Ramadan Itu Bening
Embun tetesi batinku yang lusuh
Dari langit-langit pemilik cinta
Daun-daun kehidupan yang ranggas
Mekar dan lembut berhias damai
Kata firman-Nya, ini bulanku yang mulia
Bila engkau berbagi kasih sedepah
Ia akan mendatangimu sepuluh depah
Mengangkatmu ke puncak cinta
Bening subuh di antara senyap
Malaikat kasih membasuh hati
Para pejalan cinta yang tangguh
Mengantarnya ke tahta kemuliaan
Hulawa, Mei 2018.
Perdefinisi, puasa atau saum adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang secara sukarela berpantang dari makan dan minum serta melakukan hubungan dengan suami istri pada waktu yang telah ditentukan. Secara umum puasa ini hampir semua agama telah memerintahkan melakukannya, baik agama samawi maupun agama non samawi. Sehingga berkenan dengannya, secara umum hampir pula tidak ada perdebatan. Kecuali dikalangan ummat Islam ketika masuk pada hal menentukan waktu masuknya bulan ramadhan.
Secara umum, puasa dimotivasikan agar orang-orang yang menjalankan menerima manfaat, baik secara ruhaniah (spiritual) maupun secara fisik. Bagi ummat Islam secara khusus agar pelaksananya sampai kepada manusia yang bertakwa sedangkan secara pisik telah banyak dibahas oleh ahli gizi maupun para dokter diberbagai keahlian. Dan secara umum pula yang kerap disampaikan, bahwa puasa itu sebagai media detoksifikasi atawa sebagai media (aktifitas) mengeluarkan racun-racun yang semayam di dalam tubuh kita.
Ramadan adalah bulan di mana segala kebajikan yang dilaku akan dilipat gandakan pahalanya, sehingga sebuah frasa yang popular di tengah masyarakat bahwa di bulan Ramadan, bila engkau berbuat kebajikan sedepah maka kebajikan itu akan mendatangimu beribu depah, bahkan Tuhan membilangkankannya pula bahwa bulan Ramadan ini adalah bulan-Ku, pahalanya akan langsung kuberi dari-Ku.
Bulan Ramadan juga dibilangkan sebagai bulan pengampunan, sehingga apa bila seseorang menjalani puasa dengan baik, tidak makan dan minum dari waktu imsak hingga terbenamnya matahari, serta mengasah batinya untuk selalu berprasangka baik dan berlaku bajik dan bijak kepada sesama manusia, maka memasuki bulan syawal, manusia seperti ini diibaratkan Ia baru lahir kembali dalam keadaan suci sebagaimana bayi yang baru keluar dari rahim ibunya.
Itulah orang-orang yang meraih predikat takwa sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah; 183, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana sebagaimana diwajibkannya atas orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang-orang bertakwa.”
Menurut Imam Al-Ghazali dengan merujuk sebuah hadis, bahwa selain puasa yang sifatnya elementer, seperti tidak makan dan minum, serta menyalurkan hasrat birahi pun pada suami istri. Secara substansial intisari dari puasa itu di antaranya adalah “tidak berbohong, tidak menggunjing, tidak mengadu-domba, tidak bersumpah palsu, dan tidak memandang lawan jenis dengan syahwat.” Bila dalam berpuasa masih terjebak satu dari lima yang mesti dihindari di atas, pasti kualitas puasa kita akan terjatuh dan terpuruk.
Karena puasa itu juga bagian dari latihan meningkatkan akhlakul karimah sebagai salah satu misi utama dakwah Nabi, maka lima unsur yang dijelaskan Imam Al-Ghazali di atas adalah menjadi sangat penting dan utama, dalam mendukung proses peningkatan laku dan budi baik dalam kehidupan kita. Kata Imam Ghazali kemudian, bahwa Allah SWT telah menyediakan satu tempat khusus di surga, yang di pintunya bertuliskan Al-Rayyan (kesegaran, kedamaian) dan hanya bisa dimasuki oleh mereka yang ahli puasa.
Secara sosiologis, bila kita mampu menahan diri untuk tidak melakukan lima hal di atas, maka nampaknya kehidupan masyarakat akan menjadi tenteram dan bening sebening-beningnya, kendati masyarakat masih berasyik-masyuk dengan suasana politik yang kerap menjadi tipu daya.
Jadi, sesungguhnya bila ingin melihat seseorang atau sebuah komunitas telah melaksanakan puasa dengan baik, maka lihatlah perubahan pada kejiwaannya yang terpancar dari perilakunya setelah puasa dilaksanakan selama sebulan penuh. Makanya dalam perspektif spiritualitas, kala ramadan telah beranjak meninggalkan semesta maka manusia-manusia yang telah menempa dirinya dengan segenap maksimalisasi kemampuannya menjalankan ibadah puasa, maka di gerbang Syawal, ia atawa mereka akan menjadi bening, sebening bayi yang baru lahir.
