Hari ini sudah masuk pekan ketiga perang melawan wabah. Tidak sedikit korban berjatuhan. Mulai dari tenaga medis hingga masyarakat sipil. Jumlah mereka terhinggap virus juga makin bertambah. Seperti halnya akumulasi pasien sembuh juga semakin banyak.
Di tengah riuh gelanggang palagan, resiko untuk muncul oponen dari pihak kita tentu saja tetap ada. Satu di antaranya kelompok penolak jenazah korban wabah. Alih-alih benci virus, mereka hanya jadi penyebar virus (ke)benci(an) pada masyarakat sekitar. Hal ini tentu sangat disesalkan. Karena jika waktu bisa kembali, tidak ada satu pun dari kita yang ingin dihinggapi wabah dan menjadi korban. Terutama pihak keluarga dari mayat. Apa lacur, nasi sudah jadi bubur.
Hal lain yang tidak kalah konyol, sebelum tragedi tadi, bentuk penolakan lain juga muncul. Sekelompok pelajar penjunjung gelar “maha” menolak perlakuan istimewa bagi para tenaga medis yang berjibaku menyembuhkan pasien wabah. Dalih mereka, perlakuan ini dianggap tidak perlu. Karena menjadi tugas dari para medis. Dalil yang digunakan juga tidak kalah sengitnya, frasa “pemborosan”. Seolah merasa lebih paham setiap strategi melawan wabah, mereka hanya penunjuk kondisi nir-pengetahuan. Meminjam istilah Soekarno–dalam buku Di bawah Bendera Revolusi–mereka itu mengalami “kusut faham”.
Saya yakin para pemuda(i) ini tidak mendapatkan gambaran detil “beban” dari tenaga medis saat menangani korban wabah. Mulai (kondisi) tersiksa saat memakai Hazmat Suit (lengkap dengan tetek bengeknya), hingga keadaan yang membuat para dokter dan perawat jadi terbatas ruang gerak saat memakainya. Bahkan, ada juga dari mereka belum membuka “alat parang” tersebut sejak virus ini dinyatakan Pandemi. Bayangkan, sudah tiga Minggu mereka memakai zirah berlapis-lapis ini. Di saat bersamaan, akibatnya tenaga medis ini jadi kelompok paling rentan karena kondisi fisik yang terus menurun paska berjuang menyelamatkan satu nyawa setiap hari.
Nah, jika para “maha”siswa tadi ingin unjuk jago, sedikit saran dari saya; cobalah bergabung dengan para tenaga medis tadi. Minimal menggunakan APD lengkap di ruang isolasi. Tidak perlu lama, sebulan saja menjadi relawan di sana. Setelah itu jika ingin menyuarakan penolakan, baru kita bisa diskusi.
Bisa?
Di tengah suara sumbang penolakan, ternyata, muncul lagi ucapan miring. Kali ini sasarannya presiden. Menyusul kabar kawat petugas keamanan berjudul “Penghinaan kepada Presiden”, jadi dalil pengucap miring tadi diringkus.
Sontak barisan pendukung si pengucap menjadi geram. Media sosial jadi wadah segala umpat untuk polisi. Bagi pendukungnya, apa yang dilakukan oleh penjaga keamanan masyarakat sipil ini berlebihan. Terutama terkait penangkapan. Ditambahkan lagi, yang dilakukan oleh pengucap bukan penghinaan tetapi kritik. Itu menurut mereka.
Apakah betul begitu?
Untuk membedahnya, sebaiknya kita periksa kembali bagaimana redaksi kalimat si pengucap tadi. Dari sisa-sisa info daring, saya dapatkan beberapa diksi negatif. Di antaranya, frasa “Presiden Goblok”, “Presiden Penipu” agak jamak penggunaannya. Tidak hanya itu, di rekaman gambar gerak media sosial, dia berada pada ruangan dengan latar bendera (organisasi) terlarang. Sampai di sini saya paham. Dia penganut ideologi “teh Sostr#“. Dan mereka adalah bagian gerombolan Ferguso dan Canteng martabak. Begitu pun kelompok pembelanya.
Kita kembali pada pertanyaan saya. Apakah ucapan miring tersebut masuk dalam kategori kritik atau penghinaan? Saya dengan tegas mengatakan itu adalah PENGHINAAN. Apalagi jika sasarannya adalah kepala negara, sudah barang tentu itu bentuk kesalahan. Sebenarnya, tidak perlu menggunakan dalil telegram pamong keamanan masyarakat sipil, menggunakan aturan penghinaan pada simbol negara saja sudah cukup untuk menjerat dia dan para komplotannya.
Seharusnya (lagi), kelompok Ferguso dan Canteng martabak tadi bisa belajar dari sejarah bangsa ini. Para pendahulu kita sudah mengajarkan cara kritik yang baik dan benar terhadap penguasa (dzalim). Lihatlah esai panjang pendiri Taman Siswa pada 13 Juli 1913. Lewat tulisan “Als ik een Nederlander was” , yang dimuat pada koran De Express, terlihat jelas bagaimana kritik itu seharusnya. Sasarannya adalah prilaku dari imprealisme, dan bukan sosok.
Namun, apa bisa dikata, Ferguso tetap Ferguso dan Canteng Martabak tetap Canteng Martabak. Alas berfikirnya hanya ideologi “apapun masalahnya, solusinya; teh Sosr#”.
Sampai pada titik ini kita bisa belajar, bahwa seharusnya kita membenci virus (dan semua dampak buruknya) serta tidak menjadi penyebar virus (ke)benci(an) di antara kita.
Canteng Martabak, paham?
Sumber gambar: Sindonews
Lebih akrab disapa Nano. Konsultan kesehatan. Bertugas dan berdomisili di Bantaeng.