Geliat Literasi di Lilitan Gurita Pandemi

Serbuan pandemi Covid-19, sudah hampir memasuki dua bulan, terhitung sejak bulan Maret  2020. Aku termasuk orang yang cukup patuh pada protokal pemerintah dan MUI. Sudah enam kali tidak jumatan. Tidak ikut salat berjamaah. Menjaga jarak, cuci tangan pakai sabun, pakai masker, dan di rumah saja. Kalaupun harus keluar rumah, sebab keperluan yang amat mendesak, maka sekotah aturan main aku tunaikan.

Artinya apa? Selaku pegiat literasi, yang sering pigi-pigi, keluar kota, khususnya ke Bantaeng, berhenti total. Sepekan sebelum penetapan social distancing, itulah terakhir kali ke Bantaeng. Praktis sekira dua bulan aku tidak ke kampung halamanku. Padahal, sewaktu keadaan normal, nyaris setiap pekan aku menyata di Bantaeng, buat berakhir pekan sekaligus menggeliatkan secara konsisten dan persisten gerakan literasi. Dan, lebih dari itu, bersua dengan sosok sepersaudaraanku, Daeng Litere.

Bagiku, Daeng Litere adalah separuh napas dalam bergiat literasi di Bantaeng. Orang ramai malah menjuluki kami berdua sebagai dua sisi mata uang, yang hanya bernilai kalau kedua sisi itu ada. Uniknya, aku mukim di Makassar, Daeng Litere tetap menetap di Bantaeng. Karenanya, selama masa berada dalam terungku pandemi ini, aku tetap terhubung dengannya. Lewat percakapan WA, video call, dan fasilitas medsos lainnya.

Namun, berlaksa detik yang lalu, Daeng Litere mengejutkanku dengan japrinya, “Pegiat literasi Bantaeng melakukan PSBB.” Hampir saja rambutku tumbuh kembali membaca uritanya. Mataku menatap tajam layar ponsel. Aku membatin, “Sebegitu parahkah kondisi Bantaeng, sehingga harus memberlakukan PSBB. Kayak Makassar saja!” Mungkin karena aku terpaku pada kata PSBB ini. Nantilah aku perhatikan secara seksama dalam tempo selama mungkin, barulah sikap kritisku muncul. Untung saya tidak panik, sebagaimana yang diharapkan Daeng Litere. Rupanya, ia ingin mengerjaiku.

Sebelum Daeng Litere menjelaskan maksud japrinya, sebab aku memang tidak minta penjelasan, tetiba aku melihat unggahan dari seorang sahabat, Rahman Ramlan, Direktur Bonthain Institute. Ia mengunggah beberapa rentetan kegiatan, salah satunya tentang PSBB ini. Ah, aku abaikan dulu Daeng Litere, biar ia penasaran, kenapa aku kayak tidak tertarik dengan urita bernasnya. Aku menduga, pikiran Daeng Litere pasti menganggapku aku belum bisa move on dari rasa kecewa akan tertundanya even literasi, berupa Milad Boetta Ilmoe Ke-10 dan diskusi buku sebagai rangkaiannya.

Aku memang kecewa. Boleh dong kecewa? Kali ini saja. Betapa tidak, dua pekan sebelum pandemi global dideklarasikan, aku dan segenap kawan-kawan pegiat di Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, telah mempersiapkan acara milad. Ibarat permainan sepak bola, sekotahnya sudah siap. Sisa menunggu pluit tanda permainan dimulai. Eh, malah sumpritan pembatalan yang menyambar telinga. Persis, sumpritan pak polisi mengehentikan laju kendaraan. Bukan itu saja. Sederet agenda literasi yang aku rencanakan, maupun rencana pihak lain yang melibatkanku, pun aku batalkan. Aku memilih berdiam di mukim, laiknya ular piton yang baru saja memangsa seekor sapi.

