Esai Pengantar Arwah Luis Sepúlveda Penulis Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta

Rest in Peace Luis Sepúlveda (1949-2020), penulis Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta

 

BUKU ini tipis saja, dan setelah membacanya, sampai sekarang saya masih ”berutang budi” kepada penulis buku ini. Saya belum sekalipun menyempatkan menulis beberapa kata atas pengalaman membaca kisah memukau yang ditulis orang yang pernah diasingkan rezim militer Pinochet, semenjak ia muda ini.

Sampai akhirnya saya membaca status penerjemah buku yang berjudul asli Un viejo que leia historia de amor, Ronny Agustinus, tadi malam. Pemilik penerbit Marjin Kiri itu mengabarkan sang penulis wafat karena telah seminggu lebih berjuang melawan virus corona di tubuhnya.

Diberitakan La Vanguardia, salah satu media di Spanyol, Sepúlveda mengalami gejala Covid-19 setelah pulang dari festival sastra Correntes d’Escritas in Póvoa de Varzim di Portugal.

Sepúlveda mengembuskan nafas terakhirnya pada Kamis (16/4/2020), setelah lebih enam pekan sejak 25 Februari terdeteksi mengalami gejala corona di Rumah Sakit Pusat Universitas Asturias (Oviedo).

Berita kematian peraih Tigre Juan Award pada tahun 1989 atas bukunya ini, dan sudah lama berutang budi terhadap ceritanya yang berkesan, mendorong saya dengan sendirinya menulis tulisan ini.

Entah mengapa, saya seolah-olah masih terjebak di dalam belantara hutan Amazon, dan tidak bisa lepas dari keterperanjatan menyaksikan kuku cakar dan taring macan kumbang yang tiba-tiba datang, mengendus-endus, dan bergulat di perkelahian babak akhir dengan si Pak Tua Antonio Jose Bolivar Proano, tokoh kunci dari Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta.

Antonio Jose Bolivar Proano awalnya bisa dibilang bagian masyarakat koloni yang ada irisannya dengan gerakan misionaris para Jesuit di abad 19, yang masuk  berdakwah di hutan perawan Amazon.

Mereka hidup menerapkan praktik religius bersama masyarakat miskin campuran Eropa-Amerika Latin di gunung-gunung dengan menggunakan poncho, pakaian khas menyerupai mantel untuk menghalau hawa dingin angin pegunungan.

Misi kristenisasi para Jesuit ini dalam kenyataannya berdampak jauh mengubah pola hidup suku-suku asli di hutan Amazon.

Tradisi hidup ala masyarakat Eropa mau tak mau berbaur dengan masyarakat setempat melalui penggunaan bahasa Spanyol yang menggantikan bahasa asli suku pedalaman, berkurangnya peperangan antara suku, pembukaan lahan baru, dan tentu pada akhirnya, semua itu akan terintegrasi ke dalam ekosistem ekonomi pasar yang tidak dikenal sebelumnya di kawasan itu.

 

Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta terbitan Marjin Kiri

 

Bolivar korban pergunjingan masyarakatnya, oleh satu sebab yakni istrinya yang tak mampu menghasilkan anak dan mengalami semacam menstruasi berkepanjangan, sehingga mengundang pandangan miring dari orang di sekitarnya.

Mesti Anda ketahui bagaimana keyakinan masyarakat pedalaman hutan Amazon, terutama bagi perempuan yang mengalami menstruasi. Perempuan yang mengalami menstruasi akan dianggap kotor, najis, dan bahkan mesti dikucilkan dari pergaulan sehari-hari.

Orang-orang pedalaman Amazon bahkan rela membuatkan sebilik rumah menyerupai kandang, dan sebuah lubang di tanah menyerupai kloset jauh dari dalam pemukiman untuk mengisolasi perempuan menstruasi. Bayangkan tanpa pembalut, perempuan menstruasi hanya mengandalkan daun-daunan dan membiarkan darahnya jatuh menetes di lubang tanah yang sudah dibuat sebelumnya.

Tak tahan jadi korban gosip tidak-tidak, Bolivar bersama istrinya bernama lengkap Dolores Encarnacion del Santisimo Sacramento Estupinan Otavalo akhirnya mengungsi dari gunung dan masuk ke tengah hutan, dan tiba di tempat bernama El Idilio, suatu kawasan yang dibuka untuk dijadikan pemukiman baru.

Di El Idilio ini, setelah gagal hidup berbulan-bulan bercocok tanam akibat minim pengetahuan mengenai karakter lingkungannya, Bolivar bertemu orang Shuar suku pemburu yang suka menciutkan kepala musuh-musuhnya dengan cara mengawetkannya seperti dendeng sapi, atau lebih tepatnya orang Shuar-lah yang menemukan Bolivar. Bersama beberapa orang yang kelimpungan, Bolivar mulai putus asa dan merasa kalah dari hutan rimba beserta hewan-hewan buas yang menghabisi mereka satu per satu.

