Ngepompong

Pada pucuk esai saya, diunggah pada media ini, berjudul, “Ngulat”,   saya mengajukan  sebentuk tanya, bagaimana kehayatan kepompong? Diri yang mengepompong? Ngepompong di bulan suci, selama Ramadan?

Sesarinya, pertanyaan tersebut muncul, karena membutuhkan penjelasan berikut, sebagai kelanjutan proses metamorposis dari ulat, menjadi kepompong, lalu mewujud kupu-kupu, sebagai metafora kondisi kekinian. Maksudnya, masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang bertepatan dengan bulan suci Ramadan. Saya mengilustrasikan masa kuncitara PSBB dan puasa Ramadan, merupakan masa mengepompongkan diri. Masa berdiam secara jasmani dan ruhani. Waktu jeda raga dan jiwa. Berdiam dan jeda secara berlapis. Kuncitara pangkat dua.

Karenanya, saya ingin melanjutkan pengungkapan ilustrasi dunia kepompong, sebagai cara menerangkan kuncitara berlapis itu. Dan, sebaiknya saya menukil kembali pengetahuan dasar, tentang bagaimana dunia kepompong, seperti dipaparkan oleh media Informazone, pada rubrik edukasi.

Setelah tuntas masa mengulat, ngulat, maka, “Tahap berikutnya ulat akan membuat cangkang atau biasanya disebut dengan kepompong. Cangkang kepompong dibuat dengan daun yang dililitkan pada dirinya dengan memanfaatkan benang khusus dari dalam dirinya yang sebagian mengandung sutera atau seluruhnya adalah sutera.Tahap ini biasanya berlangsung selama 12 hari. Ulat akan tidur selama 12 hari sampai nanti dirinya akan keluar dan berubah bentuk menjadi hewan yang menakjubkan, yaitu kupu-kupu.”

Masa ngepompong ini, “Ulat akan mencerna dirinya sendiri menerapkan enzim dalam dirinya sampai menyisakan komponen penting dari dirinya saja yang nantinya akan menyusun dirinya menjadi kupu-kupu. Jadi ulat akan menyiksa dirinya sendiri supaya dapat menerima kehidupan yang lebih bagus di masa depan. Demikian yang menakjubkan datang dari sebagian penelitian bahwa ketika ulat sudah menjadi kupu-kupu dirinya masih menaruh secuil memori saat dirinya masih menjadi ulat.”

Nah, ilustrasi ngepompong di atas, bila saya sepadankan dengan masa PSBB dan berpuasa Ramadan, sungguh merupakan masa kuncitara lahir dan batin. Ber-PSBB menunjuk pada ruang lahir, sedangkan berpuasa mengarah ke ranah batin. PSBB mengurung aktivitas ragawi, berpuasa mengunci jiwa. Kebebasan sosial dipagari jarak, terungku pribadi dintimi. Bagi manusia, inilah serupa siksaan. Menyiksa diri, baik karena tekanan dari luar, maupun sebab desakan dari dalam diri.

Kesemarakan Ramadan dengan segala kemewahan lahiriah mesti ditinggalkan dan ritus berkerumun ditiadakan,  sebab ada PSBB menghadang. Saking tersiksanya manusia dengan penghadangan ini, banyak yang mencoba melanggarnya. Entah karena ketidaktahuan, atau sifat manusia sebagai makhluk yang suka bergerombol, ingin selalu bermain, laiknya homo ludens. Pun, latar pemahaman keagamaan turut menguatkan keinginan beramai-ramai menunaikan ritus.

Berpuasa sebagai ritus penuh dimensi pribadi, bahkan amat rahasia pemenuhannya, tak kurang menyiksanya. Manusia yang terbiasa makan dan minum, kapan dan di mana saja, tetiba dibatasi kapan dan di mananya. Hidup untuk makan sebagai semboyan hidup, mesti dibalik penabalannya, makan untuk sekadar hidup. Pembatasan makan dan minum, bagi manusia melata di bumi, sungguh merupakan siksaan nyata.

Hasrat konsumerisme di kala ngepompong ini, pun tak tersalurkan. Manusia sebagai pemburu konsumerisme, baik buat keinginan raganya maupun jiwanya, seolah berhenti mendadak. Alat pemenuhannya terbatas. Uang sebagai alat tukarnya menjadi langka di kantong. Penjual dan pembeli, komoditas apa saja di bulan suci, pada masa kuncitara berlapis, biasanya menjadi ajang pesta, kini jadi sepi.

Secara lahiriah, PSBB di bulan Ramadan. inilah masa momen penyiksaan diri. Laiknya ulat yang memasuki tahapan kepompong. Ulat menyiksa dirinya, dalam diam memakan sari dirinya, guna menemukan kehidupan baru yang lebih menakjubkan, lahir sebagai kupu-kupu. Semestinya, kita sebagai manusia, yang mengepompong, mungkin awalnya semacam keterpaksaan dari luar dan dorongan dari dalam diri, telaten menjalaninya, demi kehidupan baru berikutnya.

Ber-PSBB akan menggiring manusia pada hidup dan kehidupan apa adanya. Satu kehidupan yang tak perlu segala macam kemewahan dan kemegahan. Segala benda yang membungkus diri seolah tiada artinya. Sekotahnya menjadi daki. Baju, alas kaki, kendaraan, farfum, perhiasan, perlengkapan kosmetik, dan yang serumpun dengan itu, tiada gunanya. Karena apa? Ia hanya berguna di ruang sosial. Kiwari, ruang publik sebagai ajang unjuk diri, tak ada arenanya. Bukankah kemewahan dan kemegahan selama ini diburu, sebagai varian utama bersosialisasi di masyarakat?

Berpuasa akan mengantarkan manusia menjadi sehat jasmani dan ruhaninya. Secara jasmani, tubuh melakukan proses detoksifikasi. Mengeluarkan racun dalam tubuh. Membentuk sel-sel baru. Ibarat kendaraan, masuk bengkel, mengalami servis berat, turun mesin, guna memperbaiki semua kerusakan jaringan mesin. Sehingga, setelah keluar dari bengkel, kondisi mesin kembali seperti sediakala. Mirip sewaktu masih baru keluar dari pabrik.

Terlebih ruhaninya. Sebagai manusia, tatkala ia berpuasa di bulan suci, maka batin akan disucikan, lewat ritus-ritus pribadi dalam keintiman dengan pencipta-Nya. Kesucian batin adalah buahnya. Spiritualitas akan menyata padanya. Persis seperti kata seorang filsuf Perancis, Teilhard de Chardin, “Kita bukanlah makhluk manusia yang memiliki pengalaman spiritual. Kita adalah makluk spiritual yang menjalani pengalaman manusia.”

Walakhir, jalanilah masa kuncitara berlapis ini dengan tenang dan damai. Seperti telatennya ulat memasuki dunia kepompong. Sebab, ulat begitu yakin, untuk menjadi kupu-kupu, tahapan kepompong yang begitu menyiksa harus dilalui. Sebagai insan yang sementara masuk dalam terungku PSBB dan bui puasa Ramadan, bersafarilah dalam siksaan ini dengan senang dan ramai, karena di pucuk PSBB dan bulan suci Ramadan, ada harapan menjadi manusia baru, lahir sebagai manusia kupu-kupu.

 

Sumber gambar: Picsels

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *