Merayakan Hari Pendidikan Nasional dengan Buku

Kemarin, 02 Mei 2020 kita merayakan kembali Hari Pendidikan Nasional. Di tengah krisis Covid-19, momen Hardiknas kali ini terasa sungguh berbeda, larangan berkumpul menjadikan tak ada upacara peringatan pada momen historis ini. Namun, apakah kita akan membiarkan keadaan mengalahkan kita? Saya rasa TIDAK!

Khusus di Bantaeng, Hardiknas kali ini dirayakan dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya. Yup, dengan peluncuran buku, berjudul  Satu Guru Satu Inovasi, secara live di Youtube. Kegiatan ini terlaksana, hasil dari kolaborasi pelbagai macam pihak: Pemerintah Kabupaten Bantaeng melalui Dinas Pendidikan Kabupaten Bantaeng, KGB Bantaeng, Kampus Guru Cikal, Semua Murid Semua Guru,KGB Nusantara, juga Sekolahmu sebagai penyedia platform live streaming.

Kolaborasi ini menjadikan perayaan menjadi sungguh meriah. Hal ini juga saya kira membuktikan satu hal: pendidikan itu adalah tanggung jawab bersama. Semua pihak mesti kita jadikan sekutu. Termasuk anak, orangtua, juga lingkungan. Saya percaya, pendidikan butuh ruang, butuh orang-orang yang peduli. Dan kolaborasi adalah kuncinya.

Dalam peluncuran buku tersebut, hadir pula para narasumber dengan berbagai latar belakang: Bupati Bantaeng, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bantaeng, Rektor UNM dan Head of Sekolahmu—Najeela Shihab, dan dimoderatori oleh Usman Djabbar yang juga selaku Ketua KGB Nusantara. Kesemuanya, memberikan pandangan perihal peluncuran buku, juga masa depan pendidikan Indonesia. Sungguh berkelas saya rasa. Perasaan haru menyeruak dalam dada. Tak mengherankan jika sehari sebelumnya, dalam simulasi dengan guru-guru, Pak Kadis meneteskan air matanya. Beliau sungguh terharu, tak menyangka bahwa di tengah segala kesulitan yang kita hadapi sekarang ini, semangat perubahan itu tetap ada, membara, dan berlipat ganda. Beliau bangga pada guru-guru.

Memangnya apa sih isi buku itu? Kok ramai sekali.

Buku ini berisi catatan praktik baik/inovasi yang telah dilakukan dan dituliskan oleh guru-guru. Inovasi yang berasaskan pada fakta konkrit di lapangan. Guru melihat, membaca dan merefleksikan diri mereka, bagaimana mereka mengajar selama ini. Apa yang kurang mereka tambah, yang salah diperbaiki, yang jauh mereka dekatkan. Muaranya adalah, bagaimana menjadikan proses belajar mengajar sebagai sesuatu yang memiliki makna. Bukankah yang bermakna selalu melekat di hati dan pikiran?

Tak heran jika buku ini amat kaya. Saya ambil satu contoh: Ibu Hasniati, salah satu guru di perkotaan. Dalam salah satu materinya mengajak anak keluar kelas, menjelajah. Mereka mengunjungi berbagai macam tempat: kantor PDAM, laundry, penjual bakso, petani dan peternak. Mereka belajar tentang manfaat air bagi hewan, tumbuhan, dan manusia.

Tatkala bertemu petani, anak-anak kemudian tahu manfaat air bagi irigasi pertanian, ketika bertemu peternak, anak-anak masuk kandang sapi dan memberi minum sapi. Begitu seterusnya. dalam setiap jejak yang mereka datangi, murid melihat air dari kacamata setiap orang yang ditemuinya.

“Kenapa itu air ledeng akhir-akhir ini sering mati, Pak.” Begitu tanya salah satu murid. Dijelaskanlah alasan-alasan teknisnya hingga anak kemudian tahu penyebabnya. Hal menarik terjadi dalam perjalanan pulang mereka. Di tengah perjalanan, salah seorang murid melihat keran terbuka dan air terbuang. Secara spontan anak tersebut berlari mematikan keran tersebut.

Kita tak bisa membaca pikiran anak tersebut kala itu. Namun, seyogianya memang, pengetahuan mesti membuahkan kesadaran berbuat. Pun sebaliknya, kesadaran yang baik mesti dilandasi kemampuan berpikir yang kompeten pula. Keduanya terkait, saling menyempurnakan—Kohesif dan komplementatif.

Di kemudian hari, saya kemudian mendengar kabar, bahwa saat itu Bu Hasni sedang kurang enak badan. Namun, karena semangat keguruan yang membuncah, beliau tetap gigih mendampingi anak-anak belajar. Saya kagum. Semoga saya bisa mengikuti jejak beliau.

***

Dalam catatan ini pula, saya ingin sedikit berbagi ihwal jalannya peluncuran tersebut. Apa yang saya akan saya tuliskan ini, adalah hasil penafsiran saya pribadi terhadap pandangan-pandangan yang diutarakan para narasumber. Untuk versi aslinya saya kira bisa teman-teman nonton langsung di channel youtube Sekolahmu. Ingat, Sekolahmu ya, bukan Atta Halilintar. Itu salah server namanya.

Bapak Ilham Azikin, selaku Bupati Bantaeng memaparkan—sebagaimana yang nukil dari fanspage beliau—Peluncuruan  Buku Satu Guru Satu Inovasi adalah terobosan yang diinisiasi oleh Pemerintah Kabupaten Bantaeng melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, menjawab berbagai fakta atau pencapaian murid-murid kita. Dengan inovasi, maka diharapkan cara melayani, strategi mengajar turut berubah. Dengan inovasi, maka guru diharapkan berpusat pada tiga dimensi: konsisten dengan tujuan, mandiri dalam menemukan cara serta tanggap melakukan refleksi.

