Dan Ustaz Pun Nganggur

Sungguh, esai ini, saya ingin dedahkan sejak bulan Ramadan memulai safarnya. Asumsi saya dalam bentuk tanya, sederhana saja, bagaimana nasib para ustaz di bulan suci yang diterungku oleh pandemi Covid-19? Namun, entah karena apa, dorongan untuk membabarkannya tertunda berkali-kali. Hingga sesosok ustaz memantik hasrat saya. Satu tayangan video dari  seorang ustaz yang curhat, berkeluh kesah, menyindir, menabalkan diri sebagai ustaz sahih, sampai harus jual parfum, buat mengatasi penghasilannya dan membiayai dakwahnya.

Lapik pikir saya akan pertanyaan itu, muncul sejak pandemi dideklarasikan dan meminta beribadah di rumah saja. Sengatan perdana imbauan itu, amat pedih tatkala Jumat pertama ditiadakan. Banyak yang meradang. Pengurus masjid berbalah, antara mau salat Jumat atau tidak. Jemaah ambyar. Khatib gelisah. Paling tidak, itu yang terjadi di dua masjid dekat mukim saya. Pengurus telah menabalkan, tak ada salat Jumat, tapi lima menit sebelum waktu Duhur, kembali pengumunan dilantangkan, ada salat Jumat.

Jumat lalu, merupakan Jumat ketujuh, saya tidak berjumat. Pun tiada salat berjemaah di masjid. Begitu pula, tatkala memasuki bulan suci Ramadan, masjid dekat mukim, tidak menyelenggarakan amaliah Ramadan. Paket salat Tarwih dan ceramahnya, serta ceramah usai salat Subuh pun tak ada. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, ketika memasuki Ramadan, inilah bulan tersibuk bagi pengurus masjid. Mulai dari urusan buka puasa, penceramah, dan ZIS, serta Idul Fitri.

***

Sebagai salah seorang pengurus masjid, pada seksi dakwah, saya selalu ikut menyibukkan diri. Terutama urusan penceramah tarwih dan subuh. Bukan saja mempersiapkan para ustaz yang akan berceramah, pun mempersiapkan diri sebagai cadangan, manakala ustaz tidak datang. Menjadi penceramah pengganti, ustaz cadangan. Dan, inilah rahasianya, kenapa ada juga oknum yang sering memanggil saya ustaz, termasuk amat telaten menyapa di medsos. Memang saya ustaz, tapi ustas cadangan. Bak pemain bola, lebih sering duduk di bangku cadangan. Saya bukan rotan, lebih pas sebagai akar. Meski begitu terkadang tiada rotan, akar pun jadi. Apatah lagi, kalau akar lebih bagus dari rotan.

Mungkin lebih elok kalau saya petakan dulu tingkatan-tingkatan ustaz, dalam kaitannya dengan urusan ceramah agama sebagai profesinya. Pemetaan ini hanya berdasarkan pengalaman sebagai pengurus masjid di seksi dakwah. Pertama, ustaz yang memang telah menjadikan ceramah agama sebagai profesinya. Mereka yang rajin mengisi ceramah agama, apa pun kebutuhan umat atas ritus keberagamaannya.

Kedua, ustaz yang menjadikan aktivitas ceramah agama sebagai profesi sampingan. Atau sebaliknya, profesi sebagai ustaz, tapi punya pekerjaan lain. Ketiga, ustaz yang tidak menjadikan ceramah agama sebagai profesi, punya sumber penghasilan lain, tapi sering naik mimbar. Inilah ustaz cadangan. Ustaz volunter atau berwajah sukarelawan.

***

Sekotah model ustaz itu, apa pun tingkatannya, selalu diberikan ganjaran, berupa uang pembinaan jemaah masjid, atau tanda terimakasih dari penghelat acara. Selain bertingkat-tingkat bidang profesionalnya, pun berbeda-beda pula ketenarannya. Makin tenar, makin tinggi pula bayarannya. Miriplah bintang sepak bola. Bila pemain bintang, mahal pula bayarannya. Jika ustaznya amat kondang, maka tinggi pula tanda terimakasihnya, isi amplopnya.

Arkian, menjadi penceramah agama sudah merupakan profesi. Ustaz profesional. Aktivitas yang profesional ini dikelalola dengan manajemen yang canggih. Tidak sedikit yayasan bertebaran, didirikan untuk mengamankan aktivitas profesional ini. Tak salah manakala ada yang menilai, kalau profesi penceramah agama, selaku ustaz, telah menjadi bagian dari industri. Sebentuk industri keberagamaan.

Sebagai bagian dari industri, pengelolaannya merambah pada seluruh aspek hidup dan kehidupan. Hidup yang dimulai dari kelahiran dan berakhir pada kematian, profesi ustaz ikut menghidu jarak tempuh hidup di kehidupan ini. Olehnya, tak aneh saat agama menjadi bagian dari industri. Islam dikapitalisasi, atau kapital diislamisasi, kayaknya sama saja.

***

Ah, terlalu luas cakupan telaahnya. Saya ambil saja perumpamaan di masjid dekat rumah saya. Tarif yang ditetapkan oleh pengurus: Khatib Jumat Rp. 300.000. Ceramah tarwih, Rp. 300.000, dan ceramah subuh Rp. 200.000, dan khatib Idul Fitri, paling rendah Rp. 1000.000. Tarif penceramah semacam ini, tergolong tarif masjid menengah ke bawah. Kalau dalam sepak bola, bolehlah disetarakan sebagai klub sepak bola papan tengah.

Bayangkanlah, seorang yang profesinya sebagai ustaz, jika setiap hari berceramah tarwih dan subuh, maka selama Ramadan, paling tidak akan menuai pendapatan, sejumlah Rp. 15.000.000. Belum lagi bonus lainnya, semisal ceramah lepas, yang masih terkait dengan amaliah Ramadan. Semisal ceramah pengantar buka puasa, tarwih keliling, dan sederet hajatan lainnya.

Sebenarnya, saya ingin mengusulkan pada pengurus masjid, agar semua ustaz yang telah terjadwal sebagai khatib Jumat, penceramah tarwih dan subuh, pembawa hikmah Nuzul Quran, dan khatib Idul Fitri, tetap diberikan uang pembinaan jemaah. Toh mereka sudah terdaftar dan punya jadwal. Tidak serumit daftar kisruh penerima BLT. Cuman saya urungkan, sebab pemasukan masjid dari jemaah tidak ada. Meskipun saldo kas masih relevan.

***

Lebih dari itu, niat saya tahan sekuat-kuatnya. Saya tak ingin mengajukan usulan itu kepada pengurus, meskipun sekadar berbisik. Apatah lagi bisikan dari pembisik jauh lebih bertuah. Pasalnya, nama saya ada di daftar penceramah tersebut. Waima, pengurus masjid sudah pada tahu, bahwa selama saya menjadi penceramah di masjid dekat mukim, baik sebagai penceramah reguler, maupun pengganti, amplopnya tetap saya ambil, isinya saya masukkan lagi ke kas masjid.

Nah, tetiba saja semua sumber penghasilan itu hilang. Bagi seorang ustaz profesional, tak punya usaha sampingan, tiada pekerjaan lain, mungkin amat terasa serbuan pandemi ini. Waima, pastilah mereka paling tabah menghadapinya, sebab merekalah yang paling terdepan menasehatkannya pada khalayak. Agar sabar dan tabah menghadapi cobaan. Innallaaha maassabiriin, sesungguhnya Allah bersama orang-orang sabar.

Beruntunglah seorang ustaz, semacam di video itu, punya usaha sampingan, yang masih bisa jual parfum, yang biasanya dijual normal Rp. 200.000, tapi karena pandemi ini menguncitara di rumah, ia jual Rp. 300.000. Lalu, bagaimana dengan sehimpunan ustaz yang betul-betul profesional, hanya menjadi penceramah agama sebagai sumber penghasilannya? Nganggur bukan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *