Kaukah Itu Tuan yang Tengger di Halaman Koran
Kaukah itu tuan, yang tengger di halaman koran saat fajar merekah
di sungai chai. Dan rengkuh nikmat dari sisa-sisa malam belum menguap,
kau telah menjelma kabut turun merebut embun
di ranting-ranting murbei. Sementara sepasang phoenix
tengah berahi,
di ranjang kau terbuka seperti halaman-halaman koran.
Menganga umpama luka di ujung benua.
Sebagaimana leluhurmu bangsa mongol berpesta arak di tigris.
Bola mata mereka yang api adalah unggun menjilat rak-rak buku,
lektur, dan puisi, jadi abu.
Dan ketika pagi kau tak lagi seorang bocah merangkak menuju
jarum jam dan permainan tanpa henti.
Kau seorang dewasa. Bahkan pergi ke kuil sendiri mendengar mimpi seorang biksu
:tentang tanah rempah. Serupa tanah perjanjian. Tanah kudus. Barangkali di sana Abraham menggali tiga sumur, menanam zaitun dan anggur?
Kau bayangkan wajah kekasih? Maka kudatangi sebuah kedai di sana seorang tabib mengajari rahasia lelaki:
“Berlayarlah ke Mi-li-ki dan petik ramuan itu,” katanya
seketika angin membusur anak panah, kau menghilang, di antara bulan sepotong semangka, dan rasi cygnus berpenjar-penjar, benderang bukit.
Di atas sana langit lapang membentang berlapis-lapis sutra dan betari adalah perempuan hamil sebentar-sebentar muntah bunga-bunga api dan helaian rambut gelombang.
Kaukah itu tuan, yang bernyali berlayar ke Mi-li-ki merampok cengkih dan pala: sebuah ramuan pemikat hati dan bahan dasar tembok sepenjang 10.000 Li. Atau bahan pengharum mulut kaum bangsawan Mamluk, Turki Ottoman, Bizantium, Venesia, dan Genoa.
Setiba di sana, tuan. Saban hari adalah neraka jatuh di bumi. Dan kau sepakati papalele dengan mata pisau lalu dacing berderak-derak
Dan kau pulang membawa lembar-lembar caixas, jadi mahar yang kupakai melamar seorang putri.
Kaukah itu tua, yang tengger di halaman koran setelah kau binasakan kami sebagaimana debu. Hanyalah serbuk halus ditiup angin. Lenyap.
2019
Kami Kulum Sejumlah Malapetaka
:traktat breda tahun 1667
Ketamakan semacam apa yang menganga di rongga dada,
sehingga kalian menyuruh kami berlayar ke Run?
Kami padam kebahagiaan dan kami kubur pada tubir paling dalam.
Kami tinggalkan gadis-gadis dan anggur di bar,
turun ke laut. Melayari armada ke arah entah.
Melintasi marabahaya.
Saat angin menyiut dari arah timur laut, riak berombak dan tumbuh kami penuh garam dan tiram.
Sungguh malang. Run yang kalian sanjung itu, hanyalah noktah: setumpuk karang vulkanik,
yang tipis penaka pisau bertenaga mengiris-iris badan kapal
menjadi puing-puing.
Sebagaimana dada kami yang terlanjur remuk.
Ketika kami tiba di pantai, sejumput bala demi bala kami kulum bak permen. Barangkali kalian tidak berpikir,
bahwa sebuah pulau harta karun kerap menyediakan sejumlah malapetaka bagi sesiapa saja yang datang melempar sauh?
Di atas geladak kami lihat matahari sudah lenyap. Persis kecut nyali
kami. Tetapi tidak dengan orang-orang itu,
mereka simpan terik di dada. Mereka suka minum tuak nira. Para lelaki menabuh tifa meniup seruling dan gadis-gadis menari berputar-putar serupa beliung—beginilah kenyataan hidup orang-orang berkilat,
keras, berani dan berdarah.
Tetapi, jauh tempo kalian sudah menyusun berbagai cara bertahan hidup dan tinggal berlama-lama di sana
:kami sayat tubuh-tubuh pohon mayang. Dan kami perintahkan mereka memahat karang jadi kastel.
Meskipun kami hidup dalam bahaya, tetapi bagi kalian sesenduk penuh pala diminum sebelum tidur berhasil membuat selangkangan seorang gadis yang belum datang bulan, basah.
Bagi kalian tidak penting nyawa seorang budak atau orang pribumi. Asalkan kami membawa pulang pala mengobati seorang pelacur yang terserang wabah sampar.
Atau demi memenuhi hasrat berahi, kalian menggadaikan Manhattan dengan Run. Entah berapa nyawa kami yang lenyap. Atau berapa orang dari mereka yang kami bunuh?
Ketamakan semacam apa yang mengangah sehingga kalian tiada belas kasih di rongga dada?
2019
Waktu Tiba-tiba Membeku
Waktu tiba-tiba membeku dalam arloji. Dan kita, tidak lagi mendengar deru ombak.
Jangan bersedih, kekasih.
Di angkasa seekor burung terbang menggaris peta. Sedang di ufuk seorang bala membelah laut, tiba di sini.
“Gold, glory, gospel” sorak mereka dalam dialek yang tak mungkin
kita mengerti.
Waktu tiba-tiba membeku saat orang asing mengambil segala, kita kehilangan seluruh.
2019
Gambar: https://www.washingtonpost.com/
Ishak R. Boufakar/Lelaki Laut lahir di Kian Darat, 23 Juli 1992. Puisi-puisinya termuat dalam Antologi Puisi 250 Cinta Terpendam (2016). Tinggal di Ambon dan bergiat di KLPI Makassar.