Mencari Humanisme Puasa dari wajah Emmanuel Levinas sampai eksistensialisme Soren A. Kierkegaard

Sepekan lalu, ibadah puasa pada bulan Ramadan di tahun ini menginjak putaran kedua. Kondisi berpuasa Ramadan kali ini agak berbeda dengan kebiasaan, atau rutinitas puasa di tahun-tahun sebelumnya. Di tahun sebelumnya, ada sebagian orang yang menghabiskan bulan Ramadan dengan menjadi dai kondang keliling dari masjid ke masjid menyiarkan agama Islam dengan penuh kekhusyukan, ada yang menghabiskan bulan Ramadan dengan menjadi imam shalat tarawih, yang memang ibadah ini khas milik bulan Ramadan, dan juga ada yang sibuk berpindah tempat kajian dari satu tempat ke tempat yang lain.

Akan tetapi, pada tahun ini, rutinitas yang telah disebutkan di atas, kini tidak dapat dilakukan seperti biasanya akibat pandemi Covid-19 yang mendera sejak awal Januari di tahun ini. Memang, dampak yang diakibatkan oleh Covid-19 ini sedikit banyak membuat kita kelimpungan. Walhasil, demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19, selain mengerahkan kinerja medis semaksimal mungkin, pemerintah memberlakukan peraturan baru, yakni PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Menjalankan ibadah puasa #dirumahaja membuat sebagian orang yang melakukannya cepat diserang oleh rasa bosan karena melakukan aktivitas yang sangat-sangat monoton. Tanpa aktivitas yang mengharuskan untuk berbaur dikeramaian membuat rasa bosan tersebut semakin menjadi-jadi.

Akan tetapi, demi kelancaran kehidupan kedepannya, terkadang mundur selangkah untuk maju dua langkah ke depan sangat diperlukan untuk kondisi saat ini. Walhasil, kita dibuat “terpaksa” untuk mencintai keadaan seperti ini dan sebisa mungkin menikmatinya tanpa beban pikiran yang negatif. Selama masa pandemi, menjaga keutuhan berpikir positif dan objektif sangat diperlukan untuk menghalau narasi-narasi yang tidak bertanggung jawab untuk memenuhi isi kepala. Dan salah satu cara efektif untuk menghalau terjadinya peristiwa tersebut adalah membaca buku.

Adalah buku Emmanuel Levinas dan Soren A. Kierkegaard anggitan Thomas Hidya Tjaya yang menemani saya di akhir pekan demi menjaga kewarasan disaat suasana yang “semi-waras” seperti ini dan juga tentunya untuk menghalau narasi-narasi tidak bertanggung jawab untuk masuk ke dalam akal sehat.

Dua buah buku serial pemikiran ini ditulis oleh Thomas Hidya, seorang dosen filsafat di salah satu kampus di ibukota yang diterbitkan oleh Kepustakaan Gramedia Populer. Awal saya berkenalan dengan dua buku spektakuler tersebut; Emmanuel Levinas: Enigma di wajah orang lain dan Kierkegaard: Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, bermulai dari ketika saya melihat pamflet diskusi yang diadakan oleh Kalaliterasi. Akan tetapi karena “kesoksibukan” yang mendera, akhirnya saya kehilangan momentum emas untuk menjalin keakraban dengan “isi kepala”  Levinas dan  Kierkegaard. Tak patah arang, saya menabung guna membayar mahar isi kepala dua kanda tersebut melalui salah satu toko buku via online.

Pemikiran pertama yang akan dipaparkan secara sederhana adalah pemikiran Emmanuel Levinas, seorang filosof kelahiran Rusia dan beraliran fenomenologi. Levinas lahir pada tanggal 12 Januari 1906 di Lithuania. Sejak kecil Levinas hidup dalam bayang-bayang Holocaust yang sedang gencar dilaksanan oleh Nazi. Peristiwa Holocaust tersebut bahkan merebut hampir seluruh keluarga besarnya dan mengantarkannya ke gerbang kematian di tangan sang algojo suruhan Hitler.

Oleh karenanya, peristiwa Holocaust sedikit banyak mempengaruhi isi filsafat yang dikemukakan oleh Levinas. Selain Holocaust, Edmund Husserl, salah seorang filosof fenomenologi senior juga turut serta Martin Heidegger yang memperkaya kandungan filsafat Levinas. Atas sumbangan pengetahuan kedua filosof besar tersebut, Levinas mengemukakan filsafatnya yang membahas tentang korelasi antara inter-subjektivitas dan mengungkap makna yang sesungguhnya atas wajah orang lain (The Other).

Menurut Levinas, korelasi antara inter-subjektivitas dibangun atas etika (The Ethical), akan tetapi etika yang maksud oleh Levinas bukan etika moril yang seperti biasanya. Melainkan pertemuan yang konkret antara Aku (I) dan Yang Lain (The Other). Yang Etik menurut Levinas adalah ketika Sang Aku membiarkan Aku diinterupsi oleh Yang Lain—tidak hanya mendominasi Yang Lain.

Kemudian, Levinas mengungkap hakikat akan wajah seseorang. Lagi-lagi, Levinas mengartikan wajah bukan dalam artian yang sebenarnya, atau tampilan fisik, melainkan wajah (The Face) dalam arti keseluruhan cara yang digunakan oleh orang untuk menunjukkan dirinya kepada kita. Karena terlalu “mengistimewakan” Yang Lain, Levinas disebut sebagai pejuang humanisme bagi orang lain, bukan humanisme untuk diri sendiri.

Berkebalikan dengan Levinas, Kierkegaard juga mengusung humanisme, tapi humanisme dalam bentuk pergulatan menjadi diri sendiri. Soren A. Kierkegaard, seorang filosof yang lahir di Denmark, 5 Mei 1814. Kierkegaard adalah filosof yang terkenal dengan sebutan filosof yang sangat melankolis dengan luapan emosi yang meledak-ledak dan konon ia dikabarkan memiliki punuk dan kakinya tidak sejajar sehingga menjadi pincang.

Dalam membangun kerangka filsafatnya, Kierkegaard sangat terpengaruh oleh pemikiran Hegel bahkan mengkritisinya dengan sangat keras. Tiga proyek utama pemikiran Hegel yang ditentang habis-habisan oleh Kierkegaard; Perdamaian dialektika subyek-objek, filsafat sebagai Roh Absolut dan fungsi filsafat, yang menjadi inti pemikiran filsafatnya.

Selain pemikiran Hegel yang menjadi dapur landasan pacu filsafatnya, Kierkegaard dalam memperjuangkan eksistensi otentik mengkritik keras berhala kepalsuan dan publik. Menurut Kierkegaard, keduanya adalah tulang yang perlu disingkirkan dari seseorang. Berhala kepalsuan dikritik karena hanya menampilkan sisi normatif dalam seseorang dan seakan-akan menghilangkan sisi negatif lainnya yang menurut Kierkegaar keduanya adalah yang mutlak dan tidak perlu untuk ditutup-tutupi. Publik pun tidak luput dari kritikan Kierkegaard. Menurutnya publik hanya menampilkan realitas-semu belaka dan bertentangan dengan ide keunikan pribadi.

Setelah membahas secara ringkas pemikiran Levinas dan Kierkegaard, perlu kiranya untuk diamalkan sebagai penambah asupan gizi kognisi. Mendalami wajah ala Levinas, membuat kita paham relasi yang sebenarnya antara kita dengan yang lain. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa spirit berbagi kepada sesama di bulan Ramadan ini merupakan salah satu model realisasi filsafat Levinas. Begitupun kritik terhadap publik ala Kierkegaard perlu dijadikan sebagai bahan refleksi diri di masa pandemi, sudah sejauh mana kita menghargai diri kita sebagai pribadi yang unik. Ramadan kali ini ada baiknya digunakan sebagai ajang memuhasabah diri sendiri, sudah sejauh mana kita menghargai orang lain dan diri sendiri?


Sumber gambar: bukuprogresif.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *