Cukuplah Bunga Itu Sebagai Titian

Seharusnya, saya sudah menyata di kampung halaman, tanah kelahiran, Bantaeng. Paling telat, satu hari sebelum bulan puasa ramadan memulai  safarnya. Sebagai seorang perantau, meski jaraknya hanya sekira 120 km dari Kota Makassar, rasanya, sependek ingatan saya, barulah tahun ini saya tidak ziarah ke kubur Amma dan Abba. Ibu dan bapak saya, berpulang, sejak 11 tahun lalu. Selisih wafatnya Amma dan Abba, hanya 5 bulan pada tahun yang sama, 2009.

Kedua orangtua saya, dimakamkan bukan di pekuburan umum, melainkan di kebun miliknya. Tepatnya, di satu kampung bagian timur Bantaeng, Kecamatan Tompo Bulu, Kelurahan Ereng-Ereng. Di kebun ini, tumbuh pohon kopi, cengkeh, dan cokelat. Luasnya tidak seberapa, tak begitu memadai untuk dibagi ke anaknya yang berjumlah 8 orang. Jika luas itu dibagi, maka hanya cukup untuk menjadi  satu kapling rumah, baik buat di dunia maupun untuk tidur abadi.

Apa penghalang utama sehingga tidak mengada di Bantaeng? Pasal pandemi Covid-19 inilah menjadi biang kerok ketidakbisaan saya berziarah ke makam orangtua. Bukan kerena paham keagamaan saya yang anti ziarah kubur. Saya pun menganut satu pemahaman bahwa tanpa ziarah kubur, doa setiap anak kepada kedua orangtuanya akan sampai, tapi saya adalah orang yang masih membutuhkan medium, buat mengkhusyukkan diri dalam berdoa. Dan, di depan kuburannya merupakan medium terbaik.

Berdepan-depan dengan kuburannya, apatah lagi kalau sudah ditaburi aneka bunga dan daun pandan, amboi, makin khusyuk suasananya. Pada momen inilah, di pucuk doa saya, selalu saja saya menabalkan kalimat, “Saya akan menyusul Amma dan Abba, walau belum tahu kapan waktunya.” Sehingga, bagi saya, ziarah kubur ini semacam alarm akan adanya kehidupan berikut, setelah tuntas kemelataan hidup di dunia. Lebih dari itu, salah satu permohonan terbaik saya, agar kiranya, pun dimakamkan di lokasi ini, dekat kubur Amma dan Abba.

***

Tetiba saja saya ditemui oleh seorang ibu separuh baya. Ia mukim di dekat pekuburan tak jauh dari rumah saya. Pekuburan Bonto Manai namanya. Saban waktu saya selalu lewat pekuburan ini. Soalnya, inilah jalan alternatif, jalur potong kompas bagi pengendara roda dua, guna mempersingkat jarak ke jalan raya. Jauhnya dari mukim saya, mungkin kurang dari satu kilometer. Suara mobil mayat sangat nyaring sirinenya, manakala ada mayat diantar ke pekuburan.

Si Ibu itu, sejak kemarin ia ingin singgah. Namun, ia tidak melihat satu pun penghuni. Maklum saja di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), bahkan sejak anjuran jarak sosial dan fisik diberlakukan,  lebih sebulan lalu, rumah saya lebih banyak tertutupnya, plus toko buku saya, Paradigma Ilmu, yang satu bangunan dengan badan rumah.

Nah, kali ini saya lagi duduk santai di teras. Si Ibu pun menyata di depan saya. Diutarakanlah maksudnya. Ia ingin meminta bunga dari kembang  asoka yang lagi mekar. Di halaman depan rumah, memang ada tiga pohon kembang  asoka. Ajaibnya, setiap jelang Ramadan, selalu saja memekarkan bunga, berwarna merah dan kuning. Kembang asoka ini sudah ditanam sejak saya dan keluarga menghuni rumah ini, tahun 1984.

Langsung saja saya iyakan permintaan si Ibu. Saya mengira awalnya hanya beberapa kelopak saja. Namun, setelah saya tanya buat apa? Ia pun menegeaskan kata, “Buat saya jual di pekuburan. Saya jual ke peziarah.” Saya tercenung. Lalu saya nyatakan pada si Ibu, “Petik saja semuanya.” Ia meneteskan air mata. Beberapa biji kristal air bening melompat dari kelopak matanya, meleleh di pipinya. Lalu ia berujar, “Sebenarnya bisa saja ia sudah petik kemarin, tapi saya tidak ingin mengambilnya, tidak halal dan berkah buat dimakan.”

Saya takjub pada si Ibu dengan kejujurannya. Dan, saya pun berbincang sejenak, menanyakan sekilas latar belakang keluarganya. Ternyata, menjual bunga buat peziarah di pekuburan merupakan salah satu sumber penghasilan bersama anaknya, selain mencuci pakaian beberapa rumah tangga. Anaknya, selain menjual bunga, juga sering membersihkan kuburan, terutama saat musim ziarah jelang Ramadan dan Idul Fitri.

***

Kala saya bercakap-cakap dengan si Ibu, pasangan saya ikut menyata. Ia dan saya silih berganti bercakap. Kami larut dalam percakapan, sembari ia memetik bunga. Percakapan dari hati ke hati. Berlapik percakapan kami dari mulanya fokus di bunga, merembet ke dampak pandemi Corona-19. Ia hanya tahu bahwa virus ini berbahaya, tapi ia tetap keluar mencari bunga.

Kami pun melakukan edukasi sederhana  tentang virus ini. Termasuk cara melindungi diri tatkala harus keluar rumah. Karena ia belum punya masker, kami pun memberikannya. Menjelaskan pentingnya menjaga jarak, rajin cuci tangan pakai sabun, dan sederet pengetahuan perlindungan diri lainnya.

Interaksi berjarak kami makin menukik. Berujung pada tindakan lebih nyata. Bukan saja soal bunga yang boleh diambil semuanya, menghampiri setengah kantong ukuran sedang, pun memberikan sumbangan sembako alakadarnya. Berisi beberapa liter beras, sejumlah telur, bungkusan biskuit, mie  instan, dan minyak goreng. Paket ini bukan dari kami, melainkan titipan dari kantornya adik kami, untuk disalurkan ke yang butuh. Kami pun menyalurkan secara senyap di jalan sunyi.

Sudah lebih sebulan saya tidak ke Bantaeng. Sejak masa kuncitara diberlakukan. Boleh saja saya melakukan perjalanan, tapi saya mencoba untuk sebanyak mungkin berdiam diri di rumah. Saya tidak punya apa-apa untuk dibagikan, saya hanya ingin mata rantai penyebaran virus terputus. Lebih dari itu, saya ingin berempati sedalam mungkin buat para pejuang kesehatan, tenaga medis, dan pemerintah. Amma dan Abba, maafkan anakmu, tak bisa ziarah di pusaramu kali ini. Tiada bunga saya taburkan, hanya doa saya panjatkan. Dan, sekotah amal pemberian bunga pada si Ibu, saya dedikasikan buat Amma dan Abba.

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *