Sesuai dengan judulnya, tulisan ini dituangkan tepat setelah sahur pertama di bulan Ramadan kali ini yang jatuh pada tanggal 24 April 2020 atau 1 Ramadan 1441 H. Beberapa hari sebelumnya, melalui unggahan cerita whatsapp akun milik Sulhan Yusuf yang membagikan sebuah pamflet yang berisi ajakan untuk menulis gratis melalui sebuah platform menulis yakni Kalaliterasi.com yang beliau sendiri menjadi pimpinan redaksinya. Melalui unggahan cerita tersebut, saya mendapatkan informasi bahwa Kalaliterasi.com membuka rubrik khusus yang diberi tajuk sedekah-esai yang berisikan kumpulan tulisan yang bisa berasal dari siapa saja dengan niatan yang sesuai dengan tajuknya, memberi sedekah dalam bentuk atau versi yang lain, yakni melalui tulisan.
Secara pribadi, saya cukup akrab dengan platform menulis ini—kalaliterasi,com— karena sering membacanya yang isinya beragam tulisan-tulisan hebat dari penulis-penulis hebat pula. Oleh karenanya, ketika melihat unggahan cerita whatsapp dari akun milik Sulhan Yusuf, saya bagaikan gayung bersambut menyiapkan apa yang akan saya tuliskan dan kemudian mencoba memberanikan diri untuk mengirim tulisan pada rubrik yang telah disediakan. Sebagai seorang yang termasuk pecinta coto Makassar, undangan menulis ini saya anggap sebagai ajakan untuk menyantap coto yang sedang promo gratis ketupat dan bersegera secepat mungkin agar promo gratis ketupatnya tidak keburu kehabisan.
Pada tulisan kali ini, saya mencoba menceritakan pengalaman saya selama 20 hari terakhir sebelum hari ini—yakni hari puasa—tiba. Tepat tanggal 1 April 2020, ditengah kondisi yang tidak kondusif disebabkan oleh pandemi Covid-19, saya bersama keluarga menuju toko buku yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kediaman, terletak di kompleks Pusat Dakwah Muhammadiyah atau yang lebih masyhur disebut sebagai Pusdam perintis.
Toko buku yang saya kunjungi ialah toko buku Papirus, yang toko tersebut juga dikelola oleh orang yang sama dengan yang memimpin redaksi Kalaliterasi.com. Alasan saya untuk mengembara mencari buku di toko buku tersebut untuk menyetok persediaan bacaan selama me-lockdown-kan diri sendiri di rumah.
Niat awalnya, saya cuma menginginkan dua judul bacaan, akan tetapi oleh penjual buku dan Abi—yang memang keduanya berkerabat—judul bacaan yang semula dua biji tersebut beranak pinak menjadi 20 judul buku. Jangan dikira 20 judul buku tersebut hanya berisikan halaman 50-300an, akan tetapi hampir dari semuanya masuk kategori buku babon yang jika ditumpuk satu-dua buku bisa menggantikan fungsi bantal untuk tidur.
Mau tidak mau, saya “terpaksa” menegarkan diri sendiri untuk mengkonsumsi buku yang sebegitu banyaknya. Perasaan sedikit kaget ini lahir dikarenakan pertama kalinya saya mempunyai listing bacaan sebegitu banyaknya. Berkali-kali saya menghibur diri untuk tetap tegar dan mencoba bersikap seperti biasanya menatap tumpukan buku yang banyak, tak terperikan betapa sulitnya bacaan itu akan saya lahap semuanya!
Akan tetapi, sikap praduga saya atas buku bacaan itu tidak benar adanya dan justru yang terjadi adalah sebaliknya. Saya tidak merasakan kesulitan untuk membacanya. Perasaan gundah gulana dan khawatir apabila tidak mengkhatamkan kesemuanya seakan sirna dengan begitu mudah dan apiknya. Hal ini saya rasakan ketika setelah membaca buku panduan membaca yang sangat spektakuler dan sangat menarik. Adalah karangan dari Hernowo Hasim yang saya maksud, judulnya Quantum Reading diterbitkan oleh penerbit Kaifa, edisi baru 2015.
Buku Quantum Reading ini adalah buku yang termasuk dalam deretan dua puluh buku yang telah beranak pinak tersebut. Hasil dari setelah membaca buku inilah yang sangat membuat saya terkesan setelah mengaplikasikan beberapa metode membaca yang dipaparkan secara menarik oleh penulisnya. Dan karena buku ini pula, perasaan yang awalnya tak karuan setiap memandang tumpukan buku yang baru “dijarah” dari toko buku seakan menghilang seketika, dan saya membuktikannya dengan rentan waktu yang terbilang hanya 20 hari, saya telah mengkhatamkan 11 judul buku! Sangat fantastis bagi saya yang baru memulai untuk bersikap rakus membaca buku.