Tutur kata akan berhijrah dari pengumpat dan pencaci menjadi lemah-lembut, laku dan gerak geriknya, dari kasar hijrah mencerminkan akhlak tinggi atawa budi pekerti yang baik, dari kerap berprasangka buruk mengubah diri (hijrah) menjadi positif thingking selalu berprasangka baik. sebagaimana pesan Sayyidina Ali Bin Abu Thalib, bahwa, “Ilmu orang beriman itu ada pada amalnya, sedang orang munafik ada pada lisannya”
Bukankah salah satu tujuan bernegara adalah tercapainya sebuah negeri yang “Baldatun Tayyibah wa Robbun gafur” “sebuah negeri yang baik, sentosa, adil dan makmur, serta mendapat perlindungan Tuhan yang maha kuasa.” Nah, negeri impian untuk semua orang seperti yang kerap dipidatokan oleh para ustas dan ulama serta para pemimpin ini, syarat utamanya adalah melahirkan rakyat, warga, dan bangsa yang berkualitas bening, sebening embun.
Kualitas manusia-manusia takwa. Manusia-manusia yang telah tercerahkan oleh celupan ramadan karim. Manusia-manusia yang berprilaku saleh, manusia-manusia yang telah berhijrah hati dan lakunya oleh tempaan ramadan. Bukan manusia-manusia yang nampak secara fisik “bepakaian saleh”, tapi suka menyakiti sesamanya, baik fisik dan non fisik. Manusia-manusia yang suka pamer bila berbuat baik. manusia-manusia yang suka menyebar hoaks dan fitnah pada semesta raya. Manusia-manusia yang selalu merasa paling baik dan benar di antara manusia lain.
Dua style dalam mengarungi hidup ini sebagai bangsa terus akan “berperang”. Jadi, bila ingin memotret capaian negeri yang baik dan mendapat pengampunan dan perlindungan Tuhan, ya lihat saja sikap dan style warganya, apakah dia tipikal yang petama atawa yang kedua, wallahu a’lam bisyawwab.
Puasa mencakup dimensi sangat pribadi pada seseorang dan juga berdemensi universal untuk kebaikan dan kemaslahatan bangsa sebuah Negara dan untuk memberi spirit kesehatan lahir dan batin untuk warga sebuah Negara dan bangsanya. Sebab, seperti pembahasan pada alinea awal ditulisan ini, bahwa puasa itu menjadi ajaran dan perintah dihampir semua agama di bumi ini. Baik agama samawi atawa agama langit yang diantaranya adalah, Yahudi, Nasrani, dan Islam, maupun agama tabhi’i, yakni agama yang lahir secara alamiah dan proses natural dari kebudayaan sebuah komunitas atawa warga, seperti, Agama Hindu, Buddha, Shinto, dan Konghucu. Walaupun dengan jumlah dan waktu pelaksanaannya berbeda-beda, tapi secara substansial caranya secara umum sama, dengan menahan untuk tidak makan dan minum, menyalurkan nafsu syahwat kepada suami istri sekali pun. Bahkan pada masyarakat yang tidak mengenal agama sekalipun, seperti komunitas-komunitas primitive dan yang lainnya ditemukan adanya kebiasaan berpuasa.
Ada dua hal sehingga puasa disyariatkan oleh agama-agama yang ada, diantaranya pertama adalah, puasa sebagai alat untuk mendekatkan diri menuju Allah. Karena alasan inilah sehingga kita menemukan perintah puasa pada seluruh agama di dunia ini. yang kedua, agama dapat memenuhi kebutuhan spiritual kita. Bila semua orang yang beragama memperaktikkan sisi-sisi spiritualitas puasa secara baik dalam kehidupannya maka dapat dipastikan sebuah negeri seperti negeri yang indah ini, negeri kita tercinta Indonesia akan sampai pada suasana bangsa yang saling mengasihi dan mencintai. Sebuah Negeri yang berperadaban tinggi seperti yang dicitakan para founding fathers Negeri ini dan UUD serta perangkat politik dan hukum lainnya.
Sumber gambar: Koleksi Abdul Rasyid Idris
Penulis. Telah menerbitkan beberapa buku kumpulan esai dan puisi di antaranya Jejak Air mata (2009), Melati untuk Kekasih (2013), Dari Pojok Facebook untuk Indonesia (2014), Tu(h)an di Panti Pijat (2015). Anging Mammiri (2017), Menafsir Kembali Indonesia (2017), Dari Langit dan Bumi (2017). Celoteh Pagi (2018), Di Pojok Sebuah Kelenteng (2018), dan Perjalanan Cinta (2019).