10 Pertanyaan Melihat Rumah dari Rumah

Setelah hampir sebulan bermukim di dalam rumah akibat Covid-19, sering terlintas pertanyaan-pertanyaan serampangan yang membuat saya tergelitik untuk merefleksikan apa sebenarnya makna rumah bagi masyarakat Timur seperti kita ini.

Langsung saja. Pertama, apakah kebudayaan kita, terutama Sulawesi Selatan, menganggap rumah hanya sekadar tempat tinggal? Apakah pernah ada dalam sejarah lokal yang membuat rumah berfungsi produktif ketimbang hanya dianggap sebagai ranah domestik belaka?

Masyararakt Barat membagi dua ranah kehidupannya menjadi ruang privat dan ruang publik. Kedua, apakah rumah bagi kebudayaan lokal memposisikan hal yang serupa? Apakah urusan rumah tangga dianggap ranah privat yang tidak bisa berbaur dengan urusan publik?

Ketiga, apakah urusan rumah tangga dengan sendirinya bukan medan politis yang jauh dari urusan kepublikan?  Mungkinkah ada peluang melihatnya dengan kacamata lain, bahwa rumah dalam kearifan lokal Bugis Makassar, mendudukkan urusan rumah tangga juga sebagai bagian dari urusan pemerintahan?

Keempat, jika rumah dan ruang publik demikian lebar jaraknya, bagaimanakah hubungan antara keduanya? Apakah ada pembagian hak yang mengatur dua ranah kehidupan ini? Bagaimanakah perlakuan kekuasaan menyikapinya, apakah sama seperti bagaimana negara modern mengatur kehidupan masyarakatnya?

Kelima, jika tidak, lalu kapan ada pemilahan kehidupan yang membagi peran masyarakat ke dalam ranah privat dan ranah publik? Mengapa ada pembagian semacam ini? Apakah ada unsur kepentingan kekuasaan tertentu yang mengaturnya?

Dari segi kebudayaan. Keenam, bagaimanakah rumah dapat dilihat sebagai wahana kebudayaan? Apakah rumah selama ini sering kita andaikan sebagai arena persemaian nilai-nilai tradisi? Apakah rumah bisa diutamakan dari sekolah dengan menyebutnya sebagai sekolah pertama? Apa fungsi pendidikan rumah jika sekolah sering dianggap satu-satunya faktor penunjang pendidikan?

Masyarakat pekerja melihat rumah sebagai tempat me-recovery tenaga yang habis terkuras bekerja di ranah publik. Ketujuh, apakah arti rumah dalam skema global kapitalisme? Apakah rumah masih menjadi bagian dari siklus kerja perputaran modal yang berfungsi sebagai penyedia pemulihan tenaga kerja? Apakah dengan demikian sebenarnya rumah hanya properti bagi masyarakat kapitalistik untuk menunjang transaksi tenaga buruh menjadi keuntungan bagi kelas pemodal? Apakah rumah dapat diartikan partisi yang inheren dari skema kapitalisme untuk mengupayakan laba dapat terus tercipta?

Orang-orang Barat pengguna bahasa Inggris melihat rumah dalam cara yang berbeda. Secara bahasa mereka bisa mengatakan rumah dengan kata ”house”, tapi di waktu lain mereka bisa menggunakan kata ”home” juga untuk menunjuk rumah. Kedelapan, bagaimana dengan kita, apakah cara kita memahami rumah sama seperti orang Barat melihatnya? Kapan kita mengatakan rumah sebagai bangunan fisik, dan saat seperti apa rumah kita maknai sebagai kehidupan yang berlangsung di dalamnya? Apakah kita kesulitan membedakannya?

I can’t wait to get home and relax.” (Saya tidak sabar ingin cepat pulang ke rumah untuk bersantai). ”That’s my house, on the left.” (Itu rumah saya, di sebelah kiri). Begitu orang Barat memaknai tempat tinggalnya.

Masjid bagi umat muslim di sebut rumah Allah, gereja disebut rumah Tuhan, vihara, dan kelenteng besar kemungkinan sama. Semua tempat peribadatan umumnya disematkan kata rumah di depannya. Kesembilan, mengapa demikian? Apakah Tuhan membutuhkan rumah? Jika tidak, lalu demi apa Tuhan dibawa-bawa untuk menyebut itu rumah Tuhan, sementara setiap kali sering kita temukan pintunya lebih sering dikunci rapat-rapat?

”Rumah tangga saya hancur karena corona.” Pernyataan ini sepertinya diucapkan seseorang yang sedang dilanda masalah keluarga setelah diterpa masalah ekonomi. Mudah-mudahan pernyataan ini bukan keluar dari mulut Anda. Tapi, satu hal yang pasti kalimat ini tidak berarti rumah bangunan fisik yang ia tempati runtuh rata dengan tanah hanya karena virus ”kecil” bernama corona.

Kesepuluh, “A house is a machine for living in.” Kata Le Corbusier, seniman dan penulis dari Swiss. ”Baiti jannati” kata ustaz di kanal youtube!?

 


Sumber gambar: Doraemonfandom.com

 

  • Entah pendengarannya seorang kisanak kurang jelas, atau kata-kata saya tak tangkas, sehingga ajakan saya ke satu hajatan disalah-pahami. Betapa tidak, Gusdurian menghelat haul Gus Dur, dia tangkap sebagai acara makan durian, terlebih lagi bakal minum jus durian. Mungkin kata Gusdurian menjadi biangnya. Apalagi sudah masuk musim durian. Sesarinya, hajatan haul Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid,…

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221