Saya kemudian ingat beberapa bulan kebelakang. Dalam sebuah kegiatan KGB, Pak Bupati ikut lesehan dengan kami kala itu, dengan jeans dan kaos polosnya (saat itu rasanya saya kalah milenial dengan beliau) mengingatkan kami: inovasi ini tak hendak mengaminkan program merdeka belajar yang digagas Mas Nadiem, itu persoalan kesekian. Melampaui itu, saya kira ini memang sebuah kebutuhan, tuntutan zaman. Peringkat PISA kita yang anjlok saya kira menjadi bukti, bahwa reformasi di ruang-ruang kelas mesti dilakukan. Dan salah satu yang beliau tawarkan kala itu adalah program Satu Guru Satu Inovasi.

Selanjutnya, Prof. Husain Syam selaku Rektor UNM dalam pendakuan beliau, mengatakan bahwa di momen Hardiknas ini, apa yang diinisiasi oleh Pemerintah Kabupaten Bantaeng sungguh inspiratif. Patut diketahui bahwa Indonesia selama ini terus belajar dan tidak pernah berhenti melakukan exercise pencarian model pendidikan untuk menemukan formula penciptaan guru yang ideal dan unggul.

Saya mengamini apa yang disampaikan oleh Pak Rektor, belajar mesti terus digalakkan, pencarian mesti terus dilakukan. Namun, saya menekankan pada diri saya pribadi—yang juga termasuk guru. bahwasanya menjadi guru yang ideal adalah kerja-kerja sepanjang hayat. Biarlah guru ideal itu tetap menjadi cita-cita saya dan rekan-rekan cikgu yang lain, agar kami senantiasa belajar dan mengayakan diri. Kelak, sejarah yang akan menghakimi kita semua. Apakah cita-cita itu sudah tercapai atau tidak.

Narasumber ketiga Mbak Najeela Shihab menjelaskan bahwa pendidikan Indonesia selama ini sangat kering inspirasi, kekurangan contoh solutif. Mbak Ela juga mengingatkan, bahwa perubahan pendidikan itu bukan tanggung jawab Pak Bupati saja. Melainkan juga tanggung jawab guru-guru, karena merekalah para penggerak yang memulai perubahan nyata di ruang kelasnya masing-masing. Inilah esensi dari kemerdekaan dan rasa berdaya di dalam jiwa kita. Guru tidak bisa terus menunggu perubahan kebijakan, kita harus mandiri dan berani melakukan perubahan.

Saya kira, guru memang mesti memiliki kemandirian. Agar supaya tak terombang ambing kebijakan. Kita tahu, adagium populer di Indonesia, “Ganti menteri ganti kurikulum”. Bukan kita mau membelot dari kebijakan yang ada. Namun, konteksnya memang harus disesuikan dengan sekolah tempat guru berada. Guru adalah pelaksana, dan mereka lebih tahu kondisi yang ada di sekolah.

Pak Haris, Kadis Dikbud Bantaeng, selaku narasumber terakhir membocorkan ihwal alasan riil mengapa terobosan ini lahir. Dari penuturan beliau, hal ini berawal dari keresahan Bapak Bupati yang melihat kekakuan dalam ruang kelas. Ada relasi yang kurang nyaman, terbangun antara guru dan murid.

Pak Bupati juga menginginkan bahwa semua murid memperoleh pelayanan yang sama. Kasadnya, beliau tidak mau ada label sekolah unggulan dan non unggulan. Tidak boleh ada sekolah ter- dari yang lain. Pendidikan egaliter, pendidikan untuk semua. Tanpa diskriminasi.

Dari situlah, Pak Kadis kemudian diutus ke Kampus Guru Cikal untuk melakukan ‘study’ bersama dengan Kak Usman. Sepulangnya, diramulah formula untuk mewujudkan harapan-harapan tersebut.

***

Saya kira tulisan ini sudah terlalu panjang. Capek ngetiknya, saya juga gak mau kamu capek membacanya. Nanti kamu pikir saya gak peduli lagi. Laki-laki emang selalu salah ya. Nasib, nasib.

Saya kemudian ingin menutup tulisan ini dengan mengutip pernyataan dari Bapak Bupati yang juga diamini oleh Bu Ela, bahwasanya inovasi tidak boleh hanya ada di kepala kita sendiri. Inovasi harus dibagikan, disebarluaskan, dan diketahui banyak orang, agar supaya bisa menginspirasi yang lain. Inovasi hanya berguna jika digunakan orang lain. Karenanya keberadaan buku ini sangat tepat.

Jika berbagi kebahagian itu membuat kebahagian bertambah, berbagi kesedihan membuat kesedihan berkurang, berbagi inovasi akan membuatnya berlipat ganda, beranak pinak. Satu-satunya hal yang menjadi buruk bila dibagikan hanyalah virus corona. Sisanya aman. Bagikanlah.

Akhirnya, dengan segala ketidaksempurnaannya, saya kira lahirnya buku ini ingin menegaskan satu hal. Bahwa semangat perubahan itu ada dan membara. Kita sudah selangkah lebih maju, selangkah lebih baik. Dan  bukankah tindakan kecil selalu lebih baik dibandingkan niatan sebesar apa pun?

Selamat Hari Pendidikan Nasional.

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *