“Saya, dalam keadaan diri yang terkurung // Adalah diri yang tidak berharga // Hingga, kala meninggalkan diri di belakang // Barulah diri mengambil alih.” (Jalaluddin Rumi)
Tatkala World Health Organization (WHO) melantangkan Covid-19 sebagai pandemi global, kecemasan berjemaah pun menyata. Pengurus negara dan penghuni negeri diterungku kepanikan, dibui ketakutan, dan dipenjara kegelisahan, serta ditawan kebimbangan. Sekotah lini kehidupan ambyar. Apatah lagi, kala memasuki bulan suci Ramadan, makin menjadilah kekacauan pikir dan kegaduhan hati, segenap penghuni jagat, khususnya umat Islam. Bahkan, ada yang ramalkan, puncak pandemi jatuh di Ramadan. Terjadilah persetubuhan intim. Hasilnya? Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Lalu, bagaimana hidup dan kehidupan di era PSBB ini? Satu kata cukup mewakili: penjara. Hayat dan kehayatan laiknya dipenjara. Semua serba dibatasi. Jarak sosial dibatasi, interaksi sosial diatur demikian ketat. Tata kelola bermasyarakat bergeser pusatnya, dari kerumunan ke sendirian. Segala bentuk aktivitas sosial digiring ke pribadi. Ruang paling luas hanya rumah. Yah, di rumah saja.
Rumah yang selama ini hanya sebagai tempat bernaung, tetiba menjadi episentrum segala kegiatan. Bersekolah di rumah, bekerja dari rumah, beribadah dalam rumah, dan segala-galanya ditilik lewat rumah. Akibatnya, hanya dua pilihan: rumahku surgaku atau rumahku nerakaku. Banyak yang menikmati surga di rumahnya, tapi tidak sedikit mendapuk rumahnya sebagai nerakanya. Gampang saja mengevaluasinya, suara-suara apa saja yang keluar dari rumah. Tengoklah media sosial setiap penghuninya. Ketenangan ataukah sumpah serapah.
***
Sebagai warga dunia dan sekaligus penduduk negeri, saya termasuk orang yang langsung berusaha semaksimal mungkin, mematuhi pelantangan WHO dan imbauan pemerintah. Begitu penjarakan sosial dan fisik dikeluarkan, dua hari kemudian, saya langsung menutup tempat usaha, berupa toko buku. Dua orang putri yang sudah bekerja, pun kembali ke rumah, bekerja dari rumah. Seorang putri berstatus mahasiswa dan seorang putra masih pelajar, ikut dirumahkan, kuliah dan belajar via daring di rumah.
Bayangkanlah, ketika semua dinamika di luar rumah, konsentrasinya bertebaran, tiba-tiba dirumahkan, kembali ke rumah dan rumah menjadi pusat segalanya. Menampung pengangguran kayak saya, memfasilitasi pekerja dan pelajar semisal putri-putra saya, yang kesemuanya dibawah kendali pengatur lalu lintas mukim: pasangan saya. Apakah yang terjadi? Surga atau neraka kah rumah saya?
Tentulah memilih di antara dua pilihan tidak mudah. Namun,ia tetaplah pilihan. Sepenuhnya bergantung pada apa yang dipilih. Bukankah sejak kita melompat keluar dari rahim ibu, sudah diberi kebebasan memilih? Setiap orang punya kehendak bebas. Takdir terindah dari manusia, sebab ia ditakdirkan punya kebebasan untuk memilih. Termasuk memilih takdir yang ditakdirkan padanya. Apakah saya sudah berhasil memilih? Entahlah.
***
Persetubuhan pandemi dan Ramadan, melahirkan anak berupa PSBB, sungguh merupakan medium buat mengaktualkan sari diri. PSBB menghalau setiap orang untuk melakoni hidup di kehidupan berlapikkan pribadi. Dan, bulan Ramadan, sebagai wadah untuk melakoninya, amat cocok. Persis antara baut dan mur. Kehidupan sosial yang penuh kemegahan dan kemewahan, dihalau masuk dalam tawanan Ramadan agar menjadi sederhana. Termasuk kemegahan dan kemewahan Ramadan dalam berjemaah ditiadakan.
Pada konteks inilah, sebenarnya ada kesempatan untuk pembuktian, ketika seseorang memasuki Ramadan, segala kemewahan dan kemegahan dunia bisa ditampik. Saya ajak sejenak masuk dalam satu ranah renungan. Sebagai misal saja, makan- minum saja, yang menelan biaya hidup begitu dalam, semestinya berkurang di bulan Ramadan. Sebab, keduanya dibatasi. Namun, mengapa selama ini, saat tiba Ramadan pengeluaran makan-minum melonjak tinggi?
Arkian, biaya pernak-pernik amaliah Ramadan, pun selama ini membutuhkan ongkos lumayan. Biaya asesori mulai dari penutup kepala hingga alas kaki, saat ibadah berjemaah di masjid, juga meminta pengeluaran yang tidak lebih kecil dari pemenuhan keinginan makan-minum. Kenapa begitu? Karena semua biaya itu hadir sebagai ongkos sosialisasi. Asesori itu diunjukkan bukan buat diri, tapi untuk orang lain.
***
Kehidupan pribadi, menuntut keintiman dalam buaian kerahasiaan. Ramadan kali ini, dibayangi pandemi sebagai penyertanya, memberi kesempatan kepada setiap pribadi kembali kepada sari dirinya, dengan biaya sekecil-kecilnya. Tidak perlu ada asesori berbiaya tinggi, karena serba baru, apalagi ikut-ikutan pada pada tren dan model terkiwari. Sebab, Tuhan tidak butuh semua itu. Tuhan butuh asesori yang bersih nan suci doang. Bahkan tidak meminta saat ini untuk di temui di rumah-Nya, yang terkadang menjadi ajang perlagaan asesori keberagamaan saja.
Dimensi di luar diri selama menjalani amaliah Ramadan, ditiadakan bukan karena ongkos sosialnya saja yang tinggi, tapi sekaligus meminta kedirian seseorang hadir menyata. Saya meraba saja keinginan Tuhan, seolah Ia berkata, “Aku tidak meminta engkau datang secara berkerumun, dalam kerumunan, apalagi bergerombol bak gerombolan, tapi datanglah secara pribadi, sendiri-sendiri saja, di mukimmu saja. Aku ingin melihat, apakah hasratmu tatkala berjemaah, sama ketika sendirian. Toh kelak, kamu akan datang kepada-Ku sendiri-sendiri.”
Walakhir, serbuan pandemi Covid-19 di bulan suci Ramadan, serupa persetubuhan berbuah PSBB. Bagi saya, inilah semacam pesantren hidup. Sebentuk madrasah kehidupan, guna mendidik setiap pribadi. Hasil pendidikan ini akan bermuara pada surga atau neraka bagi diri pribadi. Rumah sebagai surga atau neraka, amat bergantung pada hasil didikan madrasah ruhani. Sebab, pengajaran jasmani, tak cukup memadai mengantarkan diri pada surga kehidupan di bumi. Hanya pendidikan ruhani sebagai tarekatnya, seperti ajakan dalam bait-bait Jalaluddin Rumi, di mula perjamuan kata ini.
Ilustrasi: Nabila Az-Zahra
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.