Orang Shuar adalah orang Indian semi nomaden yang banyak tinggal di hutan hujan tropis di antara pegunungan Andes, dan di hutan hujan tropis dan sabana di dataran rendah Amazon, di Ekuador meluas sampai ke Peru. Dari orang Shuar-lah Bolivar belajar bagaimana hidup seharusnya di tengah hutan.

”Bersama mereka ia abaikan adat kesopanan Katolik udiknya. Ia berjalan-jalan setengah telanjang dan menghindari kontak dengan pemukim-pemukim baru, yang menganggapnya orang gila” (hal. 31).

Di titik inilah, menurut saya permulaan yang menandai bagaimana Bolivar belajar dan berusaha menyatu dengan adat dan tradisi masyarakat asli Amazon, yang mendudukkan hutan sebagai episentrum kehidupan yang diistimewakan.

Di titik ini juga Bolivar belajar cara berjalan di dalam hutan, berenang,  belajar mengenal jejak hewan buruan dan berusaha mengenal hewan buruannya hanya dari warna tainya. Di lain waktu bersama sahabatnya, Nushino, berburu ular dan menukarkan bisanya dengan sebilah parang atau sekantong garam.

Di titik ini pulalah, saya bisa katakan, bagaimana seharusnya kehidupan peradaban modern mesti menghormati dan mengakui ”peradaban” lain yang dirawat dari cara hidup suku-suku asli pedalaman hutan Amazon.

”Untuk menghormatinya, mereka lukis tubuhnya dengan warna-warni ular boa dan memintanya bergabung dalam tarian” (hal.35). Penerimaan Bolivar sebagai bagian dari kehidupan asli suku Shuar diupacarakan dengan meminum natema, suatu minuman khusus yang berefek halusinatif diramu dari akar tumbuhan yahuasa.

Bolivar telah dinyatakan lulus setelah lolos dari maut yang disebut ”perploncoan” dewa-dewa jahat yang mengujinya lewat gigitan ular yang membuat tubuhnya demam dan menggigil berhari-hari saat mencari buah di dalam hutan.

Di akhir kisahnya, kematian si betina macan kumbang—hewan yang membuat cerita ini menjadi lebih menarik, bukanlah akhir pertarungan yang diharapkan Pak Tua Bolivar.

Ia bahkan diliputi rasa malu, nista, dan tak berguna sama sekali setelah membunuh hewan yang sakral bagi masyarakat dan hutan semacam Amazon.

”Lantas dengan penuh amarah ia buang senapannya dan melihatnya tenggelam tanpa kejayaan. Monster logam yang dikutuk semua mahkluk” (hal.121).

Macan, seperti juga bagi suku-suku pedalaman adalah hewan yang mesti dihormati dan menjadi simbol penghargaan atas alam rimba yang tak terpemanai.

Itulah mengapa, setelah Pak Tua menyadari betapa anggunnya hewan yang tinggal tubuh saja itu, setelah tubuhnya disobek-sobek, diterkam, dan ditindih di bawah taring yang menganga, ia menangis.

Matanya berlinang air mata, beriringan air hujan yang ikut jatuh di atas sungai yang mengalir menuju riam yang jauh.

Pak Tua menangis sebab ia tahu, yang menang bukanlah dirinya. Macan yang mati terbunuh setelah juga diburu orang-orang berkulit putih, yang tak tahu adab selama di dalam hutan, merupakan simbol kemenangan peradaban eskalatif yang bakal mengekstraksi kehidupan hutan Amazon.

”Mesin-mesin raksasa membobol jalan, dan orang Shuar jadi kian gesit. Sejak itu mereka tak lagi mengikuti adat untuk tinggal selama tiga tahun di suatu tempat sebelum pindah, guna membiarkan alam memulihkan dirinya sendiri” (hal. 39).

Begitulah, kisah Pak Tua Bolivar juga sebenarnya sedang menggaungkan suara dari  tengah hutan penghasil oksigen terbesar di dunia, mengenai ancaman peradaban  luar terhadap ekosistem hayati yang dijaga melalui budaya kehidupan suku pedalaman.

Buku yang dengan penghargaan sastra Tiger Juan, yang disebutnya tanda yang ia ingin peruntukkan kepada sahabat terkasih irit bicara, Chico Mendes, dengan sendirinya adalah buku perpisahan dengan pejuang lingkungan hidup itu. Saat penghargaan buku ini diumumkan di Spanyol, di waktu itu juga di pedalaman hutan Amazon, Chico Mendes mati ditembak oleh kaki tangan pengusahan pembalak hutan.

Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta pernah digarap ke layar lebar oleh sutradara Australia Rolf de Heer  dan tayang perdana 2001 silam dengan aktor Richard Dreyfuss sebagai Antonio Bolivarnya.

Luis Sepúlveda wafat di usia 70, dan tidak banyak yang menyadari kematiannya secara tidak langsung adalah buah dari kerusakan alam besar-besaran yang mendorong perubahan drastis kehidupan hayati berserta kehidupan mikrocosmosnya.

Hutan dibabat sehingga merusak penangkaran alami yang menjaga virus-virus asing tidak keluar melintas di kehidupan manusia.

Selamat jalan ”Pak Tua” Sepúlveda.

 


Sumber gambar: franceculture.fr

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *