Bubur Manado dan Menjadi Imam Salat Saat PSBB

Ramadan tahun ini nantinya adalah Ramadan yang akan selalu diingat atau dikenang. Bukan karena tahunnya berangka cantik, 2020 Masehi atau 1441 Hijriah, tetapi karena banyak ”hal-hal cantik” khas Ramadan yang tidak bisa disaksikan, atau dilakukan tahun ini, terutama yang berlabel kebersamaan. Sebutlah misalnya, ngabuburit bareng, buka puasa bersama, dan tarawih berjemaah di masjid.

Untuk orang bertipe melankolis, akan baper. Dia akan merasa nostalgia Ramadannya terkudeta. Lockdown, PSBB, social distancing, stay at home adalah deretan kata yang menjadi sasaran untuk “dikata-katai”. Dia menjadikan Covid-19 sebagai tersangka utama, patut diadili, dan dihukum dengan sanksi maksimal. Betapa tidak, karena tak bisa ber-ramadan seperti dulu lagi, katanya … sakitnya tuh di sini …!

Tetapi buat apa baper dan menyesali keadaan yang sudah “mengada” saat ini? Kehadiran corona sudah dalam kemasan takdir. Respon para pakar telah menguar. Prosedur standar penanganan pun telah dimaklumatkan oleh pemerintah. Kini saatnya menyiasati bagaimana “sakitnya tuh di sini” bisa  menjadi ” senangnya, oh di sini”. Ibarat kata ” nasi sudah jadi bubur”. Tak perlu lagi menggerutui buburnya. Buruan tambahkan daun kelor secukupnya, jadi, deh “bubur manado”. Mau lebih sip lagi, campurkan ikan teri kering, maka jadilah “bubur mana (lagi) dong…”. Uenaak, kan?

Intinya, seperti kata Dahlan Iskan, sebagai masyarakat, informasi dan pengetahuan kita tentang virus corona sudah cukup. Media sudah masif mewartakannya. Sekarang saatnya berfikir bagaimana roda kehidupan tetap berputar di dalam situasi yang terlanjur seperti ini.

Perihal ibadah Ramadan, terutama tarawih di masjid, yang tidak lagi se-wah tahun sebelumnya, atau bahkan dianjurkan untuk distop, itu bukanlah sesuatu yang harus dirasakan sebagai “mencederai” kualitas iman atau “menghambarkan aroma” ketakwaan. Untuk situasi negeri saat ini, menurut para ulama, ajaran agama telah memberi celah via kaidah fiqih: ” mencegah mudharat lebih utama daripada meraih manfaat “. Dan salah satu celah untuk mencegah mudharat, ya, salat tarawih berjamaah di rumah. Demi menggunting temali penularan Covid-19.

Jika memakai kaidah “bubur manado” di atas, salat berjamaah di rumah bisa menorehkan beberapa “rekor enak” yang baru, lho. Terutama bagi Sang Panglima keluarga yang berstatus  suami “garis miring” bapaknya anak-anak. Setelah sekian (puluh) tahun berlalu, tibalah saatnya pembuktian. Pembuktian seorang suami kepada isterinya akan  lontaran kata-kata “masterpiece”-nya dulu. Duluu..

Misalnya, dulu, di hadapan calon istrinya, dengan mata dibuat sayu, ala-ala Rahul di hadapan Anjali, dia pernah berkata: ” Yang… jadikan aku imam dalam hidupmu…”

Ataukah di hadapan penghulu, dengan dada gemuruh dan bibir kemarau, ber-ijab kabul: “… dengan seperangkat alat shalat dibayar cash…!

Nah, dalam rangka stay at home melalui tarawih berjamaah di rumah, seorang suami bisa membuktikan kata-kata hipnotisnya itu.

Saatnya suami harus berani berdiri di depan. Saatnya jadi imam salat di rumah. Walau itu harus ditempuh dengan susah payah. Menggali kembali memori saat mengaji kampung dan menapaktilasi hafalan the best Juz Amma dengan surah favorit “trio Qul..” dan tri ayat pamungkas Surah Al-kautsar.

Setidaknya dengan begini, suami akan terhindar dari sindiran: ” katanya ingin jadi imam dalam hidupku, lha jadi imam shalat saja tak bisa…”

Begitupun ikrar suami di hadapan penghulu. Seperangkat alat salat yang diberikan kepada istri itu sebagai simbol, bahwa suami akan membimbing istri untuk senantiasa melaksanakan salat plus jadi imam salatnya. Tidak lupa pula mencukupi perangkat salatnya seperti baju, sarung, mukenah, sajadah, dan tasbih. Syukur-syukur, kalau ternyata selain seperangkat alat salat, di kemudian hari sang suami juga mampu membangunkan tempat salat: baik itu berupa masjid atau mushalla dengan nama isterinya  (hehehe ). Suami top itu. Yeah.

Di program stay at home ini, bisa jadi merupakan  pengalaman indah pertama seorang suami betul-betul menjadi imam bagi keluarga. Bukan hanya sebagai imam di sektor ekonomi dan keamanan keluarga, tetapi juga imam pada salat berjamaah di rumah.

Dengan plot seperti di atas, saat stay at home, ibadah di rumah akan menemukan “santannya”  di tengah ampas situasi saat ini. Akan menuai harapan di tengah terpaan. Akan membuka pikiran positif di tengah suasana negatif.

Ya, seperti nasi yang kadung jadi bubur. Tak usah kabur. Cukup tambahkan daun kelor dan ikan kering, jadi tuh bubur manado yang nikmat. Wallahu a’lam bisshawab.


Sumber gambar: Indoprogress.com

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221