Cukup sudah dua bulan masa-masa stay at home diberlakukan. Khususnya kami yang telah memulainya sejak awal imbauan ini diserukan. Tak mudah tentunya melakukan sesuatu yang tak biasa dilakukan pada masa-masa sebelumnya. Ada kecanggungan, kekakuan, perasaan tak nyaman, bahkan tentu saja ketidaksiapan menjalaninya. Tetapi apa boleh buat, suka atau tidak, siap atau tidak, kita semua harus mematuhinya jika inginkan keselamatan. Yang dampak positifnya bukan saja untuk diri dan keluarga melainkan juga untuk orang-orang dalam skala yang lebih luas.
Pekan pertama dan kedua, kami memilih beradaptasi dengan mulai menjalaninya dengan rileks, dengan cara menghibur diri, bernyanyi, leyeh-leyeh, ngumpul santai bersama anak-anak sambil ngobrol sesukanya. Tak ada larangan melakukan ini dan menuntut melakukan itu. Kecuali untuk urusan kebersihan tubuh dan pakaian, tentu tak tersisa kompromi. Pertimbangan kami adalah, bahwa menjaga perasaan setiap anggota keluarga adalah yang terpenting. Beruntunnya hantaman musibah yang mesti kita hadapi tentu sangat berpengaruh pada aspek psikologis dan mental setiap orang. Ketakutan dan kecemasan yang bagaikan gelombang datang menghampiri dinding-dinding rumah kita, sangat besar pengaruhnya pada pikiran dan jiwa kita masing-masing.
Bisa jadi bukan corona yang membunuh seseorang, melainkan ketakutan dan kecemasan yang berlebihanlah penyebab terbesarnya. Kondisi yang lazim kita kenal dengan istilah psikosomatis. Itulah mengapa menyiapkan hati dan jiwa untuk menerima segala yang tak disenangi, yang kehadirannya tak diharapkan, bahkan mengancam nyawa, menjadi hal penting dan utama untuk dilakukan. Sehingga benar-benar perlu diberikan perhatian serius untuk menerapi bagian ini. Namun jalan menuju tempat ini tentunya tak mudah, apatah lagi jika sebelumnya kita tumbuh dalam iklim yang tidak mendukung perilaku dan cara berpikir model begini. Sehingga pada hakikatnya musuh yang menghadang ada dua.
Pertama, penyakit atau wabah itu sendiri. Dan yang kedua, pikiran yang tak mampu kita kendalikan. Boleh jadi keduanya berkolaborasi menciptakan sebuah kondisi yang semakin buruk dari hari ke hari. Itulah mengapa pengenalan terhadap peta masalah sangat penting kita lakukan, sebelum kita semakin jauh melangkah dan terus berjalan tanpa menyadari apa sesungguhnya yang sedang terjadi dan menimpa diri ini. Salah satu persoalan penting di antara sekian banyak masalah yang harus dihadapi adalah problem pembelajaran anak.
Anak dan pembelajaran daring
Belum tuntas masalah dengan terpaan wabah corona yang kehadirannya sangat tiba-tiba dan masif, persoalan-persoalan lain pun secara serempak bermunculan saling kait-mengait. Salah satu di antaranya adalah soal model belajar siswa yang praktis harus pula berubah. Yang semula belajar dilakukan secara tatap muka dan berlangsung dalam sebuah ruangan persegi yang tertutup meskipun ada kalanya dilakukan di luar ruangan, tiba-tiba harus berubah sebaliknya.
Murid dan guru sama-sama tidak meninggalkan tempat atau rumahnya masing-masing. Sebagai gantinya mereka terhubung dalam sebuah peranti telepon genggam yang memiliki fungsi panggilan video atau video call untuk perorangan atau maksimal empat orang. Dan menggunakan aplikasi zoom jika peserta yang saling berbicara melebihi jumlah tersebut. Apa pun namanya, baik yang melibatkan sedikit orang, terlebih lagi yang dalam jumlah banyak, pastinya memiliki keterbatasan-keterbatasan. Salah satu efek yang sangat pasti dan jelas timbul adalah rasa bosan. Apatah lagi jika dilakukan dalam durasi waktu yang lama dan cenderung monolog. Jangankan secara daring, pembelajaran dengan gaya seperti ini yang dilakukan secara tatap muka, sudah bisa ditebak akan cenderung membosankan.
Maka dari itu model interaksi belajar seperti ini sudah jelas memunculkan dua masalah. Pertama soal konten pelajaran yang dari zaman kuda gigit besi pun jarang menarik minat siswa-siswa di tengah sistem pendidikan seperti yang berlaku di negeri ini. Sehingga upaya guru dan sekolah dalam mendongkrak minat atau ketertarikan siswa untuk mau belajar menjadi berkali-kali lipat energinya. Tambahan pula model interaksi yang hanya mengandalkan kotak layar gawai yang terbatas daya jangkaunya. Gaya mengajar guru yang kurang improvisasi, intonasi suara yang datar, ditambah lagi ekspresi pengajar yang kurang mendukung karena lelah. Kenapa berpotensi lelah? Karena hanya lewat satu-satunya media tersebut mereka harus mengerahkan segala usahanya untuk berbicara kepada siswa-siswanya. Di mana potensi anak menjadi bosan akan dengan sangat cepat muncul dalam menit ke sekian proses pembelajaran. Sehingga terkadang dalam proses belajar tersebut akan mudah kita dapati siswa atau mahasiswa hanya melaporkan kehadiran setelah itu ia bisa saja meninggalkan forum atau melakukan hal-hal lain yang lebih menarik, dan tidak lagi duduk manis menyimak pembicaraan satu arah dari guru atau dosen yang bersangkutan.
Sebagai orangtua sekaligus guru saya bisa merasakan semua perasaan ini. Baik dari sisi orangtua maupun dari sisi sebagai guru. Karena di tengah pandemi ini saya tetap mengajar privat via video call dengan murid-murid saya. Saya mulai membuka kelas belajar membaca dan les mata pelajaran sejak setahun lalu, mempersiapkan anak-anak usia TK agar mereka bisa lebih siap jika saatnya nanti masuk SD. Aktivitas ini sempat terhenti beberapa minggu karena situasi awal pandemi yang tampak sangat mengkhawatirkan. Sehingga kami benar-benar memilih untuk mematuhi imbauan pemerintah untuk tidak ke mana-mana atau berinteraksi dengan dunia luar jika benar-benar tak penting atau genting.
Entah kapan pandemi ini akan berakhir. Pemerintah dan para ahli hanya bisa memperkirakan. Meskipun begitu kita semua sebagai warga biasa sudah perlu mempersiapkan perilaku-perilaku yang mempersyaratkan kebersihan tubuh dan pola makan sehat agar bisa lebih siap dalam menghadapi serangan jenis virus yang mungkin saja akan datang dalam wujud dan nama yang berbeda. Termasuk menerapkan pola-pola belajar daring yang asyik dan menggairahkan dalam dunia persekolahan.
Pegiat literasi dan parenting di Paradigma Institute. Telah menulis buku “Dari Rumah untuk Dunia” (2013) dan “Metamorfosis Ibu” (2018).