Kembali ke sahabatku, bung Rahman Ramlan, yang lebih sering disapa Rara. Maklum, saat ini musim singkatan nama. Anggap saja sebagai peninggalan SBY. Aku minta penjelasan lebih detail soal PSBB ini. Dijelaskanlah padaku, seperti ini japrinya, “Inisiatif pegiat literasi dengan membuat rak baca PSBB (Posko Suka Baca Buku). Tujuannya  untuk memberi pilihan aktivitas bagi petugas posko yang berjaga 1×24 jam, agar tidak jenuh dan bisa mengisi waktu dengan membaca.” Jadi, sudah jelas bukan? Maksud dari PSBB ini? Posko Suka Baca Buku, bukan Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Supaya lebih oke, aku nukilkan saja percakapanku dengan bung Rara. Buat seru-seruan saja. Aku membalas penjelasannya, dengan kalimat, “Alhamdulillah. Moga menggairahkan.”

Lalu aku bertanya, “Apa saja yang dukung ini bung?

Dijawabnya, “Boetta Ilmoe sebagai penyedia buku. Nanti diminta Forum Anak Butta Toa (FABT) gentian berjaga.”

Kutanya lagi, “Bagaimana dengan komunitas literasi lain?”

Dibalasnya, “Abi dan Jamal yang datang sortir buku dan pajang di sana. Ada saran kak?”

Sekadar info ya? Bung Abi dan Jamal, merupakan dua sejoli pegiat literasi Serambi Tau Macca, Kecamatan Ulu Ere, Bantaeng.

“Sementara sudah oke. Kalau bisa koleksi bukunya ditambah supaya lebih variatif.” Demikian pintaku.

Bung Rara melanjutkan, “Pak Bupati minta diperbanyak buku agama. Kemarin cuman bawa 50 buah.”

Arkian, kutegaskan padanya, “Di Boetta Ilmoe, tepatnya Bank Buku Boetta Ilmoe, lumayan buku agama dan memang paling tidak 100 eks.”

Disahutinya dengan jawaban, ”Siap kak. Mau nambah rak dulu biar ada tempat.”

Setelah itu, bung Rara membagikan link portal berita Indonesiasatu.co.id, agar aku membaca pernyataan Bupati Bantaeng, Ilham Azikin.

Aku penasaran, langsung saja aku memburu link ini, mau tahu apa tanggapan Ilham Azikin. Aku kutipkan saja ya? “Saya rasa kita apresiasi atas apa yang diberikan, artinya teman-teman bisa memanfaatkan waktu di bulan Ramadan ini sambil stay dan senantiasa siaga di posko ini dengan membaca buku.Saya pikir bagus sekali.”

Pada bagian lain dituliskan, “Bupati Bantaeng, Dr. Ilham Azikin menilai sebagai sumbangsih teman-teman pegiat literasi dan Forum Anak Butta Toa, mau berbagi di Posko Gugus Induk Covid-19, Bantaeng ini.” Begitulah beliau menyikapi geliat pegiat literasi, yang sebelumnya juga bung Rara sudah menyatakan di media yang sama, “Menilai sebagai dukungan pada Hari Pendidikan Nasional untuk memberi referensi petugas posko yang berjaga agar tidak jenuh dan bosan.”

Agak larut percakapanku dengan bung Rara baru usai. Sederet foto dan video geliat literasi itu, tak lupa ia sertakan. Aku terharu sekaligus berbahagia. Mengapa? Meskipun lilitan pandemi telah menggurita, para pegiat literasi di Bantaeng, tetap menggeliat. Lilitan  pandemi tidak menyurutkan spirit berbagi. Begitulah sekaum altruis bekerja. Selalu mencari terobosan langsung ke jantung posko. Dan, ini hanyalah salah satunya.

Bertepatan dengan tuntasnya japrianku, tetiba saja japri dari Daeng Litere masuk. Aku tahu, Daeng litere mau bercakap-cakap tentang geliat PSBB ini. Namun, sebelum ia menyeretku dalam pusaran begadang, aku langsung screenshoot sekotah percakapanku dengan bung Rara. Sesudahnya, aku tidur, sebelumnya aku senyapkan ponsel.

Kala aku bangun sahur, aku buka ponsel. Ternyata ada japri dari Daeng Litere. Isinya? Hanya emoticon. Tiga gambar jempol dan lima tanda maaf, serta tujuh rupa senyum mengkilap, yang segera berbenturan dengan kilapan kepalaku.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *