di masa lalu. Lalu apa arti kemerdekaan itu? Dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan salah satu janji kemerdekaan yang mesti dipenuhi yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Tak peduli letak geografis, kaya atau miskin, agama apa pun. Ia adalah janji luhur yang mesti dilunasi untuk setiap anak di seluruh pelosok negeri.
Kabar baiknya, data dari Programme for Intenational Student Assestment (PISA) 2018 menunjukkan Indonesia termasuk negara, dengan progres tercepat dalam memperluas akses pendidikan. Saat Indonesia pertama kali mengikuti PISA pada tahun 2000, hanya 39% penduduk usia 15 tahun yang bersekolah. Persentase ini meningkat menjadi 85% pada tahun 2018. Sebuah kabar menggembirakan tentu saja.
Namun, ada fakta lain yang membuat kita terperanjat. Kompetensi membaca siswa Indonesia masih perlu ditingkatkan. Bisa dibayangkan, bahwa 7 dari 10 siswa usia 15 tahun, tingkat literasi membacanya masih di bawah kompetensi minimal. Mereka hanya mampu mengidentifikasi informasi rutin dari bacaan pendek serta prosedur sederhana. Hal ini patut menjadi catatan bagi dunia pendidikan kita. Menjadi tanggung jawab semua pihak. Mulai dari hulu ke hilir.
Sebenarnya, ada banyak faktor yang memengaruhi keberhasilah pendidikan. Namun, pendidikan secara umum tak bisa dilepaskan dari peran guru. Guru merupakan ujung tombak yang seyogianya memuluskan segenap tujuan luhur pendidikan kita, sebagaimana yang termaktub dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 yang berbunyi “Tujuan sistem pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Untuk memenuhi tujuan itu, kualitas guru memegang peranan penting. Mengapa demikian? Sebab kualitas guru akan menentukan bagaimana proses belajar-mengajar berlangsung, pun dengan interaksinya. Sedang proses belajar mengajar merupakan salah satu kunci dari tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Nah, itulah alasan kenapa amat penting bagi guru untuk senantiasa belajar dan berkomunitas. Agar bisa terus memberdayakan diri. Memberdayakan diri adalah kunci sebelum memberdayakan orang lain.
Tidak dapat dimungkiri bahwa zaman berubah dengan cepat. Perubahan zaman itu menjadikan siswa dapat memperoleh informasi dari berbagai sumber. Akibatnya, siswa menjadi lebih cerdas dan kritis. Inilah sebabnya mengapa guru mesti terus belajar mengayakan diri dengan ilmu pengetahuan. Mengajar adalah belajar.
Karena guru berkualitas senantiasa belajar, maka mereka akan memiliki segudang cara guna menerobos segala hambatan-hambatan dalam proses belajar-mengajar. Hambatan hanya bisa dilawan dengan inovasi pembelajaran. Sedang inovasi hadir guna menjadikan siswa merdeka belajar.
Apa kompetensi dari pelajar yang merdeka? Pertama, pelajar yang merdeka memiliki komitmen pada tujuan belajar. Dalam artian, bahwa ia memahami dan sadar betul alasan mempelajari suatu materi atau keterampilan tertentu. Ketika hal ini mereka peroleh, maka akan muncul self learning, self direction, dan initiative. Menjadikan mereka pelajar sepanjang hayat. Kedua, pelajar yang merdeka adalah pelajar yang mandiri, memahami bahwa ia memerlukan strategi yang pas untuk dirinya guna menguasai ilmu pengetahuan. Ketiga, Pelajar yang merdeka itu reflektif. Ia menyadari kekuatannya dan mengenali aspek dari dirinya yang perlu dikembangkan.
Dewasa ini, mengajar tak bisa lagi dianggap hanya sebagai proses menyampaikan informasi/materi pelajaran saja. Melampaui itu, mengajar adalah suatu proses mengubah perilaku siswa sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Tentu, model pendidikan zaman dulu di mana siswa duduk, diam, dan mendengarkan guru perlu direvisi kembali. Konsep teaching centered learning (berpusat pada guru) zaman saya dulu sudah tidak kontekstual lagi, paradigma itu mesti digeser menjadi student centered learning (berpusat pada siswa). Di mana siswa menjadi pusat dari proses pembelajaran, guru cukup menjadi fasilitator dalam kelas. Hal ini dimaksudkan, agar kelas menjadi lebih hidup dan bergairah, siswa akan lebih banyak berkegiatan langsung, baik secara fisik maupun mental. Merasakan langsung, bagaimana otak mereka memproses pengetahuan: menganalisa, mengevaluasi, dan mencipta. Bukan sekadang memindahkan pengetahuan guru. Inilah yang dalam psikologi belajar disebut dengan High Order Thinking Skill (HOTS).
Secara sederhana, program satu guru satu inovasi yang dicanangkan Pemerintah Kabupaten Bantaeng adalah sebentuk ikhtiar menjawab tantangan pedidikan kita dewasa ini. Tak sekadar mengamini program Merdeka Belajar Menteri Pendidikan. Melampaui itu, ini adalah tuntutan zaman, jika kita ingin menjadikan pendidikan berjalan dengan baik dan menghasilkan manusia unggul. Baik secara intelektual, emosional, dan spiritual.
Inovasi hadir, tak sekadar mewujudkan proses belajar mengajar yang menyenangkan dan mengaktifkan siswa, tapi juga bagaimana menghadirkan proses belajar yang bermakna. Guru dan siswa mesti tahu tujuan-tujuan mereka belajar, merumuskannya secara bersama agar ilmu yang diperoleh tak sekadar menyata di dalam kepala, tapi juga dapat diaktualkan dalam kehidupan sehari-hari. Menjawab semua tantangan dan masalah-masalah kehidupan.
Walakhir. Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip perkataan dari Kadis Pendidikan Kabupaten Bantaeng dalam salah satu forum beberapa waktu yang lalu, bahwasanya penguatan sumber daya manusia yang menjadi salah satu program Pemerintah Kabupaten Bantaeng adalah tanggung jawab guru sebagai pendidik. Mari ki, dengan segenap bakti dan jiwa raga,kita tumpahkan pada profesionalitas kerja-kerja keguruan, guna melunasi janji kemerdekaan negeri tercinta.
Sumber gambar: Elige Educar