Buku Quantum Reading anggitan Hernowo Hasim sangat layak dan sangat direkomendasikan untuk dibaca khususnya untuk para pemula dalam menumbuhkan sikap rakus membaca buku. Dalam buku tersebut, sedikit banyak memaparkan manfaat dari membaca buku dan menampilkan beberapa metode “belajar membaca” secara efektif dan efisien.
Salah satu manfaat yang diutarakan oleh penulis terkait manfaat dari membaca buku adalah membaca dapat menumbuhkan saraf otak baru pada usia yang bahkan sudah tidak mudah lagi, selain itu membaca buku juga turut memperbanyak pemahaman kita dalam mengartikulasikan serta merefleksikan hidup kita dan juga turut memperkaya kosakata dan pengetahuan akan tata bahasa dan sintaksis.
Sebagai seorang yang termasuk baru untuk mulai rakus membaca buku, anggapan bahwa membaca buku itu sangat membosankan dan merupakan hal yang monoton sulit untuk ditepis. Sejumlah pertanyaan skeptis yang berujung pada mengkonstruksi paradigma negatif tentang membaca buku juga sulit rasanya untuk dibendung.
Akan tetapi, dalam buku Quantum Reading ini terdapat solusi yang jitu untuk mengobati perasaan-perasaan tersebut yang sebenarnya berujung pada sikap malas membaca buku. Penulis menganjurkan untuk mengubah paradigma kita terhadap buku, yang awalnya dari negatif menjadi positif. Memang membaca buku bukanlah hal yang mudah karena membaca membutuhkan banyak aspek untuk melakukannya—to think, to feel and to act—dan sedikit banyak menguras tenaga.
Untuk mengobati hal tersebut, mengubah paradigma terhadap buku sangat penting untuk dilakukan. Paradigma yang kita bangun terhadap membaca buku boleh “seliar” dan sebebas apapun yang kita inginkan, kita dapat menganggap buku itu sebagai sepotong pizza—sebutan ini juga diambil dari judul buku yang dibuat oleh Hernowo—ataukah dengan membaca buku kita mengganggap diri kita menjadi seorang professor yang hebat setelah membaca buku dan lain sebagainya.
Hal penting lain yang ditekankan oleh penulis adalah menggunakan kemampuan otak kiri dan kanan dalam membaca buku, hal ini diyakini sebagai pemantik kreativitas dalam membaca. Selain mengubah paradigma dalam membaca dan menggunakan kemampuan otak kiri dan kanan dalam membaca, kita juga ditekankan akan pentingnya menuliskan apa yang telah kita baca dalam bentuk tulisan apapun, kegiatan ini disebut oleh penulis sebagai kegiatan “mengikat makna”.
Bulan Ramadan kali ini, kita dibatasi dalam mengeksplorasikan bentuk keimanan kita dengan beragam kultus yang khas pada bulan Ramadan. Hal ini disebabkan oleh pandemi yang mulai awak Maret kemarin tak kunjung reda, malah semakin meningkat dampaknya. Anjuran #dirumahaja dari banyak pihak baik pemerintah maupun kawan sejawat perlu untuk “diamini” dalam rangka memutuskan mata rantai penyebaran Covid-19.
Selain berpuasa dan melaksanan beragam kultus ibadah lainnya, perlu dan memang harus untuk kita tetap menumbuhkan budaya membaca terhadap diri kita sendiri dan membaca buku bisa menjadi perilaku eskapistik yang “baik” selama #dirumahaja untuk mengusir kebosanan. Perkuat iman dan imun, semoga kita berhasil memenangkan pertarungan ini, semoga dapat bersua di lain waktu—dan di meja coto. Untuk menutup tulisan ini, berikut mahfuzhat dari Bahasa Arab tentang buku:
خير جليس في الزمان كتاب
“Sebaik-baik teman di waktu luang adalah buku”
Sumber gambar: Beritasatu.com
Ahmad Nurfajri Syahidallah. Aktif sebagai mahasiswa di Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Asia Barat. Selain aktif di bidang akademik, juga aktif di beberapa Lembaga kemasiswaan. Siswa di Kelas Literasi Paradigma Institute