Ramadan Sebagai Madrasah Ruhani

Akhirnya, ketakutan sebagian orang menyata. Tamu yang dirindu saban tahun itu telah tiba, mengetuk pintu-pintu rumah orang mukmin. Dibukalah pintu dan disambutlah tamu itu dengan perasaan gembira sekaligus iba. Apa pasal? Tamu yang lama masih betah duduk manis di beranda. Tak mau beranjak meski sekejap. Pergerakan manusia menjadi terbatas, perkumpulan dilarang, pulang kampung mudik apalagi.

Dan sepertinya, sebagaimana prediksi banyak orang, Ramadan kali ini mesti dilewati dalam suasana yang sungguh berbeda dari sebelumnya. Tak ada bukber (buka bersama)—kecuali di rumah, tak ada tarawih berjamaah di masjid, pun sahur on the road. Semua karena tamu bernama Covid-19, yang bertandang entah sampai kapan. Namun, jika ingin tetap menikmati Ramadan seperti biasa, berhentilah membuat perbandingan, karena hal tersebut dapat merusak kebahagiaan. Itu pelajaran utama kebahagian dari buku Hector and the Search of Happiness karangan Francois Lelord. Toh keberkahan Ramadan tak berkurang hanya karena situasi yang tidak kondusif. Nikmati saja, meski sulit.

Kabar baiknya, kita tidak lagi dipusingkan dengan wacana reuni teman SD untuk bukber. Yup, mengumpulkan mereka itu susah cuy, ibarat ngumpulin tujuh biji dragon ball. Kalaupun jadi,reuni tak lagi seromantis dan semesra dulu, semua sudah sibuk dengan gawainya masing-masing. Reuni berubah jadi ajang pamer. Kering interaksi.

Pandemi Covid-19 praktis membuat suasana Ramadan berubah 180 derajat. Sejak tiga hari terakhir, telinga dan mata saya sudah kenyang dengan keluh kesah, resah dan desah orang-orang. Daring dan luring sama saja. Ramadan katanya tak seseru kemarin, tak ramai. Meski demikian, sungguh jangan jadikan itu pembenaran atas setiap aksi melanggar protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah, jika tak mau musibah ini berlarut-larut hingga Ramadan berikutnya. Jangan sampai.

Pemerintah—juga sebagian besar masyarakat—sudah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam. Tak sedikit pula yang beranggapan, bahwa musibah ini semacam mekanisme alam memperbaiki diri. Terlihat dari udara yang berubah bersih; minim polusi kendaraan maupun industri. Bahkan, di beberapa media disebutkan, bahwa di tengah pandemi ini, ilmuwan menyebut lapisan ozon perlahan membaik. Bukankah lapisan ozon ini banyak dirusak oleh perilaku-perilaku manusia yang memproduksi emisi-emisi gas berbahaya? Misal CO2.

Dalam buku Etika Lingkungan hidup, dijelaskan bahwa krisis dan bencana lingkungan hidup global dewasa ini sesungguhnya disebabkan oleh karena kesalahan paradigma antroposentrisme yang memandang manusia sebagai pusat dari segala sesuatu. Sebaliknya, alam justru dianggap tidak memiliki nilai intrinsik pada dirinya sendiri kecuali nilai instrumental ekonomis bagi kepentingan ekonomi manusia.

Lebih lanjut, paradigma antroposentrisme inilah yang melahirkan tindakan eksploitatif eksesif yang merusak alam sebagai komoditas ekonomi dan alat pemuas nafsu kepentingan manusia.

Bisa jadi! Bisa jadi, musibah ini adalah sebentuk alarm bagi keserakahan umat manusia, sebuah pertanda akan kecil dan tidak berdayanya kita di hadapan semesta. Ternyata kemajuan yang kita peroleh selama ini sejatinya adalah kemunduran bagi eksistensi bumi itu sendiri. Jangan-jangan, manusia sejatinya adalah virus bagi bumi? Karenanya, berhentilah memperkosa alam atas nama ilmu pengetahua, industri, pembangunan. Pokoknya atas nama apapun.

***

Momentum Ramadan ini sungguh amat baik kita kontemplasikan. Pola hidup kita selama ini yang memberatkan eksistensi alam mesti kita tinggalkan perlahan; penggunaan plastik, pemborosan listrik, eksploitasi alam, dan semacamnya. Puasa tak sekadar ajang menjaga perut dan kelamin dari aktivitas yang dilarang. Melampaui itu, di sinilah madrasah ruhani di mana kita dididik untuk lebih bijak, peka, dan arif dalam melihat kehidupan. Bahwa kesejatian hanya milik Tuhan semata, selain itu sifatnya temporal.

Dalam puasa, seorang Muslim diajarkan untuk membiasakan diri melakukan kebaikan. Ramadan itu sekolah, sedang puasa adalah guru yang mendidik hati dan pikiran. Sebulan lamanya manusia melakukan pembiasaan, sebelas bulan sisanya adalah ujian sesungguhnya. Apakah puasa yang selama ini kita laksanakan telah mampu menjadikan kita pribadi yang lebih baik, atau mungkin sebaliknya? Ramadan menjadi bulan kita mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya, setelahnya kehidupan mundur lagi ke belakang. Dekadensi iman.

Tak salah jika Nurcholis Madjid dalam bukunya Pintu-Pintu menuju Tuhan pernah mengungkapkan bahwa makna sesungguhnya di balik puasa adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran sepenuhnya akan kehadiran Allah dalam hidupnya, kapan saja dan di mana saja, dan dia yakin Allah mengawasi segenap tingkah lakunya. Inilah sebenarnya salah satu makna takwa. Sedang takwa adalah salah satu tujuan puasa.

Lantas, kemana takwa itu menguap setelah Ramadan berlalu?

 

Sumber gambar:  Alif .Id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *